Cerita Dewasa Tubuh Mulus Tante Girang
Bikin Tegang | Seperti yang kujanjikan, beberapa teman kantorku akhirnya
menjadi langganan pijatan Bu Mirna setelah aku mempromosikannya.
Rupanya pijatannya benar-benar disukai para pria. Termasuk Pak Marmo,
atasanku.
Bahkan ada dua temanku yang menanyakan
kemungkinan untuk tidak sekadar mendapat layanan memijat dari Bu Mirna
tetapi lebih dari itu. “Kayaknya bisa nggak To kalau Bu Mirna diajak
begituan. Aku suka lho wanita tipe seperti dia. Sudah tua tapi tubuhnya
masih bagus dan terawat,” kata Rizal, teman sekantorku suatu hari
setelah hari sebelumnya dipijat Bu Mirna di rumahnya.
Rizal juga cerita, saat dipijat ia sempat menggerayang ke balik daster yang dipakai Bu Mirna. Tetapi ternyata, kata Rizal, Bu Mirna di samping memakai celana panjang ketat sebatas lutut juga memakai celana dalam rangkap. “Entah rangkap berapa celana dalam yang dipakainya. Aku sampai nggak bisa merasakan empuknya memek dia,” ungkap Rizal menambahkan.
Rizal juga cerita, saat dipijat ia sempat menggerayang ke balik daster yang dipakai Bu Mirna. Tetapi ternyata, kata Rizal, Bu Mirna di samping memakai celana panjang ketat sebatas lutut juga memakai celana dalam rangkap. “Entah rangkap berapa celana dalam yang dipakainya. Aku sampai nggak bisa merasakan empuknya memek dia,” ungkap Rizal menambahkan.
Mendengar ceritanya aku jadi ingin
ketawa sekaligus bangga. Sebab ide memakai pakaian seperti itu saat
memijat memang atas saranku. Karena kuyakin para pria pasti tertarik
untuk iseng dan coba-coba. Tetapi agar Rizal menjadi penasaran dan tetap
menjadi langganan pijat, kukatakan padanya kalau aku tidak tahu bisa
tidaknya Bu Mirna memberi layanan seks selain memijat.
“Selama ini sih aku hanya tahu ia tukang
pijat yang baik dan pijatannya enak. Kalau sampai ke masalah itu saya
tidak tahu. Mungkin kalau pendekatannya pas bisa saja ia mau melayani.
Apalagi kan udah cukup lama ia ditinggal suaminya,” ujarku.
Pria lain yang juga terang-terangan
menyatakan ketertarikannya pada Bu Mirna adalah atasanku. Bahkan setelah
aku sering mengantar Bu Mirna untuk memijat, karena Pak Marmo lebih
senang pijat di rumahnya, ia menjadi semakin dekat denganku. Aku juga
dipercaya memegang sebuah proyek dengan nilai cukup besar, sesuatu yang
belum pernah dipercayakan padaku.
Menurut Pak Marmo, pijatan Bu Mirna
bukan hanya enak tetapi juga mampu menggairahkan kejantanannya. “Jangan
cerita ke siapa-siapa ya. Saya dengan ibu sudah lama tidak jalan lho.
Nggak tahu kenapa. Tetapi melihat pemijat tetanggamu itu dan mendapat
pijatannya, sepertinya mulai agak bangkit. Suaminya sampai sekarang
belum pulang?” kata Pak Marmo ketika aku menghadapnya di ruang kerja.
Pak Marmo mengundangku karena nanti
malam jadwalnya dia dipijat Bu Mirna. Tetapi menurut dia, istrinya juga
ada rencana belanja ke supermarket dan menemui salah satu koleganya
pedagang permata. Selain mengantar Bu Mirna ke rumahnya, aku diminta
bantuan menyopir mobil untuk mengantar istrinya.
Sebagai seorang bawahan terlebih karena
kebaikannya mempercayakan sebuah proyek berdana besar kepadaku,
kusampaikan kesediaanku. Namun sebelum aku keluar dari ruangannya ia
kembali mencegah dan berbisik. “Eh Ton, kira-kira bisa nggak tukang
pijat itu memberi layanan lebih? Kamu bisa bantu atur?”
Aku paham kemana arah pembicaraan
atasanku itu. Maka seperti yang kusampaikan kepada dua temanku yang
menjadi langganan pijat Bu Mirna, kukatakan bahwa selama ini yang kutahu
ia hanya berprofesi sebagai pemijat dan soal yang lain-lain belum tahu.
Hanya kepada Pak Marmo kukatakan akan mencoba melakukan pendekatan ke
Bu Mirna.
Setelah keluar dari ruang kerja
atasanku, aku menemui Bu Mirna. Sambil berpura-pura cemburu kuceritakan
soal ketertarikan atasanku kepadanya. Tetapi juga kuceritakan tentang
kebaikan Pak Marmo termasuk kepercayaannya memberikan proyek besar di
bawah penangananku.
Bu Mirna cerita, setiap dipijat Pak
Marmo memang berusaha merayunya. Juga berusaha menggerayang ke balik
pakaian seperti temanku yang lain. “Tetapi kelihatannya punya Pak Marmo
sudah sulit bangkit kok,” ujar Bu Mirna.
“Oh jadi cerita Pak Marmo soal kemampuan seksnya yang sudah berkurang itu bener?” Kataku pura-pura kaget.
“Jadi enaknya sikapnya gimana Pak Anto. Dia kan atasan bapak dan juga baik sama bapak,” ujarnya lagi.
Akhirnya dengan seolah-olah sebagai
sesuatu yang sangat sulit untuk kuputuskan, kukatakan padanya bahwa
karena kondisi kemampuan seks atasanku tidak normal maka sebaiknya Bu
Mirna membantunya. Saat memijat, sebaiknya tidak memakai celana dalam
rangkap tiga dan juga tidak memakai celana panjang di balik daster yang
dipakai.
“Maksud saya agar Pak Marmo terangsang
karena dia suka sama ibu. Memang resikonya Pak Marmo jadi leluasa
menjahili ibu sih. Tetapi niatnya kan untuk membantu menyembuhkan dia.
Gimana menurut ibu?”
“Kalau itu yang terbaik menurut Pak Anto saya sih nurut saja. Tetapi Pak Anto jangan cemburu ya,”
Bu Mirna langsung kupeluk. Kukatakan
padanya bahwa sebenarnya aku sangat cemburu dan tidak suka tubuh Bu
Mirna diraba dan dipegang-pegang orang lain. Tetapi demi menolong
atasanku itu dan demi membalas kebaikannya aku akan berusaha untuk tidak
cemburu. “Asal yang ini jangan diberikan semua ke Pak Marmo ya bu. Saya
suka banget dengan yang ini,” ujarku sambil meraba memek Bu Mirna
setelah menyingkap dasternya.
