Pada kesempatan kali ini, aku ingin
menceritakan pengalaman menarik dan seksi yang lain antara aku dan
Karen. Hubungan kami telah berlangsung selama hampir 1 tahun lama-nya.
Sejak kejadian malam itu, kami berdua semakin sering melakukan hubungan
badan. Paling tidak 3 sampai 4 kali dalam seminggu atau tidak sama
sekali, terutama kalo aku atau dia sedang banyak kerjaan di kantor. Dan
kami melakukan-nya hampir kapan saja. Tapi kebanyakan kami melakukan-nya
di rumah (kebanyakan di sofa dan kamar tidur). Tapi kami pernah
melakukan 2 kali di parkiran mobil di apartment kami. Yah, aku akui saja
kalo melakukan hubungan seks di dalam mobil adalah paling tidak nyaman.
Selain sempit, susah sekali untuk bergerak bebas. Tapi tantangan dan
perasaan berdebar-debar takut kepergok orang lain itulah yang kami
nikmati pula, membuat kehidupan seks kami makin berwarna.
Hubungan ini tentu saja tidak ada yang tau menahu, terutama pacar Karen waktu itu dan Lisa yang sekarang ini sudah berada di Indonesia. Sampai pada akhir-nya Karen memutuskan hubungan-nya dengan pacar-nya. Alasan yang Karen pakai untuk putus dengan pacar-nya adalah hilangnya perasaan cinta-nya terhadap dia. Aku sendiri pun tidak berani bertanya kepada Karen apa sekarang ini hanya akulah yang ada di dalam hati-nya.
Hubungan ini tentu saja tidak ada yang tau menahu, terutama pacar Karen waktu itu dan Lisa yang sekarang ini sudah berada di Indonesia. Sampai pada akhir-nya Karen memutuskan hubungan-nya dengan pacar-nya. Alasan yang Karen pakai untuk putus dengan pacar-nya adalah hilangnya perasaan cinta-nya terhadap dia. Aku sendiri pun tidak berani bertanya kepada Karen apa sekarang ini hanya akulah yang ada di dalam hati-nya.
Terus terang, aku juga tidak mengerti
dengan perasaan-ku terhadap Karen waktu itu. Apakah aku suka padanya
karena dia menarik hati-ku secara seksual atau lebih dari itu. Karen pun
tidak pernah menanyakan kepadaku apakah aku sebenar-nya telah menaruh
hati kepada diri-nya. Jadi perasaan-ku saat itu seakan-akan lambung, dan
penuh dengan ketidakpastian serta kekhawatiran.
Banyak yang harus dipertimbangkan dalam
hubungan ini. Aku tidak berani melaju 1 langkah lagi. Mengingat Karen
adalah kakak bekas pacar-ku yang dulu, dan bagaimana nanti apabila orang
tua kami berdua mengetahui hubungan ini. Apalagi aku sendiri tidak tau
antara aku telah mencintai Karen sebagai pacar atau karena seks saja.
Mungkin aku terlalu egois untuk memikirkan hal-hal yang seperti ini,
karena aku tidak mempertimbangkan perasaan Karen.
Semua ini telah terjawab saat aku berada
di Sydney untuk tugas di sana selama 50 hari dari awal bulan November
2006 sampai pertengahan December 2006. Perusahaan-ku mengirim 1 team
(total 4 orang) termasuk aku ke kota Sydney untuk membantu team lain di
sana mengembangkan system dari perusahaan ternama di Australia. Kantor
pusat kami berada di Sydney, dan salah satu kantor cabang di mana aku
bekerja tetap adalah di kota Melbourne. Paling tidak tiap 3 bulan
sekali, kami harus berkunjung ke Sydney untuk briefing atau branch
meeting. Dan itupun hanya untuk beberapa jam saja, jadi aku tidak perlu
sampai harus bermalam di Sydney. Tapi kali ini berbeda, karena aku harus
tinggal paling tidak selama 50 hari di Sydney.
Karen ternyata tidak menyambut gembira
kabar ini. Tapi dia pun tidak mempunyai pilihan yang lain untuk menahan
aku pergi, karena ini proyek yang tidak bisa diremehkan.
Aku berangkat hari Senin pagi bersama
teman-teman kerja yang lain. Kami berkumpul di kantor cabang Melbourne,
lalu menyewa taxi melaju ke Melbourne domestic airport. Sesampai di
Sydney, kami disambut oleh utusan dari kantor pusat dan mengantar kami
ke hotel. Hotel kami berada 1 block dari kantor pusat, dan berada di
lokasi yang amat strategis. Akses mudah ke pertokoan dan restaurants,
jadi urusan makan dan shopping tidak perlu kuatir. Semua akomodasi
ditanggung oleh kantor pusat termasuk uang jajan pribadi.
Pada hari pertama di Sydney, malam
hari-nya aku menelpon Karen menanyakan kabar-nya. Kami banyak
berbincang-bincang sambil tertawa canda. Banyak kali Karen bertanya
kapan aku pulang dari Sydney. Aku sendiri tidak tau kapan bisa selesai
proyek ini, yang pasti 50 hari itu adalah perkiraan perusahaan kami.
Tapi aku mengatakan pada Karen kalo aku akan bekerja keras agar proyek
ini bisa selesai lebih cepat 2 atau 3 hari dari perkiraan.
Aku mengusulkan kepada Karen kalau aku
bisa terbang ke Melbourne tiap Jumat malam dan kembali ke Sydney hari
Senin pagi hari. Karena perjalanan Melbourne – Sydney dengan pesawat
terbang hanya sekitar 1 jam saja. Tapi usulan ini ditolak Karen, karena
tidak ingin membuat aku letih atau sakit. Juga kata Karen baik untuk
kami berdua untuk saling membiasakan diri jauh dari masing-masing.
Minggu-minggu pertama, kedua, dan
ketiga, aku bisa mengendalikan perasaan-ku dan karena sibuk-nya
pekerjaan, aku bisa melupakan kerinduan-ku kepada Karen.
Sampai pada akhir-nya sebulan lama-nya,
aku sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Karen. Aku masih ingat
malam itu, hari Kamis malam di akhir bulan November 2006. Aku teramat
sangat rindu terhadap Karen. Sampai akhir-nya aku menelpon dirinya dari
kamar hotel-ku.
“Hallo Karen? Gimana kabar-nya? Sudah dinner belon?”, sapa-ku hangat.
Terdengar balasan suara lembut dari sana.
“Hallo kak Ditto. Karen tadi beli take away saja, males masak. Karena masak buat Karen doang is such a waste”, jawabnya.
“Karen abis ini mau ngapain?”, tanya-ku sekali lagi.
“Hmmm…mungkin nonton TV atau browsing Internet. Apalagi dong kalo selain dua itu?”, canda Karen sambil tertawa ringan.
“Emang kak Ditto pengen Karen ngapain? Kak Ditto ngga ada di sini, jadi Karen menganggur.”, goda Karen.
“Anu…emang Karen lagi pengen?”, tanya-ku lagi. Mengerti kan maksud dari pertanyaan-ku ini.
“Yeee… kak Ditto ge-er nih. Selama kak Ditto di sini Karen kan ngga usah masak, potong buah buat kak Ditto.”, jawab Karen bercanda.
