“Sakit Paaaaaak! Sakiiiiiit!”, terdengar
seorang gadis merintih. Gadis itu, berusia tidak lebih dari tujuh belas
tahun, terlentang pasrah ditindih seorang pria muda.
“Memek lu enak banget, pecunh….”, sang
pria berkata agak serak. Tersengal-sengal seiring dengan tubuhnya yang
menggenjot habis tubuh langsing sintal si gadis. Menghujamkan burung
berototnya ke dalam vagina lembut yang terkuak paksa.
“Sakit Paaak… pelan… aduuuh… pelan-pelan
Pak…..”, sang gadis menjerit sejadinya. Tubuhnya terlentang tertindih
di atas ranjang hotel murahan. Tangannya mencengkeram bantal. Kedua
pahanya berusaha menutup dengan sia-sia karena menahan sakit bagaikan
teriris silet di liang vaginanya. “Memek Dian sakit Paak… udaaagh… “,
raung gadis yang rupanya bernama Dian itu menyayat hati.
“Ah, pecun kecil… nngghh… enak ajja lu bilang udah…. Lu udah gue bayar!, gue belum puas!”, hardik si pria pada gadis malang.
“Sakit Pak… ampun….!”, kini air mata Dian mulai mengalir.
“Agh… diam, pelacur cilik, diam!”, si pria menghardik lagi. “Lu kan udah.. nngh.. gue… bayar….” Ia melepaskan batangannya dari vagina Dian. “Sekarang nungging!”
“Egh… nggak… jangan Pak… jangan di pantat…”, Dian terkulai lemah.
“Ah, pelacur banyak bacot lu!”, si pria langsung menarik tubuh Dian, memposisikannya supaya menungging, membuat dua bungkahan pantat yang bulat kenyal berada persis di depan si pria. Dan tanpa menunggu, dengan brutal ia menghujamkan batang zakar itu ke dalam belahan pantat itu.
“Aaaaaagh… sakiit… sakiit… ampun Pak.. ampuun!”
“Ayo jerit terus, sampe mati!”, si pria tertawa kasar. Setelah ia melesakkan batangan miliknya ke dalam anus Dian, kemudian menghujamkannya berkali-kali.
“Sakit Pak… ampun….!”, kini air mata Dian mulai mengalir.
“Agh… diam, pelacur cilik, diam!”, si pria menghardik lagi. “Lu kan udah.. nngh.. gue… bayar….” Ia melepaskan batangannya dari vagina Dian. “Sekarang nungging!”
“Egh… nggak… jangan Pak… jangan di pantat…”, Dian terkulai lemah.
“Ah, pelacur banyak bacot lu!”, si pria langsung menarik tubuh Dian, memposisikannya supaya menungging, membuat dua bungkahan pantat yang bulat kenyal berada persis di depan si pria. Dan tanpa menunggu, dengan brutal ia menghujamkan batang zakar itu ke dalam belahan pantat itu.
“Aaaaaagh… sakiit… sakiit… ampun Pak.. ampuun!”
“Ayo jerit terus, sampe mati!”, si pria tertawa kasar. Setelah ia melesakkan batangan miliknya ke dalam anus Dian, kemudian menghujamkannya berkali-kali.
Dian sudah kehabisan tenaga, dirinya
bagaikan tubuh tanpa jiwa, boneka yang dijadikan alat pemuas nafsu
belaka. Gesekan penis si pria dan anus Dian, membuat perut gadis itu
bergolak. Dian yang sudah kehabisan tenaga karena kesakitan, tidak bisa
menahan ketika ampas tubuhnya mengalir keluar. Muncrat melewati celah
yang sama, yang sekarang sedang dihujam oleh batangan zakar sang pria.
“Eh, setan! Dia berak!”, si pria
seketika mencabut penisnya yang sekarang berlumuran pasta coklat lengkap
dengan aromanya menjijikan.
“Mmmmph… maaf…. Maaf… Dian ngak tahu…. maaf….”, Dian menangis.
“Ih.. dasar!”, si pria menghardik lagi. Kemudian ia menjambak rambut dian sehingga gadis itu jatuh tunggang langgang ke lantai. “Buka mulut lu, bocah!”, si pria dengan kasar mencoba melesakkan penisnya yang berlumur tinja itu ke mulut Dian.