Tadinya aku berniat melepaskan hasratku
untuk menyetubuhi tubuh montok tetanggaku itu. Tetapi setelah saling
memagut dan hendak saling melepaskan baju, kudengar anak-anak Bu Mirna
pulang dari sekolah. Hingga kuurungkan niatku dan langsung kebur
menyelinap lewat pintu belakang.
Seperti yang kujanjikan, sekitar pukul
17.00 kujemput Bu Mirna dan kuantar ke rumah Pak Marmo. Bu Mirna memakai
seragam baju terusan warna putih seperti yang biasa dipakai suster
rumah sakit. Itu memang baju seragamnya saat memijat. Tetapi dari bentuk
cetakan celana dalam yang membayang di pantatnya yang besar, kuyakin ia
tidak pakai celana panjang dan celana dalam rangkap seperti biasanya.
Rupanya ia benar-benar memenuhi janjinya untuk melayani Pak Marmo dengan
lebih baik seperti yang kusarankan.
Kulihat Pak Marmo sedang menyiram bunga
di halaman rumahnya saat aku datang. “Eh To, silahkan masuk. Tuh istriku
udah uring-uringan karena sudah dandan dan siap berangkat,” ujarnya
mempersilahkan.
Benar Bu Marmo sudah berdandan rapi dan
siap pergi. Bahkan ia langsung menyerahkan kunci kontak mobil kepadaku.
“Wah ibu takut Nak Anto telat datang. Soalnya selain belanja ibu kan
harus ke rumah Bu Ramli, jadi takut kemalaman,” kata Bu Marmo.
Bu Marmo menyapa Bu Mirna ramah dan
mempersilahkan masuk ke ruang tamu rumahnya. Ia meminta Bu Mirna
menunggu karena suaminya belum mandi. Bahkan kepada Bu Mirna juga
berpesan untuk istirahat di kamar tamu rumahnya kalau selesai memijat
nanti ia belum pulang. “Santai saja Mbak Mirna nggak usah
sungkan-sungkan. Kalau mungkin nanti saya juga ikut dipijat,” ujar Bu
Marmo yang langsung mengahmpiriku yang sudah siap dengan mobil Kijang
keluaran terbaru milik keluarga itu.
Usia Bu Marmo mungkin sebaya dengan Bu
Mirna. Atau boleh jadi lebih tua satu atau dua tahun. Namun dengan
pakaian stelan jas tanpa kancing yang dipadu dengan kaos warna krem di
bagian dalam serta celana panjang ketat warna hitam senada, wanita itu
tampak berwibawa.
Bau harum yang lembut dari wangi
farfumnya membaui hidungku saat ia masuk ke dalam mobil. Ia menyebut
nama sebuah suoermarket ternama hingga aku langsung menjalankan mobil
perlahan. Untung aku yang biasanya hanya memakai T shirt, tadi
memutuskan memakai baju lengan panjang meski untuk celana tetap memilih
jins. Hingga tidak terlalu canggung mengantar istri atasanku.
Ukuran dan bentuk tubuh Bu Marmo nyaris
sama dengan Bu Mirna, tinggi besar. Kakinya panjang dan kekar. Hanya
perutnya relatif lebih rata, mungkin karena rajin senam dan olahraga
hingga tubuhnya tampak lebih liat.
Awalnya pembicaraan lebih bersifat
formal. Tentang bagaimana sikap kepemimpinan suaminya di kantor dan
bagaimana penilaianku sebagai bawahan. Namun lama kelamaan perbincangan
menjadi lebih cair setelah topiknya menyangkut keluarga. “Sebentar lagi
cucu saya dua lho Nak Anto. Sebab Menik kemarin telepon katanya sudah
hamil,” kata ibu beranak tiga itu.
“Kalau ngomongnya sama orang yang tidak tahu keluarga ibu nggak akan percaya kalau ibu sudah punya cucu,”
“Lho kok?”
“Soalnya dari penampilan ibu, orang
pasti mengira usianya belum 40 tahun. Soalnya ibu terlihat masih muda
dan energik,” kataku memuji.
“Ah bisa saja Nak Anto. Pujiannya
disimpan saja deh untuk istri Nak Anto. Pasti istrinya cantik ya karena
Nak Anto kan pandai merayu,”
Lewat kaca spion, wanita yang
sehari-hari menjadi kepala sekolah di sebuah SD itu kulihat tak mampu
menyembunyikan perasaan bangganya atas pujian yang kuberikan. Seulas
senyum manis terlihat menghias wajahnya, wajah yang masih menyimpan
sisa-sisa kecantikan di usianya yang sudah lebih dari setengah abad.
Melihat Bu Marmo aku jadi ingat Bu
Mirna. Wanita itu pasti lagi sibuk memijat tubuh atasanku. Atau boleh
jadi sambil memijat ia jadi terangsang karena tangan Pak Marmo yang
menggerayang ke paha dan selangkangan atau di memeknya yang kini hanya
dibalut satu buah celana dalam.
Membayangkan semua itu aku kembali
melirik Bu Marmo yang ada di sebelahku. Perbedaan Bu Mirna dengan Bu
Marmo mungkin hanya pada warna kulitnya. Kulit Bu Mirna lebih terang dan
Bu Marmo agak gelap. Kalau teteknya, aku berani bertaruh payudara istri
atasanku ini juga cukup besar ukurannya. Meski tertutup jas hitam dan
kaos krem yang dipakainya, tonjolan yang dibentuknya tak bisa
disembunyikan.
Di luar itu, yang pasti Bu Marmo lebih
wangi dan boleh jadi tubuhnya lebih terawat. Sebab ia memiliki kemampuan
keuangan yang memadai untuk merawat tubuh dan membeli parfum mahal.
Tetapi begitulah hidup, rumput tetangga memang selalu nampak lebih hijau
dibanding rumput di halaman sendiri.
“Sudah berapa lama ya Pak Marmo tidak
menyentuh wanita berwajah manis ini? Ah aku juga mau kalau diberi
kesempatan,” ujarku membathin sambil melirik bentuk kakinya yang panjang
dan tampak indah dibalut celana hitam ketat.
Gara-gara terus-menerus melirik Bu
Marmo, mobil yang kubawa nyaris menabrak becak. Untung Bu Marmo
mengingatkan hingga aku bisa sigap menghindar. “Makanya jangan meleng!
Kenapa sih, sepertinya Nak Anto ngelihatin ibu terus deh,”
“Ee.. ee.. anu.. eee ibu cantik banget sih,” jawabku sekenanya.