“Iya benar juga sih. Emang Karen menikmati hari-hari menganggur ini?”, tanya-ku penasaran.
“Tentu saja tidak. Karen pengen kak Ditto di sini. Karen sepi banget di sini. Cepat pulang dong?! Masa ngga kangen ama Karen?”, pinta-nya manja.
“Tentu saja kangen, tiap hari aku rindu ama Karen loh”, jawab-ku.
“Emang kak Ditto rindu apa-nya dari Karen? Kak Ditto anggap Karen sebagai siapa?”, tanya-nya sedikit serious.
“Hallo Karen? Gimana kabar-nya? Sudah dinner belon?”, sapa-ku hangat.
Terdengar balasan suara lembut dari sana.
“Hallo kak Ditto. Karen tadi beli take away saja, males masak. Karena masak buat Karen doang is such a waste”, jawabnya.
“Karen abis ini mau ngapain?”, tanya-ku sekali lagi.
“Hmmm…mungkin nonton TV atau browsing Internet. Apalagi dong kalo selain dua itu?”, canda Karen sambil tertawa ringan.
“Emang kak Ditto pengen Karen ngapain? Kak Ditto ngga ada di sini, jadi Karen menganggur.”, goda Karen.
“Anu…emang Karen lagi pengen?”, tanya-ku lagi. Mengerti kan maksud dari pertanyaan-ku ini.
“Yeee… kak Ditto ge-er nih. Selama kak Ditto di sini Karen kan ngga usah masak, potong buah buat kak Ditto.”, jawab Karen bercanda.
“Iya benar juga sih. Emang Karen menikmati hari-hari menganggur ini?”, tanya-ku penasaran.
“Tentu saja tidak. Karen pengen kak Ditto di sini. Karen sepi banget di sini. Cepat pulang dong?! Masa ngga kangen ama Karen?”, pinta-nya manja.
“Tentu saja kangen, tiap hari aku rindu ama Karen loh”, jawab-ku.
“Emang kak Ditto rindu apa-nya dari Karen? Kak Ditto anggap Karen sebagai siapa?”, tanya-nya sedikit serious.
Bak kesambar petir, aku tau suatu hari
Karen pasti menanyakan hal ini. Dan aku terdiam beberapa saat, tidak
mengerti harus menjawab apa. Suasana hening sesaat, sampai pada
akhir-nya Karen bersuara.
“Sebenar-nya kak Ditto mengganggap Karen sebagai apa? Karen kadang-kadang tidak tau apa yang sedang kak Ditto pikirkan atau rasakan. Karen takut bertanya-tanya mengenai hal ini kepada kak Ditto. Tapi perlu kak Ditto mengerti bahwa bagi Karen, kak Ditto adalah orang paling penting di hati Karen.”, sambung-nya.
“…”, aku pun masih hening. Aku seperti mencaci maki diriku. Apa sebenar-nya mau-ku ini? Wanita lembut, baik hati, dan amat menyayangi-ku sedang memberi-ku sinyal, dan aku tidak tau harus bertindak bagaimana.
“Sebenar-nya kak Ditto mengganggap Karen sebagai apa? Karen kadang-kadang tidak tau apa yang sedang kak Ditto pikirkan atau rasakan. Karen takut bertanya-tanya mengenai hal ini kepada kak Ditto. Tapi perlu kak Ditto mengerti bahwa bagi Karen, kak Ditto adalah orang paling penting di hati Karen.”, sambung-nya.
“…”, aku pun masih hening. Aku seperti mencaci maki diriku. Apa sebenar-nya mau-ku ini? Wanita lembut, baik hati, dan amat menyayangi-ku sedang memberi-ku sinyal, dan aku tidak tau harus bertindak bagaimana.
“Kak Ditto?!”, tanya-nya lagi.
“Iya Karen. Aku masih di sini”, jawab-ku.
“Apakah lebih baik kak Ditto tidak menelpon Karen sampai nanti kak Ditto kembali dari Sydney?”, minta-nya serious.
“Lho, kok begitu?”, tanya-ku heran.
“Karen ingin kak Ditto berpikir dengan perasaan kak Ditto, apakah sebenar-nya arti Karen bagi kak Ditto? Karena Karen ingin menjadi orang yang paling berarti buat kak Ditto melebihi orang lain. Apa pun alasan-nya.”, dengan nada serius.
Aku masih belon bisa menjawab pertanyaan Karen. Karena aku sendiri pun masih belum menemukan jawaban-nya malam itu. Akhir-nya percakapan kami ditutup pada malam itu.
“Iya Karen. Aku masih di sini”, jawab-ku.
“Apakah lebih baik kak Ditto tidak menelpon Karen sampai nanti kak Ditto kembali dari Sydney?”, minta-nya serious.
“Lho, kok begitu?”, tanya-ku heran.
“Karen ingin kak Ditto berpikir dengan perasaan kak Ditto, apakah sebenar-nya arti Karen bagi kak Ditto? Karena Karen ingin menjadi orang yang paling berarti buat kak Ditto melebihi orang lain. Apa pun alasan-nya.”, dengan nada serius.
Aku masih belon bisa menjawab pertanyaan Karen. Karena aku sendiri pun masih belum menemukan jawaban-nya malam itu. Akhir-nya percakapan kami ditutup pada malam itu.
Setelah percakapan malam itu, aku
berusaha untuk tidak menghubungi Karen selama sisa waktu di Sydney.
Ingin gila rasa-nya, aku benar-benar rindu pada-nya. Tapi aku berusaha
keras untuk tidak menghubungi-nya, agar aku juga bisa berpikir dengan
leluasa.
Karen, Karen, Karen, dan Karen.
Begitulah isi otak-ku saat itu. Tiap kali makan, tiap kali mandi, tiap
kali shopping, selalu saja wajah Karen yang muncul di otak-ku. Aku tidak
menyangka betapa penting-nya Karen bagiku.
Sampai pada malam terakhir di Sydney,
perusahaan kami mentraktir kami semua makan malam sebagai ucapan terima
kasih kepada team Melbourne yang telah membantu pengembangan proyek
tersebut. Meskipun system itu belum 100% selesai, tapi kami yakin team
dari kantor pusat bisa menyelesaikan-nya dengan baik. Karena kantor
cabang kami yang di Melbourne juga telah memohon kantor pusat di Sydney
untuk (istilah-nya) mengembalikan asset mereka (kami berempat) secepat
mungkin.
Sekembali di hotel, aku mengirimkan sms
kepada Karen. “Hallo Karen. Besok aku kembali ke Sydney. Aku pengen
ngomong sesuatu buat Karen. Karen sabar yah. See u 2morrow”.
Tak lama kemudian Karen meresponse
sms-ku. “Hallo juga kak Ditto. Karen dah ga sabar lagi sampai kak Ditto
pulang. Ati-ati di jalan ya”.
Aku sms Karen lagi. “Let’s celebrate
my arrival. Tolong booking restaurant di Sails on the Bay. Check di
Internet untuk nomer telp mereka”.
“No problem. Tapi kok pilih restaurant mahal sich?!”, jawab-nya di sms.
“Kalo sekali-kali ngga apa-apa. Pengen romantic dinner ama Karen.”, jawab-ku.