“Aaagh… nggaaaaak… nggaaaak…..nnggggh….”, Dian mencoba berpaling, dan mengatupkan mulutnya. Namun si pria mencengkeram leher Dian sehingga gadis itu terpaksa membuka mulut. Dan detik itu pula batangan berotot yang berlumuran kotorannya sendiripun memenuhi mulutnya. Perut Dian seketika bergolak. Gadis itu muntah tanpa bisa tertahan. Tapi si pria tadi tetap mencengkeram kepala Dian, memaju-mundurkannya, memaksa menggesek mulut Dian dengan kejantanannya. tidak peduli segala isi perut Dian yang termuntahkan keluar.
“Mmmmph… maaf…. Maaf… Dian ngak tahu…. maaf….”, Dian menangis.
“Ih.. dasar!”, si pria menghardik lagi. Kemudian ia menjambak rambut dian sehingga gadis itu jatuh tunggang langgang ke lantai. “Buka mulut lu, bocah!”, si pria dengan kasar mencoba melesakkan penisnya yang berlumur tinja itu ke mulut Dian.
“Aaagh… nggaaaaak… nggaaaak…..nnggggh….”, Dian mencoba berpaling, dan mengatupkan mulutnya. Namun si pria mencengkeram leher Dian sehingga gadis itu terpaksa membuka mulut. Dan detik itu pula batangan berotot yang berlumuran kotorannya sendiripun memenuhi mulutnya. Perut Dian seketika bergolak. Gadis itu muntah tanpa bisa tertahan. Tapi si pria tadi tetap mencengkeram kepala Dian, memaju-mundurkannya, memaksa menggesek mulut Dian dengan kejantanannya. tidak peduli segala isi perut Dian yang termuntahkan keluar.
“Hahahaha… enak eh, kontol saos tahi?”, si pria kembali menghardik. “Ayo kenyot terus bocah! Nanti dapet tambahan saos pejuh!”
Dian pasrah. Walaupun perutnya luar
biasa mual, tapi seluruh isinya sudah dimuntahkan. Gadis itu hanya bisa
menangis. Sambil berharap monster gila ini cepat cepat puas, dan
ejakulasi di dalam mulutnya. Dan itulah yang kemudian terjadi. Si pria
tiba-tiba menegang dan mengerang, dan menghujamkan penisnya sejauh
mungkin ke dalam mulut Dian. Dan seketika mulut gadis itupun dipenuhi
ciran lengket.
“Telan!”, perintahnya dengan suara serak. “Ayo, telan!”
Dian yang sudah pasrah memilih untuk
menurut. Jika kotorannya sendiri saja bisa ia telan tadi, maka sperma
laki laki ini masih jauh lebih baik. Tanpa banyak bicara gadis itu
langsung menelan cairan kental itu, sampai habis.
“Jilatin kontol gue! Sampe bersih!”, monster itu kembali memerintah.
“Terima kasih…”, ujar Rani sambil
tersenyum. Laki laki paro baya yang berada di depannya pun membalas
senyumannya. Tanpa berkata apa apa lelaki itupun berbalik badan dan
berjalan keluar. Dengan rapi jemari mungil Rani mengambil amplop kecil
berisi kartu akses pembuka pintu itu. Menggeseknya di mesin magnetic
untuk menghilangkan datanya.
Pagi ini Rani berpakaian rapi seperti
biasanya. Gadis langsing berkulit bersih itu mengenakan seragam
sekolahnya, kemeja OSIS berpasangan dengan rok berwarna abu-abu,
ditambah balutan jas almamater berwarna cokelat muda. Rambutnya yang
lumayan pendek -tidak sampai menyentuh bahu- malah membuat Rani semakin
manis. Sebagai siswi SMK jurusan pariwisata yang sedang kerja praktek di
sebuah hotel mewah, Rani mendapat tugas sebagai asisten receptionist.
Namun pagi ini, rupanya masih terlalu pagi sehingga mungkin sang
receptionist malas menemani Rani. Demikian juga dengan kawan kerja
prakteknya yang juga ditempatkan di bagian reception, masih belum
terlihat juga batang hidungnya. Untungnya pagi ini tidak terlalu ramai.