“Hush… orang sudah nenek-nenek dibilang cantik,”
Tanpa terasa mobil akhirnya memasuki
pelataran parkir supermarket yang dituju. Tadinya aku berniat menunggu
di tempat parkir sementara istri atasanku itu berbelanja. Tetapi Bu
Marmo memintaku menemani masuk ke supermarket. Bahkan ia menggamit
lenganku sambil berjalan di sisiku layaknya seorang istri pada suami.
Sebagai anak buah dari suaminya,
sebenarnya aku agak canggung. Tetapi karena Bu Marmo terkesan sangat
santai, aku pun akhirnya bisa bersikap wajar. Bahkan setelah
berkali-kali tanpa disengaja lenganku menekan buah dada Bu Marmo yang
kelewat merapat saat berjalan, aku mulai nekad mengisenginya. Sambil
berjalan, siku lengan kiriku sengaja kutekan ke teteknya hingga
kurasakan kelembutan buah dadanya.
Entah tidak tahu ulah isengku atau tahu
tetapi pura-pura tidak tahu, Bu Marmo bukannya menghindar dari siku
lenganku yang ‘nakal’. Sambil terus melangkah di sisiku untuk
melihat-lihat barang-barang di supermarket posisi tubuhnya malah kian
merapat. Akibatnya tonjolan buah dadanya kurasakan ikut menekan
lenganku. Aku juga mulai bisa memperkirakan seberapa besar tetek istri
atasanku itu.
Sebenarnya aku kurang begitu suka
mengaantar istri berbelanja. Sebab biasanya, istriku suka berlama-lama
khususnya ketika berada counter pakaian. Begitu pun Bu Marmo, hampir
setiap baju dan gaun wanita yang menarik hatinya selalu didekati dan
beberapa diantaranya dicobanya di kamar pas.
Namun aku yang biasanya jenuh dan
menjadi bersungut-sungut, kali ini malah menikmatinya. Sebab sambil
menunggu wanita itu memilih baju-baju yang hendak dibelinya, aku jadi
punya banyak kesempatan untuk melihat bentuk tubuh istri atasanku itu.
Saat kuamati dari belakang, wanita yang usianya sudah kepala lima itu
ternyata masih lumayan seksi.
Dalam balutan celana ketat yang
dipakainya, pinggul dan pantat Bu Marmo benar-benar aduhai. Apalagi
celana dalam yang dipakainya jadi tercetak sempurna karena ketatnya
celana warna hitam yang dikenakan. Aku terus melirik dan mencari
kesempatan untuk menatapnya saat Bu Marmo membungkuk atau memilih-milih
pakaian yang menjadikan posisi pantatnya menonjol.
Saat hendak mencoba baju yang
diminatinya di kamar pas, Bu Marmo menitipkan tasnya padaku sambil
meminta berada tak jauh dari lokasi kamar pas. Lagi-lagi goyangan
pinggul dan pantat besarnya menggoda mataku saat ia melangkah. Pikiranku
jadi menerawang membayangkan Bu Mirna. Ada perasaan cemburu karena
kuyakin Pak Marmo lagi berusaha merayu atau malah sudah berhasil
menaklukkan Bu Mirna dan tengah menikmati kemontokkan tubuh wanita itu.
Ah andai Bu Marmo bisa kurayu atau membutuhkan layanan seksku, ujarku
membathin.
Aku merasakan adanya peluang untuk itu
ketika kudengar Bu Marmo memanggilku dari kamar pas. Dengan tergesa aku
menuju ke kamar pas yang letaknya agak terpencil dan tertutup oleh
display aneka pakaian di supermarket tersebut. Namun di lokasi itu,
istri atasanku tak kunjung keluar dan menyampaikan maksudnya memanggilku
hingga aku nekad melongokkan kepala dengan menyibak tirai kamar pas.
Ternyata, di kamar pas Bu Marmo dalam
keadaan setengah telanjang. Karena setelah mencoba baju dan celana yang
hendak dibelinya ia belum memakai pakaiannya lagi. Hanya BH dan celana
dalam krem yang menutup tubuhnya. Maka yang semula hanya bisa
kubayangkan kini benar-benar terpampang di hadapanku.
Wanita yang usianya tidak muda lagi itu,
benar-benar masih menggoda hasratku. Teteknya nampak agak kendur,
tetapi besar dan bentuknya masih bagus. Pahanya mulus tanpa cela. Hanya
meskipun perutnya tidak membuncit seperti perut Bu Mirna, namun terlihat
bergelombang dan ada beberapa kerutan. Maklum karena faktor usia.
Sedangkan gundukkan di selangkangannya benar-benar membuatku terpana,
besar dan membukit. Bisa kubayangkan montoknya memek Bu Marmo dari apa
yang tampak oleh cetakan pada celana dalam yang membungkusnya.
Dan anehnya kendati tahu akan
kehadiranku, ia tak merasa jengah atau mencoba menutupi
ketelanjangannya. Bahkan meskipun mataku terbelalak dan terang-terangan
menjilati ketelanjangannya. “Ih kayak yang nggak pernah lihat perempuan
telanjang saja. Nak tolong ke sales untuk bajunya ganti nomor yang lebih
besar sedikit. Yang ini kekecilan,” ujarnya tetap santai.
Saat kembali seusai menukar baju pada
sales, Bu Marmo memang telah memakai kembali celana panjang warna
hitamnya. Tetapi di bagian atas tetap terbuka. Bahkan tanpa menyuruhku
pergi, ia segera memakai pakaian yang kusodorkan untuk dicobanya
dihadapanku. “Menurut Nak Anto, ibu pantes nggak pakai pakaian model
seperti ini,” ujarnya meminta komentarku.
“Ee.. ee bagus. Seksi banget,”
“Hus dimintai pendapat kok seksi.. seksi. Seksi apaan sih,”
“Ee maksud saya dengan pakaian itu ibu
terlihat makin cantik dan seksi,” kataku yang tidak berkedip menikmati
kemewahan buah dadanya.
Entah karena pujianku atau menganggap
baju itu memang sesuai seleranya, Bu Marmo akhirnya memutuskan
membelinya di samping beberapa stel pakain lainnya. Hanya ketika aku
menemani di counter pakaian dalam dan ia memilih-milih BH nomor 36B,
sambil berbisik kuingatkan bahwa nomor itu terlalu kekecilan dipakai
olehnya.
“Ih sok tahu,” ujarnya lirih.
“Kan tadi sudah dikasih lihat sama ibu,”
Bu Marmo mencubit pinggangku. Tetapi
tidak sakit karena cubitan mesra dan gemas. Kalau bukan ditempat
keramaian, rasanya aku sudah cukup punya keberanian untuk memeluk atau
mencium istri atasanku itu. Karenanya setelah membayar semua yang
dibelinya, saat keluar dari supermarket lengannya kugamit untuk
meyakinkannya bahwa aku pun tertarik padanya.