“Ok deh. Can’t wait to see you. :-)”, jawab-nya Karen.
“Kalo sekali-kali ngga apa-apa. Pengen romantic dinner ama Karen.”, jawab-ku.
“Ok deh. Can’t wait to see you. :-)”, jawab-nya Karen.
Esok hari-nya, setelah berpisah di
kantor pusat, kami berempat dengan segara meninggalkan Sydney menuju
Sydney Airport. Selama perjalanan pulang, aku terus berpikir tentang
kata-kata apa yang ingin aku ucapkan untuk Karen. Perlu diketahui, aku
telah memutuskan untuk menjadikannya pacar bagiku. Tapi aku ingin
menyusun kata-kata proklamasi yang baik dan benar. Maklum, I am not very
good at this.
Sesampai di Melbourne, kami berempat
kembali menyewa taxi lagi menuju kantor cabang di Melbourne. Maklum
juga, kantor cabang Melbourne hanya memiliki 2 mobil kantor, dan selalu
saja kedua mobil tersebut tidak pernah sepi. Hari itu adalah hari Jumat,
jadi sesampai di kantor cabang Melbourne, kami banyak briefing project
development kami di Sydney dengan head manager kami dengan suasana
santai. Jam masih menunjukkan pukul 3 sore, masih ada 2.5 jam lagi
sampai pulang. Tapi head manager kami memperbolehkan kami untuk pulang
lebih awal.
Tawaran langka yang tidak bakalan kami
lewatkan. Aku putuskan untuk jalan-jalan dulu di Melbourne city, sambil
window shopping juga. Looking for something nice buat Karen. Akhir-nya
aku berhenti di depan toko jewellery Tiffany & Co, dan aku melihat
kalung yang sungguh indah. Tanpa berpikir panjang aku masuk toko
tersebut dan membeli kalung itu. Aku yakin Karen akan semakin cantik
mengenakan kalung tersebut.
Jam telah menunjukkan pukul 5, aku
buruan saja pulang ke apartment-ku. Booking time buat dinner kami jam 7
malam. Karena bulan itu adalah musim panas, jam 7 malam masih terlihat
terang di kota Melbourne.
Sesampai di apartment, semua tampak
terlihat sedikit berbeda. Semua-nya serba rapi dan teratur, serta
bersih. Aku jadi malu pada diri-ku sendiri, berarti aku orang yang
paling berantakan di apartment ini. Sebulan lebih tanpa aku di sini,
semua jadi rapi kembali. Ini pasti hasil kerja Karen selama aku di
Sydney. Dia sangat rapi dan organised sekali kepribadian-nya.
Tanpa berpikir panjang lagi langsung
menuju kamar mandi dan segera membasahi diriku. Selama di dalam kamar
mandi, aku terus berpikir tentang apa yang akan aku katakan kepada
Karen.
“Karen, I love you. Be my girlfriend”, pikirku singkat. Jangan deh, terlalu singkat dan urakan lagi kesannya.
“Karen, I can’t live without you.”, pikirku lagi. Gile, terlalu singkat dan muluk lagi.
“Duh, gimana nih?!”, tanyaku pada diri sendiri.
“Sudah lah, let it flow like wind. You can do it.”, jawabku dengan setengah percaya diri.
“Karen, I love you. Be my girlfriend”, pikirku singkat. Jangan deh, terlalu singkat dan urakan lagi kesannya.
“Karen, I can’t live without you.”, pikirku lagi. Gile, terlalu singkat dan muluk lagi.
“Duh, gimana nih?!”, tanyaku pada diri sendiri.
“Sudah lah, let it flow like wind. You can do it.”, jawabku dengan setengah percaya diri.
Setelah selesai mandi, aku hanya keluar
dari kamar mandi dengan bagian tubuh bawah ditutup oleh handuk. Maklum
musim panas, aku malas sekali berpakaian lengkap sehabis mandi.
Aku melihat tas kerja Karen di atas sofa. Jadi aku tebak Karen sudah pulang dari Kantor.
“Karen, where are youuuu?”, panggilku manja.
“Kak Dittoooo, mana oleh-oleh nyaaa?”, jawabnya manja pula sambil menghampiriku dan memelukku erat.
“Ntar dulu, sewaktu dinner nanti.”, jawabku sambil tersenyum.
“Sip sip. Karen mau mandi dulu. Kak Ditto siap-siap aja dulu. Setelah itu panasin mobil yah kalo sempat.”, pinta Karen.
“Ok”, jawabku singkat.
“Karen, where are youuuu?”, panggilku manja.
“Kak Dittoooo, mana oleh-oleh nyaaa?”, jawabnya manja pula sambil menghampiriku dan memelukku erat.
“Ntar dulu, sewaktu dinner nanti.”, jawabku sambil tersenyum.
“Sip sip. Karen mau mandi dulu. Kak Ditto siap-siap aja dulu. Setelah itu panasin mobil yah kalo sempat.”, pinta Karen.
“Ok”, jawabku singkat.
Setelah diriku siap, aku dengan segera
mengantongi kalung yang aku beli dari Tiffany & Co yg terbungkus
kotak kecil dengan hiasan yang mungil.
Aku duduk di sofa sambil menonton siaran TV yang kebetulan menayangkan film seri The Simpsons. Jam masih menunjukkan pukul 6, jadi I take my time relaxing di sofa.
Aku duduk di sofa sambil menonton siaran TV yang kebetulan menayangkan film seri The Simpsons. Jam masih menunjukkan pukul 6, jadi I take my time relaxing di sofa.
Tak lama kemudian Karen keluar dari
kamar mandi dan segera menuju kamarnya. Kudengar music dan suara bising
hair dryer dari dalam kamar-nya. Bisa aku menebak kalo Karen sedang
sibuk berdandan di dalam kamar-nya.
Setengah jam kemudian, Karen akhirnya
keluar dari tempat persembunyian-nya. Tampak dia berdiri di samping sofa
tempat aku yang sedang duduk dengan kaki menjulur dengan nikmatnya.
“Kak Ditto, Karen dah siap berangkat.”, sapanya ringan.
“Oh my goodness…”, pikirku dalam hati. Karen malam itu mengenakan gaun warna biru muda. Rambut panjangnya dibiarkan terlepas tanpa mengenakan jepitan atau ikatan apapun. Bau parfum yang dikenakan sungguh harum dan cocok dengan gaun yang dikenakannya pula. Ditambah dengan bros warna pink berbentuk hati makin membuatnya anggun malam itu. Apapun yang dikenakannya malam itu tampak simple atau sederhana, tapi apabila digabung semuanya di tubuh Karen, membuatnya luar biasa indah.
“You look beautiful.”, kataku tanpa berpikir panjang.
“Thanks”, jawab Karen sambil menunjuk dan mencium pipiku.
“We will be late. Yuk kita berangkat sekarang.”, pinta Karen.
“Kak Ditto, Karen dah siap berangkat.”, sapanya ringan.
