Hari ini aku akan berbagi cerita tentang
pengalamanku masturbasi dengan seorang mahasiswi cantik yang bisa
disebut juga dia adalah sahabaku sendiri yang satu kampus denganku.
Akhir-akhir ini aku sering jalan bersama Dina, salah satu temen di
kampus. Mulai dari nonton acara seni budaya, main-main ke museum dan
nonton film. Sebenarnya kami sudah kenal sekitar 3 tahun di salah satu
kegiatan kampus dan setelah itu kita menjadi temen. Malam itu kita baru
saja selesai menonton acara budaya sunda di salah satu gedung
pertunjukan di Bandung. Dengan menggunakan motor, aku langsung
mengantarkan Dina pulang ke rumah.

“Eh Fer, aku mau copy film-film yang kemarin kamu ceritain itu dong”, kata Dina ketika kita udah di jalan.
“Kamu mau mampir? Bawa hardisk gak?”, tanyaku. Oh iya, namaku Ferry.
“Iya bawa kok”
Lantas aku melajukan motor menuju rumah
kontrakan. Sepanjang perjalanan, kami berbincang-bincang ringan. Tidak
jarang Dina merapatkan duduknya sehingga bagian dadanya menempel di
punggungku. Dina tergolong cewek yang manis, pinter dan tau gimana harus
berpenampilan. Seperti sekarang ini, dia menggunakan kerudung berwarna
merah marun, dibalut kemeja garis-garis serasi dengan kerudungnya dan
celana jins hitam. Walaupun memakai kerudung, dia tetap tampil modis.
“Waaah, lampunya kok gak pada dinyalain sih”, kataku ketika sampai di depan rumah kontrakan.
“Pada kemana nih anak-anak?”
“Kayaknya lagi di rumah Ryan deh. Masuk Din”
“Pada kemana nih anak-anak?”
“Kayaknya lagi di rumah Ryan deh. Masuk Din”
Rumah kontrakanku ada 3 kamar dan
teman-teman yang mengontrak ini juga mengenal Dina dengan baik. Aku
langsung mengganti pakaian kemudian membawa laptop ke ruang tengah. Kita
duduk lesehan karena memang tidak ada kursi atau sofa di rumah
kontrakanku ini.
“Nih film-film yang kemarin aku ceritain ke kamu”
“Ya udah, di-copy aja ke hardisk aku Fer”, jawab Dina. “Lama yoo…”, kata Dina ketika proses copy itu lama. Kemudian dia mengambil air minum dari dispenser yang ada di dapur.
“Sambil nonton film yang lain dulu aja Din, mau?”. Dia lantas duduk lagi disampingku.
“Nih film-film yang kemarin aku ceritain ke kamu”
“Ya udah, di-copy aja ke hardisk aku Fer”, jawab Dina. “Lama yoo…”, kata Dina ketika proses copy itu lama. Kemudian dia mengambil air minum dari dispenser yang ada di dapur.
“Sambil nonton film yang lain dulu aja Din, mau?”. Dia lantas duduk lagi disampingku.
Sekitar 2 jam, filmnya selesai juga.
Sebenernya copy filmnya juga sudah selesai dari lama tapi karena film
yang kita tonton seru, jadi lupa waktu. Jam menunjukkan pukul 23.40.
“Kamu dianterin sekarang?”. Dina tidak langsung jawab, dia masih melihat layar ponselnya.
“Aku nginep sini aja ya, udah kemalaman juga mau pulang”, jawab Dina agak lama.
“Oh ya udah, tidur di kamar aku aja”, kata gue sambil senyum.
“Terus Ferry tidur dimana ntar?”, tanya Dina. “Dikunci ya kamar yang lain?”.
“Iya, gampang ntar. Aku tidur di sini aja”, kataku sambil menunjuk kasur lipat yang diruang tengah.
“Kamu dianterin sekarang?”. Dina tidak langsung jawab, dia masih melihat layar ponselnya.
“Aku nginep sini aja ya, udah kemalaman juga mau pulang”, jawab Dina agak lama.
“Oh ya udah, tidur di kamar aku aja”, kata gue sambil senyum.
“Terus Ferry tidur dimana ntar?”, tanya Dina. “Dikunci ya kamar yang lain?”.
“Iya, gampang ntar. Aku tidur di sini aja”, kataku sambil menunjuk kasur lipat yang diruang tengah.
Dina sudah masuk kamar untuk istirahat.