Tamu-tamu sangat jarang yang check in pada jam-jam ini. Tamu yang check
out juga bisa dihitung dengan jari. Sebagian besar tamu hotel sedang
menikmati makan paginya di coffeeshop hotel.
Karena reception masih sepi sepi saja, Ranipun duduk dan melirik jam tangannya. Hampir pukul tujuh pagi. Mestinya sang mitra kerja praktek yang juga berasal dari sekolah yang sama sudah datang. Sehingga walaupun tidak ada pegawai hotel yang menemani, Rani tidak perlu sendirian disini. Gadis itu kemudian menghela napas. Perasaan bingung kembali bergelayut dihatinya. Jika saja, jika saja, ia sudah benar benar bekerja di hotel ini, mungkin ia tidak segalau ini.
Karena reception masih sepi sepi saja, Ranipun duduk dan melirik jam tangannya. Hampir pukul tujuh pagi. Mestinya sang mitra kerja praktek yang juga berasal dari sekolah yang sama sudah datang. Sehingga walaupun tidak ada pegawai hotel yang menemani, Rani tidak perlu sendirian disini. Gadis itu kemudian menghela napas. Perasaan bingung kembali bergelayut dihatinya. Jika saja, jika saja, ia sudah benar benar bekerja di hotel ini, mungkin ia tidak segalau ini.
Hemodialisa. Satu kata itu benar benar
mengerikan bagi Rani sekarang. Mungkin bagi orang berpunya, akan enteng
saja dijalankan. Namun baginya, lain cerita. Ibunya telah divonis
pembengkakan jantung. Dan setelah analisa dokter, penyebabnya adalah
gagal ginjal.
Hemodialisa. Benar, cuci darah. Rani
menghela napas lagi. Hemodialisa harus dilakukan ibunya seminggu dua
kali. Seminggu, dua kali. Berapa biayanya itu? Tujuh ratus lima puluh
ribu, sekali tindakan. Satu juta lima ratus ribu, setiap minggu. Enam
juta setiap bulan. Seumur-umur Rani belum pernah memegang uang sebanyak
itu. Namun pengobatan mahal itu mutlak dilakukan. Jika tidak, Ibunya
akan mati lemas.
Rani tumbuh besar menjadi seorang gadis
remaja tanpa merasakan kasih sayang seorang ayah. Ayahnya meninggal
ketika Rani masih berusia delapan bulan karena kecelakaan. Sejak saat
itu, Ibunya yang bekerja serabutan sebagai tukang cuci atau pembantu
rumah tangga yang pulang hari, harus bekerja keras untuk menghidupi
dirinya sendiri dan Rani. Dan Rani bukan gadis yang tidak tahu diri.
Prestasinya di sekolah selalu baik. Gadis itu tahu sang ibunda selalu
bekerja keras agar dirinya mendapat pendidikan yang layak. Karena itu,
Rani sudah bertekad akan secepat mungkin bekerja, untuk membantu
meringankan beban ibunya. Itulah alasan ia memilih untuk sekolah di SMK.
“De’.…”, tiba-tiba terdengar suara memanggil.
Rani masih diam.
“Hei, De’….”
Rani terkejut. Seketika ia mendongakkan
kepalanya. Lebih terkejut lagi ia mendapati sosok yang memanggilnya
berwajah tampan. Pemuda berusia di akhir usia duapuluhan, atau awal
tigapuluhan. Ia mengenakan kemeja putih berpasangan dengan pantalon
berwarna krem.
“Sendirian disini? Receptionistnya mana? …”, ujarnya.
Rani seperti tersihir. Entah kenapa.
Laki laki ini begitu tampan. Apakah dia mau menologku? Tiba tiba
terpikir pertanyaan aneh di benak Rani.
“Lho, kok nangis?”, pemuda itu bertanya bingung seiring dengan air mata Rani yang tiba-tiba mengalir.
Rani terkesiap. Dengan tergesa-gesa ia
menghapus air matanya. “Eh iya Pak? Maaf… maaf… tadi… eh.. Bapak mau
check out?”, Rani gelagapan.