“Oh my goodness…”, pikirku dalam hati. Karen malam itu mengenakan gaun warna biru muda. Rambut panjangnya dibiarkan terlepas tanpa mengenakan jepitan atau ikatan apapun. Bau parfum yang dikenakan sungguh harum dan cocok dengan gaun yang dikenakannya pula. Ditambah dengan bros warna pink berbentuk hati makin membuatnya anggun malam itu. Apapun yang dikenakannya malam itu tampak simple atau sederhana, tapi apabila digabung semuanya di tubuh Karen, membuatnya luar biasa indah.
“You look beautiful.”, kataku tanpa berpikir panjang.
“Thanks”, jawab Karen sambil menunjuk dan mencium pipiku.
“We will be late. Yuk kita berangkat sekarang.”, pinta Karen.
Kita sampai ke tempat tujuan pukul 7
lewat 10 menit. Restoran pilihanku memang tidak salah. Selain interior
designnya yang menarik, lokasinya pun tidak kalah menarik. Lokasi
restoran tersebut tepat di pinggir pantai. Kami telah memesan meja di
dalam with ocean view. Bagian luar yang menghadap pantai dilapisi oleh
dingin kaca yang besar, sehingga tamu restoran dapat menikmati
pemandangan ocean sambil menyantap hidangan mereka.
Setelah memesan entree, main, and
dessert kepada waitress yang melayani kami, kami pun ngobrol santai
sambil menunggu pesanan kami keluar. Kebanyakan aku yang mendominasi
percakapan, karena aku ingin bercerita tentang pengalaman kerjaku selama
di Sydney. Karen pun hanya senyum-senyum saja mendengar ceritaku. Aku
ngga tau apa Karen malam itu mendengarkan ceritaku atau hanya sekedar
mendengar. Ah, tidak apalah, lagian tidak terlalu penting juga buat
Karen.
Pinot Noir wine pilihanku and Cabernet
Sauvignon wine pilihan Karen mewarnai suasana malam yang indah itu.
Tidak ada yang perlu kita kuatirkan karena besok adalah hari Sabtu, dan
malam ini adalah malam yang panjang untuk kita berdua.
Jam telah menunjukkan pukul 9 malam, dan
warm sticky date pudding dessert-ku telah aku santap habis. Tampak
Karen yang masih menikmati lemon cheese cake-nya. Kini saatnya aku harus
mengatakannya kepada Karen apa yang ingin aku katakan padanya.
“Karen, thank you for coming the dinner tonight?”, kataku sambil memulai percakapan baru.
“Ah Kak Ditto, jangan formal gitu dong. Please.”, jawab Karen sambil tersenyum ramah.
“Karen. … I have a confession to make. But before that I like to give you something”, jawabku secepatnya sambil merogoh-rogoh kantung celanaku.
Kuletakkan kotak kalung itu dan kudorong pelan-pelan menuju pinggir piring dessert Karen.
“What is it?”, tanya Karen dengan pipinya yang telah berubah menjadi kemerahan.
“Please, open it. I know you’re gonna like it.”, jawabku singkat.
“Ah Kak Ditto, jangan formal gitu dong. Please.”, jawab Karen sambil tersenyum ramah.
“Karen. … I have a confession to make. But before that I like to give you something”, jawabku secepatnya sambil merogoh-rogoh kantung celanaku.
Kuletakkan kotak kalung itu dan kudorong pelan-pelan menuju pinggir piring dessert Karen.
“What is it?”, tanya Karen dengan pipinya yang telah berubah menjadi kemerahan.
“Please, open it. I know you’re gonna like it.”, jawabku singkat.
Setelah kotak itu dibuka olehnya, tampak
mukanya menjadi berseri-seri bercampur malu-malu. Tanpa berpikir
panjang, Karen berdiri dari tempat duduknya dan dengan segera memelukku
sambil mencium pipi kiriku.
“Thank you kak Ditto. It’s cute. Karen
suka banget”, jawab Karen. Kubantu dirinya memasang kalung tersebut, dan
benar juga menurutku, she looks even prettier dengan mengenakan kalung
itu.
“Well, Karen. Masih ada lagi yang pengen aku kasih buat Karen. Tapi ini bukan barang.”, kataku lagi.
Kali ini tampak wajah Karen sedikit berubah. Berubah menjadi bertanya-tanya dan wajah ingin tau.
“Karen, I hope you know that I like you a lot. Like di sini buat dalam arti sekedar suka. Tapi like di sini … hmmm … berarti lebih daripada suka.”, kataku sambil grogi.
Karen masih diam, dan kali ini sorot matanya menatap mataku tajam.
“I know this is going to hard for both of us, but if we both work together – aku yakin we can make it. Mungkin ini saatnya kita harus mengakhiri hubungan ini … dan …”, kataku sambil menggoda.
Tak karuan saja Karen terkejut dan shocked. Sorot matanya makin tajam menusuk.
Kini cepat-cepat aku lanjutkan kata-kataku, “… dan mari kita memulai hubungan kita yang baru, di mana itu lebih memiliki masa depan untuk kita berdua.”.
“Karen, would you like to be my girlfriend and to love me as your boyfriend?”, pintaku kepadanya.
Kali ini tampak wajah Karen sedikit berubah. Berubah menjadi bertanya-tanya dan wajah ingin tau.
“Karen, I hope you know that I like you a lot. Like di sini buat dalam arti sekedar suka. Tapi like di sini … hmmm … berarti lebih daripada suka.”, kataku sambil grogi.
Karen masih diam, dan kali ini sorot matanya menatap mataku tajam.
“I know this is going to hard for both of us, but if we both work together – aku yakin we can make it. Mungkin ini saatnya kita harus mengakhiri hubungan ini … dan …”, kataku sambil menggoda.
Tak karuan saja Karen terkejut dan shocked. Sorot matanya makin tajam menusuk.
Kini cepat-cepat aku lanjutkan kata-kataku, “… dan mari kita memulai hubungan kita yang baru, di mana itu lebih memiliki masa depan untuk kita berdua.”.
“Karen, would you like to be my girlfriend and to love me as your boyfriend?”, pintaku kepadanya.
Mendengar pertanyaan ini, sorot mata
Karen menjadi sayu, dan Karen hanya bisa menunduk sambil menatap lemon
cheese cake dessertnya yang tinggal separoh. Karen diam saja. Aku
menjadi salah tingkah, dan tidak tau harus berbuat apa sekarang.
“Sorry kalo pertanyaan ini membuat Karen shocked, but I hope I can hear a Yes or No answer dari Karen.”, jawabku.
“Kalo Karen butuh waktu untuk menjawabnya, aku ngga keberatan to give Karen sometime to think.”, sambungku lagi.
“Kalo Karen butuh waktu untuk menjawabnya, aku ngga keberatan to give Karen sometime to think.”, sambungku lagi.
Karen masih diam saja, tapi kali ini
Karen melanjutkan lagi menyantap sisa lemon cheese cake-nya tanpa
sepatah kata pun. Aku makin bingung dibuatnya.
Setelah habis menyantap dessert-nya,
Karen meneguk sisa wine yang masih tersisa sedikit dan kembali menatap
wajahku. Kami saling memandang, dan kemudian Karen tersenyum simpul.
“Hari ini Karen benar-benar dikasih dua hadiah yang indah dari kak Ditto. Apalagi hadiah yang kedua.”, kata Karen.
“Jadi, it’s a Yes or it’s a No?”, tanyaku.