Seperti tujuannya semula, setelah dari
supermarket Bu Marmo berniat ke rumah temannya untuk urusan pembelian
perhiasan. Tetapi menurutnya ia agak lapar dan ingin menu ikan bakar.
Maka seperti yang dimintanya, mobil pun meluncur ke kawasan pantai di
mana terdapat rumah makan yang berbentuk saung-saung terpisah dan
tersebar dan khusus menjual aneka menu seafood.
Setelah memesan beberapa menu dan
minuman, kami menuju ke salah satu saung paling terpencil dan tertutup
rimbun pepohonan. Tadinya Bu Marmo memprotes karena menurutnya tempatnya
terlalu gelap dan terpencil. Tetapi saat tanganku melingkar ke
pinggangnya dan kukatankan bahwa lebih gelap lebih asyik, protesnya yang
boleh jadi cuma pura-pura segera berhenti dan hanya sebuah cubitan
darinya sebagai jawabannya.
Dari pinggangnya tangaku meliar turun
merayap di pantatnya. Dari luar celana ketat yang dipakainya, pantat
besarnya kuraba. Bokongnya yang lebar masih lumayan padat, hanya agak
sedikit turun. Dengan gemas kuusap-usap dan kuremas pantat Bu Marmo.
Lagi-lagi ia tidak menolak dan bahkan kian merapatkan tubuhnya. Maka
setelah di dalam saung, ia langsung kupeluk dan kulumat bibirnya.
Sejenak ia tidak bereaksi. Hanya diam
membiarkan lidahku bermain di rongga mulutnya. Namun setelah tanganku
merayap di selangkangannya dan menelusup masuk ke dalamnya melalui
risleting celananya yang telah kuturunkan, pagutanku di mulutnya mulai
mendapatkan perlawanan. Bibir dan lidah Bu Marmo ikut aktif melumat dan
memainkan lidahnya.
Memek istri atasanku itu tak cuma tebal,
tapi juga lebar dan membusung. Itu kurasakan saat telapak tanganku
mengusap dari luar celana dalam yang dipakainya. Tetapi nampaknya tak
berambut. Permukannya terasa agak kasar karena munculnya rambut-rambut
yang baru tumbuh. Sepertinya ia baru mencukur bulu-bulu jembutnya itu.
Namun saat aku hendak lebih memelorotkan
celana panjangnya agar leluasa meraba dan mengusap memeknya Bu Marmo
mencegah. “Jangan Nak Anto, nanti ada orang. Kan pelayan belum ke sini
buat nganterin pesanan makanan kita,” sergahya.
“Ii… ii.. iya Bu,”
Benar juga, ujarku membathin. Aku
terpaksa menahan diri untuk tidak meneruskan niatku memelorotkan celana
panjang yang dipakai Bu Marmo. Hanya usapan dan rabaanku di busungan
memeknya tak kuhentikan. Bahkan sesekali aku meremasnya dengan gemas
karena keinginan untuk memasukkan jariku ke lubang nikmatnya tak
kesampaian.
Diobok-obok di bagian tubuhnya yang
paling peka, kendati masih di luar celana dalamnya, Bu Marmo mendesah.
Pelukannya semakin ketat dan lumatannya di bibirku makin menjadi.
Rupanya wanita yang usianya sudah di atas kepala lima itu mulai
terbangkitkan hasratnya.
Cerita Dewasa Ngentot Memek Tante Girang Bikin Tegang
Aku dan Bu Marmo baru melepaskan pelukan
dan segera berbenah setelah dari jauh kulihat dua pelayan wanita
membawa nampan berisi makanan dan minuman yang kami pesan. Selembar uang
pecahan Rp 20 ribu kusisipkan di nampan salah satu pelayan perempuan
setelah mereka selesai menghidangkan yang kami pesan. “Terima kasih dan
selamat menikmati,” kata keduanya sambil melemparkan senyum dan beranjak
meninggalkan saung yang kami tempati.
Tetapi bukannya makanan yang terhidang
yang kuserbu setelah kedua pelayan meninggalkan saung. Dari arah
belakang kudekati dan kupeluk Bu Marmo yang di tikar saung yang
menyajikan makanan secera lesehan itu. “Tidak makan dulu Nak Anto?” ujar
Bu Marmo.
Tetapi aku tak peduli pada apa yang
dikatakan istri atasanku itu. Hasrtaku lebih besar untuk segera
menikmati kehangatan tubuhnya ketimbang makanan yang tersaji. Hingga
setelah membenamkan wajahku ke keharuman rambutnya, tanganku langsung
meliar, Meremasi teteknya dari luar t shirt warna krem yang dipakai
dibalik jaketnya yang tak terkancing.
Seperti tetek Bu Mirna, susu Bu Marmo
juga sudah agak kendur. Tapi dari segi ukuran, nampaknya tak jauh beda.
Besar dan empuk, entah bentuk putingnya. Sambil kuciumi tengkuk dan
lehernya, tanganku merayap ke balik t shirt yang dipakainya. Kembali aku
meremas teteknya dan kali ini langsung dari BH yang membungkusnya.
Kelembutan buah dada Bu Marmo baru benar-benar dapat kurasakan setelah
aku berhasil merogoh dan mengelurkannya dari BH.
Bu Marmo mulai menggelinjang dan
mendesah saat aku meremas-remas teteknya perlahan dan memainkan
puting-putingnya. Ia menyandarkan tubuh ke dadaku seakan memasrahkan
tubuhnya padaku. “Sshhh….aaahhh….. sshhh….aahhh… ibu sudah lama tidak
begini Nak Anto,” ujarnya mendesah.
“Lho kan ada Pak Marmo,” kataku menyelidik.
“Dia jarang mau diajak dan sudah sulit bangun itunya,”
Meski sudah mendengar langsung dari Pak
Marmo aku agak kaget karena ternyata cerita atasanku itu benar adanya.
Pantesan Bu Marmo merasa tidak ada masalah meninggalkan suaminya dipijat
wanita lain berdua di rumahnya.
Ternyata wanita yang ada dalam pelukanku
ini sudah lama tidak dijamah suaminya. Membayangkan itu aku makin
terangsang. Jas hitam yang dipakai Bu Marmo kulepas dari tubuhnya. Namun
saat hendak kulepas kaos krem yang dikenakan dibalik jaket, wanita
istri atasanku itu mencegah. “Takut nanti ada yang ke sini Nak Anto,”
ujarnya.
Meski aku telah membujuknya bahwa tak
mungkin ada pelayan yang datang kecuali tombol bel yang ada ditekan
untuk memanggil, Bu Marmo tetap menolak. Menurutnya ia tetap merasa
was-was karena berada di ruang terbuka. “Kalau celana dalam ibu saja
yang dibuka nggak apa-apa,” katanya akhirnya.