Si pria tampan tersenyum geli. “Nggak, saya nggak mau check out. Saya kan kerja disini”, ujarnya lembut.
“Hah?”, Rani terlihat bingung.
“Kamu nggak kenal saya?”, senyum pria
tampan itu kembali menghiasi wajahnya. Membuat Rani seakan limbung.
“Tadi kenapa, kok nangis Ran? Eh kamu dipanggil Rani kan?”
Astaga, kenapa dia tahu nama aku? tanya Rani dalam hati. Tapi gadis itu hanya mengangguk.
“Nah, mau cerita kenapa tadi kamu
nangis?”, si tampan malah menatap Rani. “Diputusin pacar ya Ran?”,
kemudian ia tersenyum simpul.
“Ah, Bapak… bisa aja…”, Rani kembali mengusap matanya. “Rani belum punya pacar Pak…”, gadis itu mencoba menyunggingkan senyum.
“Terus kenapa dong?”, si tampan kembali bertanya.
“Ah nggak apa apa Pak…”, jawab Rani.
“Terus kenapa nangis?”, si tampan mengejar terus. “Ada yang bisa aku bantu?”, si tampan kembali menatap Rani dengan lembut.
Rani menatap pria tampan itu dengan
ragu-ragu. Kondisi Rani sekarang sudah jelas membuat gadis itu
memerlukan bantuan. Bantuan dana. “Rani butuh uang Pak..”, ujar Rani
tanpa sadar. Seketika gadis itu menutup mulutnya. “Eh… aduh… maaf
Pak….”, wajah gadis itu seketika menjadi panas.
“Buat beli pulsa?”, si tampan nyengir kuda.
“Ah enggak… enggak…”, ujar Rani kembali
gelagapan. “Bu… buat cuci darah…”, karena kalut dan malu, Rani malah
berkata jujur. “Eh.. aduh… “, gadis itu kembali menutup mulutnya.
Raut wajah si tampan berubah serius. “Cuci darah Ran? Siapa? berapa kali seminggu?”
Rani terdiam. Sekarang sudah tidak ada
gunanya lagi menutup-nutupi. Tanpa sadar, gadis itu sudah terlalu banyak
bicara. “Ibu. Dua kali seminggu”, ujar Rani akhirnya.
“Ooo..”, jawab si tampan. Ia langsung
mengeluarkan buku cek. Setelah menulis sesuatu disitu, kemudian ia
merobeknya selembar dan menyodorkannya pada Rani. “Ini saya kasih cek
aja. Mestinya cukuplah, untuk beberapa minggu. Tinggal diuangkan saja”,
ujarnya.
Rani melongo. “Pak.. aduh..”, tiba tiba lidah Rani langsung kelu.
“Jangan banyak komentar. Ambil saja.
Nanti kamu boleh minta lagi kalo sudah habis”, jawabnya cepat. Tapi Rani
masih terlihat bingung. “Cepat. Itu receptionist-nya datang. Enggak
enak kalau kelihatan dia”, ujar si tampan ketika melihat seorang gadis
berusia duapuluhan masuk ke ruangan yang ada di dekat situ. Ruangan itu
memiliki selasar yang menembus di bagian belakang ruang reception.
Rani masih bingung. Tapi melihat si
tampan menatapnya dengan tajam, membuat gadis itu terpaksa mengambil
lembaran cek yang disodorkannya. Rani sempat melihat jumlah nominal yang
tertera di atasnya. Lima belas juta rupiah. Jantung Rani seakan
berhenti ketika menyadarinya. Dan ia hampir melompat karena kaget ketika
mendengar pintu dibelakangnya tiba tiba membuka.
“Pagi Pak…”, si receptionist menyapa sambil sedikit membungkuk ketika melihat si tampan.
“Pagi…”, si tampan membalas sambil tersenyum. “Saya naik dulu ya”, ujarnya kemudian sambil berbalik badan.
“Baik Pak”, si receptionist kembali sedikit membungkuk. Tapi si tampan tidak menoleh. Beberapa saat kemudian ia lenyap dibalik pintu elevator.
“Eh.. mbak… bapak itu tadi siapa ya?”, tanya Rani bingung.