Karen sedikit maju, dan wajahnya mendekat ke wajahku sambil tersenyum manja dan berkata, “It’s a big YES”.
Kami berdua saling tersenyum, dan kucium kedua tangannya.
“Jadi, it’s a Yes or it’s a No?”, tanyaku.
Karen sedikit maju, dan wajahnya mendekat ke wajahku sambil tersenyum manja dan berkata, “It’s a big YES”.
Kami berdua saling tersenyum, dan kucium kedua tangannya.
Hari proklamasi-ku memang sangat
traditional, tapi sangat berkesan bagi kami. Sejak malam itu, hubungan
kami menjadi official (istilahnya).
Kami meninggalkan restoran pukul 10
malam, dan kami tidak langsung pulang ke rumah. Tapi kami menyempatkan
diri jalan-jalan di pinggir pantai malam itu. Sambil bergandengan
tangan, kami bercakap-cakap mengenai rencana hubungan baru kami ini dan
bagaimana nanti kita memberitahukan orang tua kami tentang hubungan ini.
Mengingat Karen adalah kakak kandung dari Lisa, mantan pacarku yang
dulu beberapa taon yang lalu. Tidak jarang aku mencium bibir manisnya
ketika kami berjalan sambil bergandengan tangan.
Jam menunjukkan hampir jam 12 tengah
malam. We thought it’s wise to go home. Selama perjalanan pulang dan
sesampai di depan pintu masuk apartment kami pun, tangan Karen masih
tidak ingin terlepas dari genggaman tanganku.
Setelah bersiap-siap untuk tidur, Karen
tidak mau lagi tidur dengan kamar terpisah dan memutuskan untuk tidur di
kamarku saja sejak malam itu.
Aku putar music jazz Diana Krall dengan
lampu setengah redup. Di atas tempat tidur, kami saling berciuman mesra
dan lembut. Lidah kami saling bertemu seakan-akan saling mengelus-elus
satu sama lain.
Malam itu, Karen yang lebih dominan di atas ranjang.
“Kak Ditto, I will make you the happiest man tonight.”, kata Karen menantang.
“I can’t wait.”, jawabku dengan semangat.
“Kak Ditto, I will make you the happiest man tonight.”, kata Karen menantang.
“I can’t wait.”, jawabku dengan semangat.
Karen mengambil posisi di atasku, dan
duduk di atas selangkanganku sambil menunduk dan mencium bibirku. Tangan
kanan-nya masuk ke dalam baju piyamaku sambil mengelus-elus lembut
dadaku. Jantungku berdekup kencang, tanda bahwa aku telah mulai
terangsang oleh rangsangan Karen. Kali ini aku membiarkan Karen memegang
kendali percintaan malam itu.
Karen terus berusaha melepas semua
piyama-ku dan ingin secepatnya membuatku terlanjang. Setelah membuatku
terlanjang tanpa busana apapun yang menempel di tubuhku, Karen tersenyum
manja. Dengan cepatnya Karen kembali menciumi bibirku, dan kali ini
tangan kanan-nya mengelus-elus lembut batang penisku yang telah berdiri
sejak tadi. Karen benar-benar mengerti how to make a guy like me dibuat
seperti cacing kepanasan. Aku paling suka ketika Karen menjilat lembut
puting susu-ku, karena itu adalah daerah paling sensitive buatku. Dan
kali ini Karen tidak lupa untuk menjelajahi bagian ini.
“Karen, ahhh…”, hanya itu yang bisa
keluar dari mulutku. Karen seperti tidak menghiraukan apapun yang keluar
dari mulutku. Karena memang bukan kata-kata yang perlu dihiraukan.
Hanya suara erangan nikmat yang keluar dari mulutku. Semakin keras
eranganku, semakin bersemangat Karen menjelajahi tubuhku. Kali ini bibir
Karen telah sampai di batang penisku. Seakan-akan mengerti apa yang aku
inginkan, tanpa dikomando mulut Karen mengulum abis batang penisku.
Tangan kanan-nya mengelus-elus lembut kedua buah pelirku sambil tangan
kirinya mengocok-kocok dan mulutnya mengulum batang penisku. Seketika
saja batang penisku terasa amat basah oleh air liurnya, dan eranganku
semakin menjadi-jadi. Karen makin mempercepat gerakan mulut dan tangan
kirinya. Aku tidak ingat berapa lama Karen telah memberiku blowjob dan
handjob malam itu. Yang pasti kuingat hanya satu … ‘gila, enak banget’.
“Ahhh … Karen … enak bangettt … ahhh…”,
aku hanya bisa berucap begitu saja. Aku mencoba untuk berkonsentrasi
agar aku tidak cepat datang karena blowjob dan handjob dahsyat Karen
ini. Tapi kelihatannya, aku sudah tidak kuat lagi. Pengen keluar
rasa-nya semua isi di dalam batang penisku. Ini baru pertama kali aku di
blowjob oleh Karen yang aku sudah tidak mampu berkonsentrasi lagi
menahan batang penisku agar dia tidak cepat datang.
“Karen, aku mau datang … mau datang
nihhhh … stop stop … pleaseee …”, aku benar-benar memohon padanya. Tapi
seakan-akan tidak mendengar permintaanku, Karen tetap aja melanjutkan
kulumannya kepada batang penisku. Kali ini lebih cepat lagi, seakan-akan
dia tau kalo sebentar lagi pertahananku bakalan bobol.
Benar saja, tidak lama kemudian bobol
juga pertahananku. Batang penisku tidak mampu lagi menahan, keluarlah
semua air mani di dalamnya, dan menyembur desar di dalam mulut Karen.
“Akhhh … akhhh … aku dapettt nihhh… akhhh …”, aku berteriak kecil. Kuluman Karen berhenti menjadi sedotan yang kuat. Seakan-akan ingin menyedot semua air mani di dalam batang penisku. Karen tampak tidak jijik oleh semburan air maniku, bahkan tanpa ada rasa jijik untuk menelan semua-nya. Semua otot-otot sendiku dibikin lemas oleh Karen. Masturbasi pertama dari Karen yang berhasil membuatku bobol. Tidak heran bila Karen mengatakan bahwa malam itu akan membuatku the happiest man alive.
“Akhhh … akhhh … aku dapettt nihhh… akhhh …”, aku berteriak kecil. Kuluman Karen berhenti menjadi sedotan yang kuat. Seakan-akan ingin menyedot semua air mani di dalam batang penisku. Karen tampak tidak jijik oleh semburan air maniku, bahkan tanpa ada rasa jijik untuk menelan semua-nya. Semua otot-otot sendiku dibikin lemas oleh Karen. Masturbasi pertama dari Karen yang berhasil membuatku bobol. Tidak heran bila Karen mengatakan bahwa malam itu akan membuatku the happiest man alive.
Setelah itu, tak henti-hentinya aku
mengatakan padanya bahwa dia sungguh hebat melayaniku malam itu. Sampai
akhir-nya aku ketiduran akibat kecapekan. Yang aku ingat sebelum
ketiduran, Karen terus mengelus-elus lembut rambutku dan sesekali
mencium-nya. Aku bisa merasakan betapa sayang-nya dia kepadaku.