Agak kecewa sebenarnya karena aku ingin
melihat tubuh istri atasanku dalam keadaa bugil. Tetapi membuka celana
berarti memberiku kesempatan melihat memeknya. Bagian yang paling ingin
kulihat pada tubuh Bu Marmo karena saat di kamar pas supermarket, bagian
membusung di selangkangannya itu masih tertutup celana dalam.
Tanpa membuang kesempatan, segera
kubaringkan Bu Marmo di lantai saung yang beralaskan tikar itu. Kubuka
kancing celana hitam yang dipakai dan kutarik risletingnya. Kini kembali
kulihat gundukan memeknya yang masih dibungkus celana dalam krem. Aku
menyempatkan membelai memek istri atasanku itu dari luar celana dalamnya
sebelum menarik dan memelorotkan celana panjangnya. Benar-benar tebal,
besar dan masih cukup liat.
Aku makin terpana setelah memelorotkan
celana dalamnya dan membuat tubuh bagian bawah Bu Marmo benar-benar
bugil. Memeknya benar-benar nyempluk, membusung dan tanpa rambut. Kalau
dibiarkan tumbuh mungkin jembut di memek Bu Mirna masih kalah lebat.
Namun Bu Marmo rupanya lebih senang mencukurnya, hingga nampak gundul
dan polos.
Memek tembemnya itu terasa hangat saat
aku menyentuh dan membelainya. Tetapi sekaligus terasa kasar karena
bulu-bulu jembutnya mulai tumbuh. Aku yang menjadi makin terangsang dan
tak sabar untuk melihat itilnya, segera membuka posisi kaki Bu Marmo
yang masih merapat.
Ah lubang memeknya ternyata sudah lebar,
menganga diantara bibir kemaluannya yang tebal dan berkerut-kerut.
Bibir kemaluannya coklat kehitaman. Tetapi itilnya yang mencuat menonjol
di bagian atas celah memeknya nampak kemerahan. Aku tak lagi bisa
menahan diri. Langsung kukecup memeknya dengan mulutku. Memek Bu Marmo
ternyata sangat terawat dan tidak berbau. Ia mendesah dan makin
melebarkan kangkangan pahanya saat lidahku mulai menyapu seputar bibir
luar vaginanya.
Lidahku terus menjelajah, melata dan
merayap seolah hendak melumasi seluruh permukaan tepian labia mayoranya.
Bahkan dengan gemas sesekali bibir vaginanya yang telah menggelambir
kucerucupi. Membuat Bu Marmo mendesis mengangkat pantat menahan nikmat.
“Aakkhhh… sshhh… shhh… aahhh…. ookkhhh…. ssshhhh,” rintih wanita itu
mengikuti setiap sapuan lidah dan cerucupan mulutku di memeknya.
Sambil mendesis dan mendesah, kulihat Bu
Marmo meremasi sendiri susunya dari luar kaos warna krem yang
dipakainya. Rupanya ia sangat menikmati sentuhan awal oral seks yang
kuberikan. Aku yang memang berniat memberi kesan mendalam pada
persetubuhan pertama dengan istri atasanku itu, segera meningkatkan
serangan. Dengan dua tanganku bibir memeknya kusibak hingga terlihat
lubang bagian dalam kemaluannya. Lubang yang sudah cukup lebar dan
terlihat basah.
Ke celah lubang nikmat itulah lidahku
kujulurkan. Terasa asin saat ujung lidahku mulai memasuki lorong
kenikmatannya dan menyentuh cairan yang keluar membasah. Aku tak peduli.
Ujung lidahku terus terulur masuk menjelajah ke kedalaman yang bisa
dijangkau. Bahkan di kedalaman yang makin pekat oleh cairan memeknya,
lidahku meliar. Melata dan menyodok-nyodok. Akibatnya Bu Marmo tak hanya
merintih dan mendesah tapi mulai mengerang.
“Aahhkkkhhh…. aaahhh…. oookkkhhhh… enak banget Nak Anto. Oookkh.. terus.. Nak, aaakkkhhhhh,” erangnya kian menjadi.
Bahkan ketika lidahku menjilat itilnya,
tubuh istri atasanku itu mengejang. Ia mengangkat tinggi-tinggi
pinggulnya. Seolah menjemput lidahku agar lebih dalam menggesek dan
mendesak ke kelentitnya. Kesempatan itu kugunakan untuk menempatkan
kedua tanganku untuk menangkup dan menyangga pantatnya. Dan sambil terus
menjilati itilnya kubenamkan wajahku di permukaan memeknya sambil
menekan dan meremas-remas pantatnya.
Kenikmatan tak tertahan yang dirasakan
Bu Marmo akibat jilatan-jilatan di kelentitnya membuat gairah wanita itu
makin memuncak. Kakinya mengelonjot dan menyepak-nyepak sambil
erangannya makin menjadi. Bahkan kepalaku dijambaknya. “Ahh.. ahhh..
ooohh ….aaaauuuhhhhh…. enak.. sshhh…. sshhh…. aahhh enak banget. Ibu
nggak tahan Nak Anto, aaahhh…. aahhhh,” sesekali tangannya berusaha
menjauhkan kepalaku dari memeknya.
Tetapi aku tak peduli. Jilatan lidahku
di itilnya bukannya kuhentikan tetapi makin kutingkatkan. Bahkan dengan
gemas, bagian paling peka di kemaluannya itu kucerucupi dan
kuhisap-hisap. Akibatnya ia tak mampu bertahan lebih lama. Pertahanannya
jebol. Kedua pahanya yang kekar menjepit kencang kepalaku dan menekan
hebat hingga wajahku benar-benar membenam di memeknya.
Berbarengan dengan itu ia memekik dan
mengerang kencang namun tertahan. Cairan kental yang terasa hangat juga
kurasakan menyemprot mulutku uang masih menghisap itilnya. Saat itulah
aku tahu Bu Marmo baru saja mencapai puncak kenikmatannya. Rupanya,
upayaku untuk membuatnya orgasme tanpa mencoblos memeknya dengan
kontolku berhasil.
Setelah beberapa lama, nafas Bu Marmo
yang sempat memburu berangsur pulih seiring dengan mengendurnya jepitan
paha wanita itu di kepalaku. Hanya ia tetap terbaring. Mungkin tenaganya
terkuras setelah puncak kenikmatan yang didapatnya. Kesempatan itu
kugunakan untuk menyeka dan membersihkan mulutku memakai serbet makan
yang tersedia bersama sejumlah menu makanan yang belum sempat kami
sentuh.
Aku baru saja menenggak habis segelas
teh manis hangat yang sudah diingin saat Bu Marmo menggeliat dan
terbangun. Kulihat ia tersenyum padaku. Senyum yang sangat manis.