Aku tidak memiliki pikiran macam-macam soal Dina. Kedekatan kita hanya
sebatas teman. Perihal melepas jilbab ketika sedang bersama aku juga
tidak masalah menurut dia. Lagipula aku sudah mengenalnya sebelum dia
menggunakan jilbab. “Cekreeeeek…” Aku yang masih menonton pertandingan
sepak bola sejenak memperhatikan Dina yang keluar dari kamar. “Kenapa
Din?” Dia telah melepas jilbabnya dan kemeja yang dikenakan tadi,
sehingga hanya menggunakan kaos dan celana jins. “Belum bisa tidur Fer”,
kata Dina sambil duduk di sampingku. “Ya udah, ikutan nonton bola aja.
Ntar juga ngantuk sendiri kamu”, jelasku kepada Dina sambil tersenyum.
Hanya tawa kecil yang keluar dari bibirnya.
Pertandingan Liga Italia memang berbeda
dengan Liga Inggris. Permainan yang lebih lambat kadang membuat penonton
bosan dan ujung-ujungnya ngantuk. Setengah jam berlalu belum ada
peluang emas di pertandingan namun aku mendapatkan peluang emas itu.
Dina menyandarkan kepalanya di pundakku. Baru kali ini dia bertingkah
seperti itu. Aku memperhatikan wajahnya yang memang mulai mengantuk,
matanya sayu. “Dina pindah kamar gih, tidur di dalam aja”, kataku sambil
dengan sopan memegang tangannya. “Iya Fer. Pertandingannya beneran
bikin ngantuk”, jawabnya. Tanganku tidak di tepis olehnya. Dina beranjak
dari duduknya dengan tetap memegang tanganku. “Temenin yuk Fer”,
pintanya, sedikit memaksa. “Eh,..seriusan? Gak pa-pa?”, aku tidak
percaya. Dina menarikku menuju kamarku sendiri. Lantas dia merebahkan
tubuhnya di sisi kasur yang dekat tembok. Aku yang masih tidak percaya
hanya berdiri. Masih ada sisi luar kasur yang bisa aku pakai. Namun aku
tidak berani mengambil inisiatif dengan langsung merebahkan badanku di
situ. “Ferry sini aja”, kata Dina sambil menepuk kasur, menunjukkan
kalau aku boleh tidur di situ juga. Dina sepertinya paham kalau aku
merasa tidak enak sekamar dengan dia walaupun sebenarnya ini adalah
kamarku sendiri. “Kamu kenapa? Takut?”, tanyaku sambil menatap
langit-langit kamar. Dina hanya menggangguk dan kemudian terus menatapku
yang tidur di kirinya. “Fer…”, panggil Dina. Mata kita langsung saling
berpandangan. Dina mendekatkan kepalanya kemudian bibirnya menyentuh
bibirku. Ciuman itu terasa hangat dan lembab.
“Kenapa Din?”, aku sebenarnya agak kaget dan langsung bertanya ketika mulut kita berhenti berciuman.
“Efek nonton film tadi Fer, pas adegan romantisnya jadi pengen”, jawab Dina sambil merapatkan badannya. Aku tersenyum mendengar itu.
“Efek kelamaan jomblo juga yah?”, sindirku.
“Ihhh…Ferryyy…”, Dina memukul tanganku. Kemudian aku mencium bibirnya. Kali ini tidak seperti yang tadi, lebih lama dan saling menyedot.
Aku mulai meraba dada Dina yang dari tadi udah menempel di lenganku. Masih terbungkus bra tapi sudah terasa empuk.
“Uuuhhh…”, suara itu keluar dari sela-sela mulut Dina. Dia juga tidak mau kalah meraba bagian selangkanganku. Kita udah sama-sama makin bernafsu. Kaos yang kita kenakan sudah tergeletak disamping kasur. Dina kemudian membuka bra nya sendiri.
“Woow…”, aku bergumam melihat payudara yang tergantung bebas didepan mata. Tanpa menunggu lama, aku meremas dengan lembut kedua payudara Dina yang memiliki putting mungil berwarna coklat itu.
“Aaaahhh…Feeerrr…”, Dina mendesah. Aku menjiliat puttingnya yang kanan sambil memintir puttingnya yang sebelah kiri.
“Teruuus Feeerr…enaaaak…”, Dina mulai mendesah sambil mengacak-acak rambutku. Kemudian tangannya mencoba meraih penisku.
“Uuuhhh..enak Diiinn…”, lembut banget tangan Dina. Aku masih tetep meremas payudara Dina. Tapi setelah itu, aku mencoba membuka celana dalam Dina.
“Boleh dibuka Din?”.