Tidak tahu sudah berapa lama aku
ketiduran, tiba-tiba aku bangun karena harus buang air kecil. Batang
penisku masih terasa basah & lembab karena air liur Karen. Setelah
membilas batang penisku, aku kembali ke kamarku. Matahari sudah
menampakkan diri, tetapi jam masih menunjukkan pukul 6 pagi di hari
Sabtu. Good thing we don’t have to work on Saturday. Jadi aku kembali ke
tempat tidurku lagi. Tampak Karen yang masih tertidur pulas di tempat
tidurku sambil menutupi perutnya dengan selimut tipis dan mengenakan
daster tidur yang tipis. Maklum meskipun musim panas, tapi karena sudah
terbiasa memakai selimut, tidur tanpa selimut membuatnya merasa beda
atau aneh.
Melihat kecantikan wajah Karen and
keindahan serta kemulusan tubuhnya Karen, membuatku kembali bersemangat.
Mengingat semalam aku dibuat tidak berkutik oleh Karen, membuatku ingin
membuatnya tidak berkutik pagi ini. Aku juga tau betul favorite Karen,
yaitu sex in the morning. Dulu-nya dia sering menggodaku karena setiap
pagi tanpa ada rangsangan apapun, batang penisku bangun dan mengeras
dengan sendiri. Aku bilang padanya bahwa itu sangatlah normal, dan
setiap lelaki normal pasti mengalaminya. Tapi itu justru yang membuat
Karen makin suka melakukan sex di pagi hari. Dia pernah mengatakan
padaku bahwa di pagi hari (sewaktu baru bangun tidur), batang penisku
bisa terasa lebih keras daripada di saat-saat yang lain. Aku tidak tau
apa ini benar, atau hanya dipikiran dia saja. Tapi itu sama sekali tidak
mengganggu pikiranku, karena selama Karen senang menikmati batang
penisku, itu sudah lebih dari cukup buatku.
Kali ini aku yang memulai action-nya.
Pertama-tama aku kecup kening-nya, dan kemudian mengelus-elus lembut
rambut-nya yang hitam. Karen kemudian melihatku dengan kedua mata yang
masih terkantuk-kantuk sambil tersenyum manis, dan akhir-nya memejamkan
matanya kembali. Tapi aku masih belum ingin berhenti sampai di situ. Aku
mencoba mengubah posisi tidur Karen menjadi terlentang dari posisi
tidur sebelum-nya yang menyamping, dan berhasil. Aku tarik selimut
tipis-nya, dan aku lempar ke samping tempat tidurku. Terlihat paha mulus
dan putih Karen, membuatku menelan ludah. Aku mengambil posisi di
sebelah kanan Karen dan berbaring menyampingi tubuh-nya yang sedang
terlentang. Tangan kiriku menopang kepala dan leherku, sementara tangan
kananku mengelus-elus rambut-nya. Karen tampak menikmati setiap sentuhan
yang aku berikan padanya.
Kemudian tangan kananku turun menuju
dada-nya yang masih tertutup kain daster tidur-nya. Karena kain daster
itu tipis sekali, aku bisa merasakan tonjolan puting susu Karen dengan
jelas di telapak tanganku. Aku mendekatkan muka-ku untuk berusaha
mencium bibir manis-nya. Dengan masih setengah mengantuk, Karen membalas
serangan ciumanku tapi tanpa tenaga alias pasrah. Diatas kain
daster-nya, aku memainkan tangan kananku memaini puting susu-nya.
Kadang-kadang aku cubit lembut, dan kadang-kadang aku elus-elus.
Terdengar hela-an napas Karen yang berubah menjadi lebih panjang. Kali
ini Karen mulai terangsang. Mengetahui hal itu, aku semakin bersemangat
menjelajahi tubuh-nya. Tangan kiriku sekarang tidak lagi menopang kepala
dan leherku, tetapi ikut berpetualang dengan tangan kananku. Kutarik
lepas daster-nya ke bawah agar tidak membuat Karen merasa tidak nyaman
karena harus berdiri dulu tubuh-nya untuk melepas daster-nya.
Karena Karen tidak mengenakan BH dan
celena dalam, dalam sekali tarik, terlanjang-lah tubuh Karen tanpa
sehelai benang apapun yang menempel di tubuh-nya. Karen masih
berpura-pura tidur. Aku tau jelas dan pasti bahwa Karen sudah sejak tadi
telah terbangun dan mengeluarkan hela-an napas terangsang-nya.
Kudekatkan wajah-ku di puting susu-nya yang sebelah kanan, dan
menjilatnya dengan lembut. Puting susu yang berwarna coklat muda dan
bersih itu membuatku makin terangsang, dan ingin mengulum terus menerus.
Secara bergantian puting susu-nya aku jilat, kulum, dan kadang kala aku
sedot sedikit keras. Napas Karen kali ini makin memburu tidak karuan.
Bunyi erangan-nya pun kadang kala sempat keluar dari mulut-nya. “Ahhh…
kak Ditto …”, kalimat terputus-putus itulah yang sering terucap dari
mulut Karen.
Setelah puas berkelana dia kedua puting
susu Karen, kali ini aku menuju ke tempat yang paling penting dan tujuan
paling akhir untuk foreplay ini sebelum menuju ke main menu. Bau khas
memek Karen telah menjadi favorite-ku dalam bercinta dengan-nya. Aku
mengakui bahwa bau memek Karen tidak membuatku enggan untuk menjilatnya.
Dari semua wanita sebelum Lisa (termasuk Lisa pun) memiliki bau memek
yang membuatku enggan untuk menjilati-nya. Terus terang bau-nya anyir
dan tidak nyaman. Kebanyakan aku hanya memainkan tangan-ku untuk membuat
mereka orgasme atau datang di waktu foreplay (makanan pembuka).
Maka-nya mereka mengatakan bahwa aku memiliki magic touch di jari-jari
tanganku yang mampu menundukkan mereka dan membuat mereka bak cacing
kepanasan. Dengan Karen berbeda sekali, bau-nya pun tidak anyir, wangi
pun tidak (karena tidak mungkin kalo sampai wangi, selain abis mandi),
tapi memiliki magnet yang membuatku menyukainya.
Bulu pubis Karen halus dan tidak begitu
lebat, sehingga memudahkan aku untuk menjilatinya serta memainkan
memek-nya dengan lidahku. Seperti biasa-nya, seperti terkena setrum
listrik tegangan tinggi, tubuh Karen mulai tersendak ketika lidahku
berkelana di daerah clitoris-nya.
“Ahhh … kak Ditto sayang … enak bangettt
… ahhh”, seru Karen makin menjadi-jadi. Napas-nya pun makin memburu
kencang. Kadang-kadang dia menjambak rambut-ku.
“Kak Dittooo … Karen hampir dapetttt … ahhh”, tambah Karen sekali lagi.
“Kak Dittooo … Karen hampir dapetttt … ahhh”, tambah Karen sekali lagi.