Mungkin sebagai ungkapan terima kasih atas yang baru kuberikan dan sudah
lama tidak diperoleh lagi dari suaminya. “Nak Anto sudah lapar? Kalau
lapar makan dulu deh,” ujarnya.
“Saya sudah kenyang kok Bu,” jawabku.
“Kenyang apa, wong baru minum teh saja kok,”
“Bukan kenyang karena makanan. Tetapi karena menjilati memek ibu yang mantep banget,” candaku sambil menatapi busungan memeknya.
“Ih dasar. Ibu bener-bener nggak tahan lho Nak Anto. Soalnya sudah lama banget nggak dapat yang seperti tadi,” ujarnya tersipu.
Rupanya ia juga baru sadar bahwa bagian
bawah tubuhnya masih telanjang. Celana dalam warna krem miliknya yang
teronggok segera diambil dan Bu Marmo berniat untuk memakainya. Namun
aku langsung mencegah. Kurebut dari tangannya dan kulempar agak jauh
darinya. “Jangan ditutup dulu dong Bu. Saya masih belum puas lihat punya
ibu,” kataku sambil mengusap memeknya.
“Nak Anto tidak pengin makan dulu?”
“Nanti saja ah. Perut saya sih belum
lapar. Tapi kalau yang ini sudah lapar sejak tadi,” ujarku sambil
menurunkan risleting celanaku dan mengeluarkan isinya dari celana dalam
yang kupelorotkan.
Kontolku keras dan tegak mengacung
sempurna. Urat-uratnya terlihat menonjol melingkari sekujur batangnya
yang hitam dan berukuran lumayan besar. Bu Marmo tampak terpana
melihatnya. “Punya saya hitam dan jelek ya Bu,” kataku memancing.
“Bukan.. bukan karena itu. Tapi ukurannya.. kok gede banget,”
“Masa? Tapi ibu suka sama yang gede
kan?” Kataku sambil merubah posisi menggeserkan bagian bawah tubuhku
mendekat ke istri atasanku. Aku berharap ia tak hanya menatap senjataku
tapi mau mengelusnya atau bahkan mengulumnya. Sementara tanganku tetap
merabai dan mengusap-usap memeknya yang tebal.
Bu Marmo ternyata cepat tanggap dan
mengerti apa yang kuinginkan. Batang zakarku digenggamnya. Tetapi ia
hanya mengelus dan seperti mengamati. Mungkin ia tengah membandingkan
senjata milikku dengan kepunyaan suaminya. “Beda dengan milik bapak ya
bu. Punya saya memang sudah hitam dari sananya kok,” candaku lagi.
“Ih.. bukan begitu. Punya Nak Anto
ukurannya nggilani. Kayaknya marem banget,” ujarnya tersenyum. Wajahnya
tampak dipenuhi nafsu.
Akhirnya, Bu Marmo benar-benar melakukan
seperti yang kuharapkan. Setelah mengecu-ngecup topi baja kontolku, ia
mulai memasukkan ke dalam mulutnya. Awalnya cuma sebagian yang
dikulumnya. Selanjutnya, seluruh batang zakarku seperti hendak
ditelannya. Mulutnya terlihat penuh karena berusaha memasukkan seluruh
bagian tonggak daging milikku yang lumayan besar dan panjang.
Wanita istri atasanku itu ternyata cukup
pandai dalam urusan kulum-mengulum. Setelah seluruh bagian batang
kontolku masuk ke mulut, ia menghisap sambil menarik perlahan kepalanya.
Begitu ia melakukannya berulang-ulang. Aku mendesah oleh kenikmatan
yang diberikan. “Oookkhhh… sshhh…. oookkkhhhhh…. enak banget…
aakkkkhhhh…. terusss…. aaakkkkkhhhhhh,” desisku.
Sambil terus melumati batang kontolku,
tangan Bu Marmo juga menggerayang dan memainkan biji-biji pelir milikku.
Kalau bukan di rumah makan mungkin aku sudah mengerang dan melolong
oleh sensasi dan kenikmatan yang diberikan. Sebisaku aku berusaha
menahan agar tidak sampai rintihanku terdengar orang lain.
Untuk melampiaskannya, aku mulai ambil
bagian dalam permainan pemanasan yang dilakukannya. Aku harus bisa
mengimbangi permainan Bu Marmo. Kedua pahanya kembali kukangkangkan dan
wajahku kembali kubenamkan di selangkangannya. Bu Marmo sebenarnya belum
sempat mencuci memeknya setelah lendir kenikmatannya keluar saat
orgasme sebelumnya. Tetapi aku tak peduli. Memek wanita yang sudah
dipanggil nenek itu kucerucupi.
Bahkan jilatan lidahku tidak hanya
menyapu bagian dalam lubang memek dan kelentitnya. Tetapi juga melata di
sepanjang alur liang nikmatnya yang menganga namun juga ke tepian
lubang duburnya. Saat aku menjilat-jilat tepian lubang anusnya Bu Marmo
menggerinjal dan memekik tertahan. Mungkin kaget karena tak menyangka
lidahku bakal menjangkau bagian yang oleh sementara orang dianggap
kotor.
Tetapi itu hanya sesaat. Setelah itu ia
kembali melumati dan menghisapi batang kontolku sambil mendesah-desah
nikmat. Karenanya aku makin fokus dan makin sering kurahkan jilatan
lidahku ke lubang duburnya sambil sesekali meremasi bongkahan pantat
besarnya.
Pertahananku nyaris jebol saat mulut Bu
Marmo mulai mencerucupi biji pelir kontolku. Untung Bu Marmo mengambil
insiatif menyudahi permainan pemanasan itu. Ia memintaku segera
memasukkan rudalku ke liang sanggamanya. “Ahhh… sudah dulu ya. Sudah
nggak kuat pengin merasakan batang Nak Anto yang gede ini nih,” kata Bu
Marmo seraya melepaskan batang kontolu dari genggamannya.
“Ii.. iiya bu, saya juga sudah pengin banget merasakan memek ibu,”
Aku mengambil ancang-ancang di antara
paha Bu Marmo yang mengangkang lebar. Lubang bagian dalam kemaluannya
yang menganga terlihat kemerahan . Sepertinya lubang nikmat Bu Marmo
telah menunggu untuk disogok. Memang sudah lama tidak ditengok karena
kemaluan suaminya yang mulai loyo. Kepala penisku yang membonggol
sengaja kuusap-usapkan di bibir luar memeknya yang sudah amburadul
bentuknya. Bahkan ada sebentuk daging mirip jengger ayam yang menjulur
keluar. Entah apa namanya karena aku baru melihatnya.