“Hah? Aduh Rani, masa lu nggak tahu itu siapa? itu Pak Anthony, yang punya hotel ini!”, seru si receptionist. “Tapi dia emang jarang nongol sih disini”
“Hah? masa? aduh, aku kirain tamu!”, wajah Rani tiba-tiba berubah pias. “Abis kelihatannya masih muda”
“Pagi…”, si tampan membalas sambil tersenyum. “Saya naik dulu ya”, ujarnya kemudian sambil berbalik badan.
“Baik Pak”, si receptionist kembali sedikit membungkuk. Tapi si tampan tidak menoleh. Beberapa saat kemudian ia lenyap dibalik pintu elevator.
“Eh.. mbak… bapak itu tadi siapa ya?”, tanya Rani bingung.
“Hah? Aduh Rani, masa lu nggak tahu itu siapa? itu Pak Anthony, yang punya hotel ini!”, seru si receptionist. “Tapi dia emang jarang nongol sih disini”
“Hah? masa? aduh, aku kirain tamu!”, wajah Rani tiba-tiba berubah pias. “Abis kelihatannya masih muda”
“Emang. Tigapuluh tahunanlah”, jawab si
receptionist. “Pak Anthony resmi jadi pemilik hotel ini, dua tahun yang
lalu. Setelah kedua orang tuanya meninggal. Tragis. Ibunya gantung diri.
Sementara ayahnya, pemilik awal hotel, yang waktu itu masih di
Malaysia, malah meninggal karena kecelakaan disana. Dia sempat stress
berat dan hampir bunuh diri karena itu. Tapi untung aja ada yang
menyadarkannya. Dia langsung mengambil kendali hotel, meningkatkan
fasilitasnya sampai jadi bintang lima. Tapi banyak orang yang bilang,
sepeninggal ayah ibunya, Pak Anthony menjadi berbeda..”
Rani belum sempat buka mulut ketika
pintu dibelakang mereka kembali membuka. Seorang gadis yang berpakaian
sama dengan Rani tampak tergopoh-gopoh masuk. “Maaf mbak Clara, aku
telat…”, ujarnya sambil tersengal-sengal.
Receptionist yang rupanya bernama Clara
itu tersenyum sambil berujar, “Lagi-lagi telat, Dian?” Rani berdiri
mematung di depan pintu jati yang kokoh. Belum sempat gadis itu
menggerakkan tangan hendak mengetuk, pintunya membuka.
“Ah, datang juga, akhirnya!”, Anthony
berujar dengan wajah cerah. Pemuda itu langsung mempersilahkan Rani
masuk. Anthony tampil rapi seperti biasanya. Namun mungkin karena hari
ini hari minggu, ia tidak mengenakan dasi. Pemuda itu mengenakan
pantalon hitam berpasangan kemeja lengan pendek berwarna kuning gading.
Rani duduk di hadapan sofa berhadapan
dengan Anthony yang duduk di meja kerjanya. Gadis itu kikuk luar biasa.
Kembali ke hotel ini lagi, bukan sebagai siswi PKL melainkan sebagai
tamu dari Anthony, yang tidak lain adalah pemilik sekaligus direktur
hotel, membuat gadis itu gugup. Terlebih lagi Anthony sudah tahu maksud
kedatangan dirinya.
“Jadi, Ibumu sehat, Rani?”, tanya Anthony sambil menulis buku cek.
“I… iya, Pak…”, jawab Rani.
“Syukurlah”, jawab Anthony. “Berarti Rani sekarang kelas tiga dong ya? Naik kelas kan?”
“Eh… iya, kelas tiga sekarang Pak..”, Jawab Rani.
“Bagus!”, seru Anthony sambil menyerahkan selembar cek. Tapi Rani diam saja. Anthony menatap Rani dengan kening berkerut.
“Pak Anthony…”, Rani berujar Lirih.
“Iya?”, anthony menatap Rani dengan lembut.
“Cu… eh… cuci darah… Ibu mesti cuci darah itu… seumur hidup Pak…”, Rani terbata-bata.
“Oh iya, biasanya. Kecuali ada yang mau donor ginjal…”, jawab Anthony.