Kedua selangkangan Karen kubuka lebih
lebar lagi, agar bibir vagina-nya lebih merekah lagi. Kali ini aku
jilati bagian labia minora-nya dan berusaha untuk mencari dari G
spot-nya. Hentakan tubuh Karen makin mengencang, dan napas-nya pun
seperti seseorang yang telah berlari sejauh 10 kilometer. Kali ini
memek-nya terasa sedikit asin, dan bisa dipastikan vagina Karen telah
mengeluarkan cairan menandakan sebentar lagi the ‘Big’ one is coming
very very close.
Mengetahui bahwa sebentar lagi Karen akan orgasme, aku mempercepat tarian lidahku di memek-nya.
“Kak Dittoo … kak Dittooo … Karen dah ngga kuuaattt lagi … dah diujung nihhh … pleaseeee kak Ditto”, pinta Karen.
Tak lama kemudian, terdengar jeritan Karen mengisi seluruh kamar tidurku.
“Ahhhh ahhhh ahhhh …”, jerit Karen kencang, dan dengan segera dia menutup mulut-nya dengan tangan-nya sendiri agar suara pekikan-nya tidak sampai terdengar keras.
“Kak Dittoo … kak Dittooo … Karen dah ngga kuuaattt lagi … dah diujung nihhh … pleaseeee kak Ditto”, pinta Karen.
Tak lama kemudian, terdengar jeritan Karen mengisi seluruh kamar tidurku.
“Ahhhh ahhhh ahhhh …”, jerit Karen kencang, dan dengan segera dia menutup mulut-nya dengan tangan-nya sendiri agar suara pekikan-nya tidak sampai terdengar keras.
Aku tetap menjilati memek-nya, sampai
Karen menyuruhku untuk berhenti. Setelah itu, tanpa perlu diperintah,
aku melucuti semua pakaian tidur yang aku kenakan. Tanpa ada usaha dari
Karen, batang penisku telah mengeras dan siap untuk berkelana di dalam
memek Karen. Seperti biasa, sejak berhubungan sex dengan Karen, aku
tidak perlu menggunakan condom, karena Karen pun tidak menyukaiku
memakai condom. Demikianlah pula denganku.
Aku tidak mengalami kesulitan memasuki
memek Karen, karena sudah teramat basah dari tadi. Kudorong pelan-pelan
batang penisku, dan tanpa ada kesulitan, terbenamlah semua batang
penisku di dalam memek-nya.
“Ahhh … kak Ditto … titit-nya keras bangettt …”, kata Karen.
Seakan-akan tidak mendengarkan Karen, aku memaju-mundurkan pinggulku perlahan-lahan, memberikan sensasi erotis ke dalam memek Karen. Kadang-kadang dorongan itu aku hentikan, dan memeluk Karen sambil mencium bibir-nya penuh dengan napsu. Lidah kami saling berperang di dalam bibir kami yang telah menyatu. Setelah puas berciuman, aku kembali mendorong maju dan mundur pinggulku agar batang penisku seakan-akan menusuk-nusuk lubang memek Karen.
“Ahhh … Karen, memek Karen bener-bener hebat. Enak bangettt … bikin geli banget. Suka ngga dengan titit ini?”, kataku yang sudah ngaco.
“Sukaaa bangettt … kak Ditto janji yah, sayangin Karen terus … dan Karen akan selalu membuat kak Ditto puas jiwa dan raga …”, pinta Karen dengan nada yang terputus-putus.
“Janji … janji akan sayang Karen terus …”, jawabku dengan napas yang terburu.
Seakan-akan tidak mendengarkan Karen, aku memaju-mundurkan pinggulku perlahan-lahan, memberikan sensasi erotis ke dalam memek Karen. Kadang-kadang dorongan itu aku hentikan, dan memeluk Karen sambil mencium bibir-nya penuh dengan napsu. Lidah kami saling berperang di dalam bibir kami yang telah menyatu. Setelah puas berciuman, aku kembali mendorong maju dan mundur pinggulku agar batang penisku seakan-akan menusuk-nusuk lubang memek Karen.
“Ahhh … Karen, memek Karen bener-bener hebat. Enak bangettt … bikin geli banget. Suka ngga dengan titit ini?”, kataku yang sudah ngaco.
“Sukaaa bangettt … kak Ditto janji yah, sayangin Karen terus … dan Karen akan selalu membuat kak Ditto puas jiwa dan raga …”, pinta Karen dengan nada yang terputus-putus.
“Janji … janji akan sayang Karen terus …”, jawabku dengan napas yang terburu.
Semakin lama hentakan dan hujaman batang
penisku semakin aku percepat. Pagi itu kita tidak bercinta dengan gaya
yang bermacam-macam. Cukup gaya missionaries, tradional, man on top
style. Seperti tidak pernah kering, memek Karen selalu saja basah.
Memberi sensasi luar biasa di dalam bercinta ini. Akibat dari percepatan
hujaman batang penisku, tubuh karena mengalami reaksi yang sunggu
dahsyat. Tanpa ada peringatan apa-apa, tiba-tiba Karen memelukku sambil
berteriak panjang.
“Ahhhhhh … kak Ditto jahat … Karen dapet lagiii … ampun kak Ditto … Karen minta ampunnn …”, kata Karen sambil memelukku erat-erat dengan tubuhnya yang mulai menegang.
Aku biarkan Karen memelukku, dan menghentikan goyangan pinggulku, agar memberikan udara buat Karen untuk mengatur napas-nya kembali.
“Ahhhhhh … kak Ditto jahat … Karen dapet lagiii … ampun kak Ditto … Karen minta ampunnn …”, kata Karen sambil memelukku erat-erat dengan tubuhnya yang mulai menegang.
Aku biarkan Karen memelukku, dan menghentikan goyangan pinggulku, agar memberikan udara buat Karen untuk mengatur napas-nya kembali.
Setelah beberapa menit kami berpelukan, aku berniat untuk menyelesaikan permainan sex ini, karena it is time for me to come.
“Karen, aku bentar lagi mau datang. Kalo bisa sama-sama yah datang-nya?”, pinta-ku.
Karen hanya mengangguk menandakan bahwa dia setuju, dan kemudian mencium bibirku lagi.
“Karen, aku bentar lagi mau datang. Kalo bisa sama-sama yah datang-nya?”, pinta-ku.
Karen hanya mengangguk menandakan bahwa dia setuju, dan kemudian mencium bibirku lagi.
Kembali aku mengambil posisi favorite-ku
untuk ejakulasi, dan memulai memainkan pinggulku sekali lagi. Aku
perlahan-lahan menggoyangkan pinggulku dengan irama yang pasti. Aku
berusaha menhujamkan batang penisku dalam-dalam, agar memberikan sensasi
seksual lagi kepada Karen. Karen pun tidak tinggal diam, dia tau betul
bagaimana membuatku ejakulasi dengan cepat disaat kami telah
bersenggama. Kedua telapak Karen menempel di dadaku, dan kedua jari
telunjuknya mulai memainkan puting susuku. Daerah yang paling sensitive
untukku.
“Ahhh … Karen … terus Karen … aku bentar lagi mau datang.”, kataku.
Karen pun mulai terlihat kembali bergairah. Aku pun mempercepat permainan ini. Aku tau kalo sebentar lagi batang penisku tidak akan sanggup lagi menahan bendungan air maniku yang sejak tadi meronta-ronta ingin keluar.
“Ahhh … Karen … terus Karen … aku bentar lagi mau datang.”, kataku.