Bu Marmo mendesah saat ujung penisku
menyentuh bibir kemaluannya. Meski nafsuku kian membuncah melihat memek
tembemnya yang menggairahkan, aku berusaha menahan diri. Bahkan ujung
topi baja rudalku hanya kumainkan untuk menggesek dan mendorong gelambir
daging mirip jengger ayam di memek Bu Marmo. Sedikit menekannya masuk
dan menariknya kembali.
Akibatnya Bu Marmo merintih dan
memintaku untuk segera menuntaskan permainan. “Ayo Nak Anto… jangan
siksa ibu. Masukkan kontolmu.. ssshhh… aahh… sshh ahhh ayo nak,”
Blleeessseeekkk… akhirnya batang
kontolku kutekan dan benar-benar masuk ke lubang memeknya. Karena sudah
lumayan longgar dan banyaknya pelicin yang membasah di lubang memeknya,
batang kontolku tidak mengalami hambatan berarti saat memasukinya.
Bagian dalam lubang Memek Bu Marmo terasa hangat dan sangat becek.
Setelah batang zakarku benar-benar
membenam di kehangatan liang sanggamanya, kurebahkan tubuhku untuk
menindih tubuh montoknya. Bibir istri atasanku yang merekah perlahan
kukecup dan akhirnya kulumat. Saat itulah sambil terus mengulum dan
melumati bibirnya, mulai kuayun pinggulku dan menjadikan batang kontolku
keluar masuk di lubang memeknya.
Bu Marmo juga mulai mengimbanginya. Tak
kalah hot, lidahku yang menyapu rongga bagian dalam mulutnya sesekali
dihisap-hisapnya. Bahkan ia mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya. Aku
baru mulai merasakan kelebihan yang dimiliki Bu Marmo. Bukan cuma
tubuhnya yang matang akibat usia senja namun masih menggairahkan. Tetapi
kerja otot bagian dalam memeknya juga lebih terasa. Berdenyut dan
seperti memerah batang kontolku.
Kini giliran aku yang dibuatnya
mengerang. Nampaknya istri atasanku telah benar-benar matang dalam hal
urusan ranjang. Untuk melampiaskannya, kuremas gemas teteknya yang besar
dari luar kaos yang dipakainya. Bahkan karena kurang puas, kaosnya
kusingkap dan sepasang payudaranya kurogoh dan kutarik keluar dari
kutangnya. Pentil-pentil teteknya yang berwarna coklat kehitaman
kupelintir dan kumain-mainkan dengan jariku.
Blep… blep…. blep… begitu suara yang
kudengar setiap kali ayunan pinggulku menyentuh selangkangan Bu Marmo.
Di samping bunyi kecipak karena lendir yang kian membanjir di liang
sanggamanya. “Sshhh… ssshh …aahh …. aahh terus nak.. aahh enak banget.
Kontolmu enak bangat Nak Anto,”
“Memek ibu juga enak. Empotannya mantep banget,”
Bu Marmo tersenyum. Wajahnya kian
memerah. Kembali kulumat bibirnya sambil tak lepas tanganku
menggerayangi buah dadanya. Saat itu kurasakan tangan Bu Marmo
mencengkeram pantatku dan mulai menekan-nekannya. Dan kursakan tempo
goyangan pinggulnya makin cepat. Rupanya ia mulai mendekat ke puncak
gairahnya.
Aku yang juga mulai kehilangan daya
tahan segera mengimbanginya. Berkali kontolku kutikamkan ke lubang
memeknya dengan tekanan yang lebih kencang dan lebih bertenaga. Bu Marmo
memekik dan mengerang. “Aaauuww… aaakhhh ,,,, aakkkhhh enak banget…
aaakhhh…. terus… sayang …. aaaakhhh … ya…. aaakhhh memek ibu enak bangat
disogok begini… aaaaakkkkhhhh …. sshhhh… sshhh… aaahhhhh,” rintihan dan
suara Bu marmo makin tak terkontrol.
Aku jadi makin terpacu. Bukan cuma
mulutnya yang kucium. Tapi ujung hidungnya yang bangir dan dahinya juga
kucerucupi dengan mulutku. Bahkan lidahku menjelajah ke lehernya dan
terus melata. Lubang telinga Bu Marmo juga tak luput dari jilatan
lidahku setelah menyibak rambutnya.
Tubuh Bu Marmo kian mengejang. Kedua
kakinya yang kekar dan panjang membelit pinggangku dan menekannya. Kedua
tangannya memeluk erat tubuhku. Rupanya ia hampir sampai di garis batas
kenikmatannya. Aku yang juga sudah mendekati puncak gairah makin
meningkatkan tikaman- tikaman bertenaga pada lubang sanggamanya.
Akhirnya gairah Bu Marmo benar-benar
tertuntaskan. Cairan yang menyembur di lubang memeknya dan cengkereman
kuku-kukunya di punggungku menjadi pertanda kalau ia sudah mendapatkan
orgasmenya. Tetapi aku terus mengayun. Kocokan batang kontolku di lubang
memeknya yang makin banjir tak kuhentikan. Bahkan makin kutingkatkan
karena kenikmatan yang kian tak tertahan.
Puncaknya, Bu Marmo kembali mencengkeram
pantatku. Kali ini dengan sekuat tenaga ia berusaha menahan agar
pinggulku tidak dapat bergerak dan kontolku tetap membenam di lubang
memeknya. Saat itulah, otot-otot bagian dalam vaginanya terasa
mencengkeram bagitu hebat dan bergelombang. Serasa memerah dengan
kuatnya. Aku merintih dan melolong panjang. Pertahanku menjadi jebol dan
maniku menyemprot sangat banyak gua kenikmatan istri atasanku. Bersama
peluh membanjir, tubuhku ambruk di atas tubuh montok Bu Marmo dengan
nafas memburu.
“Nanti ikan bakar dan kepiting saos
tomatnya minta dibungkus saja Nak Anto. Sayang kalau tidak dimakan. Tapi
jangan lupa piring-piringnya dibuat kotor dengan masi dan lauk yang
lain, hingga sepertinya kita sudah benar-benar makan,” kata Bu Marmo
setelah merapikan kembali baju yang dipakainya.
Kami meninggalkan rumah makan saung di
pinggir pantai setelah membayar di kasir dan meninggalkan lembaran dua
puluh ribu rupiah sebagai tip kepada petugas yang membereskan serta
membungkuskan makanan yang memang tidak kami makan. Dari spion, wajah Bu
Marmo kulihat sangat cerah. Pasti karena kenikmatan yang baru
direguknya serta nafsunya yang lama tertahan telah tersalurkan.
“Apa lihat-lihat. Wanita sudah tua kok
masih diajak ngentot,” kata Bu Marmo yang memergoki ulah mencuri-curi
pandang ke arahnya lewat spion. Tetapi perkataannya itu bukan karena
marah.
“Usia boleh saja sudah kepala lima.