“Efek nonton film tadi Fer, pas adegan romantisnya jadi pengen”, jawab Dina sambil merapatkan badannya. Aku tersenyum mendengar itu.
“Efek kelamaan jomblo juga yah?”, sindirku.
“Ihhh…Ferryyy…”, Dina memukul tanganku. Kemudian aku mencium bibirnya. Kali ini tidak seperti yang tadi, lebih lama dan saling menyedot.
Aku mulai meraba dada Dina yang dari tadi udah menempel di lenganku. Masih terbungkus bra tapi sudah terasa empuk.
“Uuuhhh…”, suara itu keluar dari sela-sela mulut Dina. Dia juga tidak mau kalah meraba bagian selangkanganku. Kita udah sama-sama makin bernafsu. Kaos yang kita kenakan sudah tergeletak disamping kasur. Dina kemudian membuka bra nya sendiri.
“Woow…”, aku bergumam melihat payudara yang tergantung bebas didepan mata. Tanpa menunggu lama, aku meremas dengan lembut kedua payudara Dina yang memiliki putting mungil berwarna coklat itu.
“Aaaahhh…Feeerrr…”, Dina mendesah. Aku menjiliat puttingnya yang kanan sambil memintir puttingnya yang sebelah kiri.
“Teruuus Feeerr…enaaaak…”, Dina mulai mendesah sambil mengacak-acak rambutku. Kemudian tangannya mencoba meraih penisku.
“Uuuhhh..enak Diiinn…”, lembut banget tangan Dina. Aku masih tetep meremas payudara Dina. Tapi setelah itu, aku mencoba membuka celana dalam Dina.
“Boleh dibuka Din?”.
Dina menghentikan kocokannya dan melihatku.
“Takut Fer…”,
“Kenapa? Kamu masih perawan?”, aku penasaran.
“Sebenernya dulu sering kayak gini sama pacar aku, cuma gak sampai dimasukin. Biasanya digesek-gesekin aja, petting doang”, jelas Dina. Kemudian dia mencium pipiku. “Gak pa-pa kan Fer kalo cuma digesekin?”, tanya Dina. Bagai mendapat durian runtuh, aku tersenyum dan mengangguk. Dina lantas melepas sendiri celana dalamnya. Aku melihat bentuk vagina yang indah dengan rambut yang tidak begitu lebat. Bagian klitorisnya masih tertutup rapat.
“Dina 69 yuk”,
“Ayo aja…”.
“Takut Fer…”,
“Kenapa? Kamu masih perawan?”, aku penasaran.
“Sebenernya dulu sering kayak gini sama pacar aku, cuma gak sampai dimasukin. Biasanya digesek-gesekin aja, petting doang”, jelas Dina. Kemudian dia mencium pipiku. “Gak pa-pa kan Fer kalo cuma digesekin?”, tanya Dina. Bagai mendapat durian runtuh, aku tersenyum dan mengangguk. Dina lantas melepas sendiri celana dalamnya. Aku melihat bentuk vagina yang indah dengan rambut yang tidak begitu lebat. Bagian klitorisnya masih tertutup rapat.
“Dina 69 yuk”,
“Ayo aja…”.
Dina beranjak berdiri dan menindih
badanku. Setelah mengatur posisi supaya nyaman, aku melenguh duluan.
“Uuuuhhhhh… Dinaaaa…”, Dina sudah melahap penisku bagaikan es krim.
Penisku terasa hangat di dalam mulutnya. Tangan kiri Dina juga mengocok
penisku. Variasi blowjob yang dilakukan Dina membuatku sedikit lupa
kalau di depan mukaku terdapat vaginanya. Tidak mau kalah, akhirnya aku
mulai memainkan jari-jariku di vagina Dina. Kubuka bagian klitoris yang
masih tertutup rapat dan ketika sudah terlihat daging kecil menonjol itu
lantas ku elus pelan. “Aaahhhh…”, suara lenguhan Dina tiba-tiba
terdengar. Tidak berhenti sampai di situ, aku mulai menjilati vaginanya.
Desahan Dina makin menjadi-jadi. Selain menjilat terkadang aku menyedot
dan memasukkan lidahku ke dalam vaginanya. Akhirnya vagina Dina semakin
basah, tidak hanya karena ludahku tapi juga cairannya mulai keluar.