Karen pun mulai terlihat kembali bergairah. Aku pun mempercepat permainan ini. Aku tau kalo sebentar lagi batang penisku tidak akan sanggup lagi menahan bendungan air maniku yang sejak tadi meronta-ronta ingin keluar.
“Kak Ditto … kok keras lagi titit-nya?”, goda Karen dengan napas terburu-buru.
“Emang dari tadi ngga keras yah?!”, tanyaku heran dengan tidak menghentikan goyangkan pinggulku.
“Ngga kok … cuman kali ini Karen tau kak Ditto sebentar lagi mau datang … datang barengan yukkk …”, pinta Karen sambil tersenyum.
“Emang dari tadi ngga keras yah?!”, tanyaku heran dengan tidak menghentikan goyangkan pinggulku.
“Ngga kok … cuman kali ini Karen tau kak Ditto sebentar lagi mau datang … datang barengan yukkk …”, pinta Karen sambil tersenyum.
Aku buat lebih cepat lagi goyangan
pinggulku, dan batang penisku semakin meronta-ronta ingin memuntahkan
air mani-nya. Aku hentakan dan menghujamkan batang penisku makin dalam,
dan Karen pun sudah dari tadi mengigau tak karuan. Memek Karen semakin
basah, dan gesekan batang penisku di dalam memek-nya seakan-akan
mengeluarkan bunyi seperti pipi seseorang yang sedang ditampar. Aku
sudah tidak tahan lagi, kali ini benar-benar harus keluar. Tubuhku
mengejang hebat. Melihat perubahan tubuhku itu seperti memberikan
aba-aba kepada Karen, kedua kaki Karen menjepit erat pinggulku seperti
ingin agar semua batang penisku tertanam penuh ke dalam memek-nya.
“Ahhh … Karen … aku dah mau dapettt … dah diujung … Karennnn”, kataku yang sudah kacau.
“Kak Ditto … Karen juga mau datang lagiii … I love you kak Ditto.”, jawab Karen.
“Karennnn … ahhhhhhhh …”, ingauan-ku sudah tak karuan.
“Kak Ditto … Karen juga mau datang lagiii … I love you kak Ditto.”, jawab Karen.
“Karennnn … ahhhhhhhh …”, ingauan-ku sudah tak karuan.
Batang penisku mengeras sesaat, dan
kemudian disusul dengan semburan air maniku di dalam liang vagina Karen.
Kedua kaki Karen terus menekan pinggulku, seolah-olah haus dengan
semburan hangat air maniku di dalam liang vagina-nya. Aku tidak
menghitung berapa kali batang penisku memuncratkan semua isi air mani
yang dari tadi dibendung-nya.
“Kak Ditto … hangattt lohhh …”, kata si Karen.
“Enak ngga?”, tanyaku.
“Always the best sayanggg …”, jawab si Karen manja.
“Kak Ditto … hangattt lohhh …”, kata si Karen.
“Enak ngga?”, tanyaku.
“Always the best sayanggg …”, jawab si Karen manja.
Posisi kami masih berpelukan. Karen
mulai mengendurkan kedua kaki-nya dari pinggulku. Batang penisku dari
tertanam di dalam memek Karen. Membiarkan-nya perlahan-lahan melemas di
dalam. Oh betapa senang-nya aku melakukan hubungan sex dengan Karen. Ide
untuk menggunakan alat kontrasepsi selain condom adalah pilihan utama
kami. Untung-nya Karen pun tidak menyukaiku memakai condom. Yang penting
pencegahan pregnancy (kehamilan) tetap dijaga baik-baik.
“I love you, Karen. I will always love you. Sorry if I didn’t say it in the first place”, kataku.
“It’s ok, kak Ditto. I love you too, and I know that I love you. Karena selama ini Karen selalu melakukan-nya karena Karen cinta ama kak Ditto. Meskipun Karen dulu-nya kadang-kadang sedih memikirkan apakah kak Ditto cinta atau hanya ingin ‘ini’ (sex) doang dari Karen.”, kata Karen dengan nada sedikit sedih.
“I am sorry, Karen. Sekarang aku telah mengerti bahwa sejak dari dulu aku sudah sayang ama Karen. Sorry for making you worried and confused.”, pintaku.
“Ngga perlu sorry, kak Ditto. Sekarang semua sudah jelas, jadi Karen tidak akan worried lagi. Apapun yang kak Ditto mau dari Karen, Karen pasti beri semua kepada kak Ditto.”, jawab Karen.
“It’s ok, kak Ditto. I love you too, and I know that I love you. Karena selama ini Karen selalu melakukan-nya karena Karen cinta ama kak Ditto. Meskipun Karen dulu-nya kadang-kadang sedih memikirkan apakah kak Ditto cinta atau hanya ingin ‘ini’ (sex) doang dari Karen.”, kata Karen dengan nada sedikit sedih.
“I am sorry, Karen. Sekarang aku telah mengerti bahwa sejak dari dulu aku sudah sayang ama Karen. Sorry for making you worried and confused.”, pintaku.
“Ngga perlu sorry, kak Ditto. Sekarang semua sudah jelas, jadi Karen tidak akan worried lagi. Apapun yang kak Ditto mau dari Karen, Karen pasti beri semua kepada kak Ditto.”, jawab Karen.
Mendengar ucapan Karen, seakan-akan
seperti udara sejuk bagiku. Akhir-nya kucium bibir manis-nya, dan
perlahan-lahan kucabut batang penisku dari liang memek-nya. Cepat-cepat
aku tutup dengan tissue memek-nya, agar air maniku tidak tumpah keluar
membasi tempat tidur-ku. Karen pun cepat-cepat beranjak dari tempat
tidur, dan dengan segera ke kamar mandi. Mencuci dan membersihkan
memek-nya.
Jam telah menunjukkan jam 7 pagi lewat.
Tapi badan kami sudah letih sekali. Telah 1 jam lebih kita berpetualang
dalam cinta. Pagi itu kami memutuskan untuk kembali tidur, dan benar
saja kami tertidur sampai jam 12 siang. Malam-nya kami mengulangi lagi
petualangan cinta dan sex kami yang tidak kalah menarik-nya, dan
begitulah hari-hari berikut-nya.
Disaat aku menulis cerita kedua ini,
hubungan kami telah berjalan lebih dari 8 bulan, akan tetapi belum ada
pihak dari keluarga kami yang mengetahui hubungan ini selain teman-teman
dekat kami. Tapi aku merasa bahwa salah satu dari keluarga kami telah
mengendus hubungan kita, hanya saja dia tidak berani mengatakan-nya
langsung. Kami hanya tidak tau bagaimana memulai untuk mengatakan pada
mereka. Memang ada pepatah yang mengatakan: “The first step is the most
difficult task.”. And we believe it’s true. Kami telah berencana untuk
menikah taon depan (apabila semua-nya lancar), pertengahan tahun 2008.
Kalo dipikir secara logika, kami berdua bukan anak kecil lagi. Kita
berdua sudah berumur lewat dari 25 tahun, dan by 2008, umur-ku dah
berkepala 3. Jadi sudah harus memikirkan masa depan kami sendiri.
0 comments:
Post a Comment