Tetapi wajah ibu masih cantik dan tubuh ibu masih sangat merangsang. Mau
deh tiap malam dikelonin ibu,” ujarku menggoda.
“Bener tuh,”
“Sungguh Bu. Saya bisa ketagihan deh oleh empotan memek ibu yang dahsyat tadi,’
“Ibu juga suka sama batang Nak Anto.
Besar dan panjang. Kalau mau kapan-kapan kita bisa mengulang. Kalau ada
kesempatan nanti saya SMS,” ujar Bu Marmo.
Aku sangat senang karena sudah mendapat
peluang untuk terus bisa menyetubuhinya. Tangan Bu Marmo kuraih dan
kugenggam. Bahkan sempat meremas susunya sambil mengendalikan kemudi.
Hanya Bu Marmo mengingatkan bahwa ulahku bisa menyebabkan kecelakaan
hingga aku kembali berkosentrasi pada setir mobil yang kukendarai. Ah,
memek wanita tua ternyata masih sangat nikmat.
Sampai di rumah Pak Marmo sudah tidur di
kamarnya. Sedang Bu Mirna, terlihat berbincang dengan Yu Sarti,
pembantu di rumah itu. Setelah berbincang sebentar, aku dan Bu Mirna
pamit pulang. Hanya sebelumnya Bu Marmo memberikan bungkusan lauk yang
belum sempat kami makan sewaktu di rumah makan. “Buat oleh-olah anak di
rumah Bu,” kata Bu Marmo.
Di jalan, saat membonceng sepeda motor
dan kutanya tentang ulah Pak Marmo, Bu Mirna cerita bahwa atasanku itu
benar-benar genit. Selama dipijat, kata Bu Mirna, ia terus merayu dan
berusaha menggerayangi. “Tapi tidak saya ladeni lho Pak Anto,” ujar Bu
Mirna meyakinkanku.
“Pasti Pak Marmo maksa untuk bisa megang memek ibu kan? Soalnya dia kemarin bilang pengin banget lihat punya ibu,”
“Iya sih tapi hanya pegang. Dan karena terus maksa akhirnya ibu kocok,” ungkap Bu Mirna jujur.
Aku tertawa dalam hati. Sementara
suaminya hanya bisa meraba memek wanita lain dan dipuaskan dengan
dikocok, istrinya malah sampai orgasme dua kali disogok penis laki-laki
lain. Bahkan istrinya berjanji untuk mengontak agar bisa mengulang
kenikmatan yang telah kami lakukan.
Sampai di rumah anak-anak Bu Mirna sudah
tidur. Dan mungkin karena terangsang gara-gara memeknya digerayangi Pak
Marmo, Bu Mirna memaksaku untuk singgah di rumahnya. Untuk menolak
rasanya kurang enak. Karena biasanya aku yang sering memintanya untuk
melayaniku.
Rupanya nafsu Bu Mirna sudah benar-benar
tinggi. Di kamarnya, saat ia mulai mengulum batang kontolku dan
tanganku menggerayang ke selangkangannya, memeknya sudah basah. Bahkan
saat tangaku mulai mencolok-colok lubang nikmatnya, Bu Mirna kelabakan.
Memintaku untuk segera menuntaskan hasratnya.
Tetapi aku berusaha bertahan. “Punya
saya belum terlalu keras Bu. Nanti kurang enak. Kalau ibu menjilatnya di
sini, pesti cepat kerasnya,” kataku sambil mengangkat dan
memperlihatkan lubang anusku,” kataku.
Sebenarnya, kontolku kurang keras karena
sebelumnya telah dipakai melayani Bu Marmo di rumah makan. Namun
keinginan untuk dijilati di bagian anus, mendapat tanggapan serius Bu
Mirna. Ia langsung berjongkok di tepi ranjang dan berada selangkanganku.
Dan tanpa ragu atau merasa jijik, langsung menjulurkan lidahnya untuk
menyapu biji pelirku dan diteruskan dengan menjilat-jilat lubang
duburku. Rasanya geli-geli nikmat dan membuat tubuhku merinding.
Akibatnya aku dibuat kelojotan. Dibuai
kenikmatan yang diberikan Bu Mirna. Terlebih ketika ia mulai
mencucuk-cucukkan lidahnya ke lubang duburku. “Aaakkhhhhh… aakkhh.. enak
banget …. oookkh enak banget. Saya suka suka banget ngewe sama ibu.
Oookkkh … nikmat,”
Dirangsang sebegitu rupa kontolku makin
mengeras. Tetapi Bu Mirna terus saja menjilati dan mencerucupi anusku.
Ia melakukannya sambil meremasi dan mengocok-ngocok kontolku yang makin
terpacak. Takut keburu muncar sebelum dipakai menyogok lubang memeknya,
aku meminta Bu Mirna menghentikan aksinya.
Tubuh montoknya langsung kutarik dan
kutelentangkan di ranjang. Dalam posisi mengangkang, aku langsung
menungganginya. Bleesss… kontolku langsung membelesak di lubang
nikmatnya yang basah. Ia agak tersentak. Mungkin karena aku
menggenjotnya secara tiba-tiba. Namun ia tidak mengeluh dan malah
mendesah nikmat.
“Ah… sshh… aahh.. enak banget. Marem banget kontolnya Pak Anto,”
Dan lenguhannya makin menjadi ketika aku
mulai memompanya. Aku mencolok-colok dan memaju-mundurkan pinggangku
dengan tempo cepat. Tubuh Bu Mirna terguncang-guncang dan susunya yang
besar bergoyang-goyang. Gemes dan merangsang banget melihatnya. Aku jadi
tergerak untuk meraba dan meremas-remasnya sambil menikmati kehangatan
lubang nikmatnya.
Aku sudah beberapa kali menyetubuhi Bu
Mirna. Tetapi sepertinya tidak pernah bosan. Memek Bu Mirna meskipun
sudah lumayan longgar tapi tetapi terasa kesat dan liat. Terlebih bila
ia sudah memain-mainkan otot-otot bagian dalam lubang vaginanya. Erangan
dan desahannya juga selalu mengipasi nafsuku.
Cukup lama kami saling memacu. Sampai
akhirnya Bu Mirna mengisyaratkan bahwa ia hampir memperoleh orgasmenya.
Maka kocokan dan sogokan kontolku di lubang kemaluannya kian
kutingkatkan. Berdenyut-denyut batang kontolku dibuatnya saat Bu Mirna
mulai mengimbangi dengan empotannya. Akhirnya Bu Mirna memperoleh apa
yang didambanya dan aku pun sama. Spermaku menyemprot dan membasahi
liang vaginanya. Tubuhku ambruk di kemontokan tubuh wanita yang basah
oleh keringat.
0 comments:
Post a Comment