Setelah merasa cukup dengan posisi 69,
Dina beranjak dan merebahkan badannya di sampingku. Nafasnya sedikit
terengah-engah. Bibirnya menyunggingkan senyum. Mungkin itu semacam kode
untukku agar aku melanjutkan aksi ini. Aku mulai menciumi wajahnya
mulai dari kening, hidung, dan bibirnya. Kemudian turun menuju puncak
payudaranya. Puttingnya sudah tegang maksimal. Dina begitu menikmati
semua perlakuanku terhadap badannya. Matanya terpejam namun bibirnya
sedikit terbuka, dan kadang desahan-desahan kecil keluar dari mulutnya.
Perlahan-lahan aku menindih tubuhnya. Mata kita saling berpandangan
lagi. Bibirnya menyambut bibirku. Aku sudah sangat bernafsu, aku agak
tidak menghiraukan permintaan hanya petting saja. Dina pun begitu
diliputi hawa nafsu, desahannya semakin intens. Namun dia menghentikan
ciuman dan menatap mataku.
“Digesekin aja ya Fer”, kata Dina mengingatkan.
“Aku udah gak tahan lho Din. Ntar kalo keenakan terus masuk gimana?”, ledekku.
“Iiihhh…Ferryyy…”, Dina tertawa kecil sambil mencubit lenganku.
“Aku yang nahan Fer, udah pengalaman…”, lanjutnya.
“Tapi aku yang gak tahan. Apa gak usah aja?”, kataku sambil berpura-pura beranjak dari badan Dina.
“Feeeeerrr….”, Dina merengek dan kemudian menarik tanganku. Bibir kita berciuman lagi. Dina melebarkan kedua pahanya dan meraih penisku supaya tepat berada di depan bibir vaginanya. Kemudian dia menggesek-gesekkan sendiri penisku dengan tangannya.
“Uuuuhhh…ssshh…”, Dina mulai mendesah ketika aku menggerakkan pinggulku. Kedua tangannya kini merangkul leherku.
“Enak Din?”, Dia mengangguk dan ikut menggoyangkan pinggulnya.
“Feerr… Uuuhhh…”, desah Dina diiringi kepalanya yang bergerak ke kiri dan ke kanan. Di bawah sana, kepala penisku hanya menggesek-gesek bibir vagina Dina yang semakin basah. Ujungnya benar-benar tepat di lubang vagina sehingga kalau aku nekat dan khilaf perawan Dina bisa-bisa tembus oleh penisku.
“Aku ganti diatas aja Fer”, kata Dina. Kita bertukar posisi, women on top. Dina menekan penisku tepat di vaginanya. Dia lalu mulai bergerak maju mundur. Payudaranya ikutan bergoyang.
“Aaassshhh…uuuhhh…Feeerrr…”, mulut Dina mendesah semakin nyaring. “Feeerrrss…mainin tetek akuuu…ssshh…”.
“Digesekin aja ya Fer”, kata Dina mengingatkan.
“Aku udah gak tahan lho Din. Ntar kalo keenakan terus masuk gimana?”, ledekku.
“Iiihhh…Ferryyy…”, Dina tertawa kecil sambil mencubit lenganku.
“Aku yang nahan Fer, udah pengalaman…”, lanjutnya.
“Tapi aku yang gak tahan. Apa gak usah aja?”, kataku sambil berpura-pura beranjak dari badan Dina.
“Feeeeerrr….”, Dina merengek dan kemudian menarik tanganku. Bibir kita berciuman lagi. Dina melebarkan kedua pahanya dan meraih penisku supaya tepat berada di depan bibir vaginanya. Kemudian dia menggesek-gesekkan sendiri penisku dengan tangannya.
“Uuuuhhh…ssshh…”, Dina mulai mendesah ketika aku menggerakkan pinggulku. Kedua tangannya kini merangkul leherku.
“Enak Din?”, Dia mengangguk dan ikut menggoyangkan pinggulnya.
“Feerr… Uuuhhh…”, desah Dina diiringi kepalanya yang bergerak ke kiri dan ke kanan. Di bawah sana, kepala penisku hanya menggesek-gesek bibir vagina Dina yang semakin basah. Ujungnya benar-benar tepat di lubang vagina sehingga kalau aku nekat dan khilaf perawan Dina bisa-bisa tembus oleh penisku.
“Aku ganti diatas aja Fer”, kata Dina. Kita bertukar posisi, women on top. Dina menekan penisku tepat di vaginanya. Dia lalu mulai bergerak maju mundur. Payudaranya ikutan bergoyang.
“Aaassshhh…uuuhhh…Feeerrr…”, mulut Dina mendesah semakin nyaring. “Feeerrrss…mainin tetek akuuu…ssshh…”.