“Jadi selama itu Rani…”, gadis itu diam sesaat, sebelum melanjutkan, “Rani harus minta uang sama Pak Anthony?”
“Syukurlah”, jawab Anthony. “Berarti Rani sekarang kelas tiga dong ya? Naik kelas kan?”
“Eh… iya, kelas tiga sekarang Pak..”, Jawab Rani.
“Bagus!”, seru Anthony sambil menyerahkan selembar cek. Tapi Rani diam saja. Anthony menatap Rani dengan kening berkerut.
“Pak Anthony…”, Rani berujar Lirih.
“Iya?”, anthony menatap Rani dengan lembut.
“Cu… eh… cuci darah… Ibu mesti cuci darah itu… seumur hidup Pak…”, Rani terbata-bata.
“Oh iya, biasanya. Kecuali ada yang mau donor ginjal…”, jawab Anthony.
“Jadi selama itu Rani…”, gadis itu diam sesaat, sebelum melanjutkan, “Rani harus minta uang sama Pak Anthony?”
Anthony tersenyum lagi. Dan sekarang ia
duduk di sebelah Rani. Rani refleks menggeser duduknya untuk memberikan
tempat yang lebih luas pada mantan atasannya itu. “Rani”, ujar Anthony.
“Nggak selamanya kamu mesti minta uang sama saya. Nanti kalo udah kerja
kan bisa biayain sendiri..”
“Tapi itu kan masih lama…”, Rani makin malu. “Sebelum itu, Rani ngerepotin Pak Anthony terus”
“Ya nggak apa-apa…”, Anthony mencoba menenangkan.
“Tapi… Rani nggak enak harus minta terus…”, jawab Rani lagi. Gadis itu merasa serba salah.
Anthony menghela napas. “Ibumu kerja apa Ran?”
“Tukang cuci”, jawab Rani. “Tukang cuci keliling. Pembantu. Tapi pulang hari, nggak nginep”
“Ahh… begitu”, jawab Anthony. “Kalau begitu jadi lebih mudah”, raut wajah Anthony terlihat sedikit cerah.
“Maksud Bapak apa? Rani nggak ngerti..”
“Ah gini aja Ran, kamu sama Ibu tinggal di rumah saya saja. Ibumu bisa kerja sama saya, saya gaji untuk ngurus-ngurus rumah. Kamu juga bisa berangkat sekolah dari rumah saya. Nah tiap minggu ibumu juga bisa cuci darah kan, saya yang bayarin. Jadi kita simbiose mutualisma”, cerocos Anthony sambil tersenyum lucu.
“Ya nggak apa-apa…”, Anthony mencoba menenangkan.
“Tapi… Rani nggak enak harus minta terus…”, jawab Rani lagi. Gadis itu merasa serba salah.
Anthony menghela napas. “Ibumu kerja apa Ran?”
“Tukang cuci”, jawab Rani. “Tukang cuci keliling. Pembantu. Tapi pulang hari, nggak nginep”
“Ahh… begitu”, jawab Anthony. “Kalau begitu jadi lebih mudah”, raut wajah Anthony terlihat sedikit cerah.
“Maksud Bapak apa? Rani nggak ngerti..”
“Ah gini aja Ran, kamu sama Ibu tinggal di rumah saya saja. Ibumu bisa kerja sama saya, saya gaji untuk ngurus-ngurus rumah. Kamu juga bisa berangkat sekolah dari rumah saya. Nah tiap minggu ibumu juga bisa cuci darah kan, saya yang bayarin. Jadi kita simbiose mutualisma”, cerocos Anthony sambil tersenyum lucu.
Rani malah melongo. Tentu saja usulan Anthony adalah usul yang bagus. Tapi…
“Ya sudah deh, Ran. Antar saya ketemu
Ibu. Nanti saya yang bicara sama Ibumu..”, kembali Anthony
menyunggingkan senyumannya yang khas. “Boleh?”
“Eh, iya terserah Bapak aja…”, Rani masih belum bisa lepas dari rasa kikuknya.
Anthony tertawa. “Kalau Ibumu setuju, tugas pertama kalian adalah, nemenin saya liburan dua minggu, di Bali!”, seru Anthony.