Tanganku lantas meraih dua buah payudara yang menggantung itu. Ternyata
Dina semakin mempercepat gerakannya. Pinggulnya bergeak ke kiri, ke
kanan, ke depan, ke belakang. Mungkin sebentar lagi dia akan mendapatkan
orgasmenya. Aku sebenarnya juga sudah tidak tahan. Tapi sayang sekali
kalau cuma petting saja membuat orgasme. Apalagi kali ini lawannya salah
satu teman yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Otakku berputar
mencari cara agar aktivitas tak terduga bersama Dina ini berkesan.
“Aaaaahhhh…!!!”, Desahan panjang dari Dina membuyarkan
pemikiran-pemikiranku. Badannya mengejang beberapa saat kemudian
melemas. Dina memeluk tubuhku. Dina sudah mendapatkan orgasmenya.
Nafas Dina masih memburu. Aku mengelus rambut hitam bergelombang miliknya. Cukup lama juga, kita diposisi seperti itu.
“Ferry belum keluar yah?”,
“Belum Din. Tapi kalau kamu capek, ya gak pa-pa kok”, aku mencoba mengerti walaupun sebenarnya merasa nanggung.
“Ferry belum keluar yah?”,
“Belum Din. Tapi kalau kamu capek, ya gak pa-pa kok”, aku mencoba mengerti walaupun sebenarnya merasa nanggung.
Dina mengubah posisi dan langsung
memegang penisku yang masih tegang. Lagi-lagi tindakan tiba-tiba yang
mengasyikkan, Dina melakukan blowjob. Kepalanya terlihat naik turun.
“Aasshhh…”, aku hanya bisa mendesis seperti itu. Kemudian secara reflek aku memegang kapala Dina dan menahannya. Aku menggerakkan pinggul seoalah-olah aku sedang ML dengan mulut mungilnya.
“Aasshhh…”, aku hanya bisa mendesis seperti itu. Kemudian secara reflek aku memegang kapala Dina dan menahannya. Aku menggerakkan pinggul seoalah-olah aku sedang ML dengan mulut mungilnya.
Seketika Dina melepas emutannya dan
melihatku. Aku agak kaget karena takut dia tidak suka ketika aku menahan
kepalanya seperti tadi.
“Udah mau keluar? Jangan di mulut, gak suka”, kata Dina.
“Terus dimana?”
“Udah mau keluar? Jangan di mulut, gak suka”, kata Dina.
“Terus dimana?”
Dina melanjutkan mengocok penisku. Kali
ini lebih cepat. Aku yang sudah tidak tahan langsung mengejang diiringi
sperma yang keluar dan muncrat hingga mengenai payudara Dina. Kemudian
dia menjilat penisku untuk dibersihkan.
“Capeeek…”, kata Dina ketika sudah selesai. Dia langsung merebahkan tubuhnya di sampingku.
“Yuk tidur…”
“Pakai dulu bajunya ntar kamu kedinginan”, kataku sambil mencoba beranjak dari kasur. Tapi tangan Dina menahan.
“Kan bisa minta peluk kamu”, jawab dia sambil memelukku. Tiba-tiba tangannya iseng mengelus-elus penisku. Mataku yang hampir terpejam menjadi sedikit melirik polah iseng Dina.
“Ntar kalau tegang lagi, aku masukin memek kamu lho”, ancamku.
“Mau dong, hihihi…”, Dina malah menggodaku. Kemudian dia membalik badannya dan memunggungiku.
“Sabar ya Fer, ntar ada waktunya kok”, Dina menggumam.
“Capeeek…”, kata Dina ketika sudah selesai. Dia langsung merebahkan tubuhnya di sampingku.
“Yuk tidur…”
“Pakai dulu bajunya ntar kamu kedinginan”, kataku sambil mencoba beranjak dari kasur. Tapi tangan Dina menahan.
“Kan bisa minta peluk kamu”, jawab dia sambil memelukku. Tiba-tiba tangannya iseng mengelus-elus penisku. Mataku yang hampir terpejam menjadi sedikit melirik polah iseng Dina.
“Ntar kalau tegang lagi, aku masukin memek kamu lho”, ancamku.
“Mau dong, hihihi…”, Dina malah menggodaku. Kemudian dia membalik badannya dan memunggungiku.
“Sabar ya Fer, ntar ada waktunya kok”, Dina menggumam.
Samar-samar aku mendengar kata-kata yang
diucapkan Dina. Namun tidak terlalu yakin dengan maksud kata-kata itu.
Perasaanku campur aduk, kaget, senang dan berharap bisa melakukan
seperti ini lagi bersama Dina.
0 comments:
Post a Comment