“Bali?”, Rani makin bingung.
“Iya Bali. Kamu masih libur panjang kan? Kamu sama Ibu harus ikut saya. Eh tapi panggil Mas aja Ran”, ujar Anthony.
“Mas?”, Rani terbengong seperti orang linglung.
“Iya, panggil saya Mas aja…”, Anthony menegaskan.
“Pak Anthony… eh.. Mas.. Mas.. Mas.. Anton…”, Rani terbata-bata.
“Boleh! Mas Anton kayaknya bagus. Mas Anton!”, seru Anthony.
“Eh, iya terserah Bapak aja…”, Rani masih belum bisa lepas dari rasa kikuknya.
Anthony tertawa. “Kalau Ibumu setuju, tugas pertama kalian adalah, nemenin saya liburan dua minggu, di Bali!”, seru Anthony.
“Bali?”, Rani makin bingung.
“Iya Bali. Kamu masih libur panjang kan? Kamu sama Ibu harus ikut saya. Eh tapi panggil Mas aja Ran”, ujar Anthony.
“Mas?”, Rani terbengong seperti orang linglung.
“Iya, panggil saya Mas aja…”, Anthony menegaskan.
“Pak Anthony… eh.. Mas.. Mas.. Mas.. Anton…”, Rani terbata-bata.
“Boleh! Mas Anton kayaknya bagus. Mas Anton!”, seru Anthony.
Sampai hari ini Rani belum bisa memahami
nasib baik yang menaungi dirinya. Bagaikan dijatuhi durian runtuh,
nasib Rani seketika berubah. Dari gadis miskin yang mengisi hari hari
luangnya dengan pekerjaan rumah, seketika menjelma menjadi gadis yang
menghabiskan waktu liburannya di Bali. Tiap hari Rani berjalan-jalan di
pantai sekitar hotel tempat mereka menginap. Makan satu meja dengan
Anthony, belanja dari mulai gantungan kunci sampai dengan baju. Sampai
gadget. Betul, gadget. Walaupun barang yang disebutkan terakhir tidak
perlu dibeli disini. Namun kenyataannya Anthony memang membelikan Rani
gadget di Bali. Anthony masih dengan sangat murah hati membelanjakan
uangnya untuk memanjakan Rani, dan juga Ibunya.
Walaupun demikian, Rani menyadari,
semahal apapun pakaian yang dikenakannya sekarang, secanggih apapun
gadget yang ada di genggamannya, statusnya sebagai anak dari seorang
tukang cuci tidak akan pernah berubah. Namun sebagai seorang gadis
remaja biasa, mau tidak mau Rani menikmati juga kehidupan ‘mewah’ yang
baru saja diberikan padanya oleh Anthony.
Sekarang Rani sedang menikmati malam
terakhirnya di Bali, karena Anthony harus kembali ke Jakarta besok. Dan
penuh rasa syukur Rani menatap laut yang hitam pekat dihadapannya.
Puluhan lampu kelap kelip tampak dari kejauhan. Pemandangan yang,
sebelumnya, hanya bisa dilihat Rani dari buku, majalah, atau acara
televisi. Gadis itu berdiri di balkon president suite room pada hotel
tempat mereka menginap. Suara desiran ombak terdengar merdu di telinga
Rani. Apakah nasibnya sekarang sudah berubah? Pertanyaan itu berkali
kali terngiang dalam benak Rani.
“Jika ada orang yang berbuat baik pada
kita”, ibunya suatu hari pernah berkata, “terima dan syukurilah. Mungkin
itu balasan Tuhan atas perbuatan baik kita di jaman dulu. Tapi, bisa
juga itu hutang yang harus dibayar di waktu yang akan datang”
Ingatan akan perkataan ibunya itulah
yang masih mengganjal di benak Rani. Jika memang kebaikan yang diberikan
Anthony adalah hutang, dengan apakah gadis itu harus membayar? Walaupun
Rani sudah berusia enam belas tahun, pemikiran gadis itu masih polos.
Untuk membayar semua yang telah diberikan Anthony padanya, dan ibunya
juga, rasanya Rani tidak sanggup. Walaupun ia bekerja siang malam selama
sepuluh tahun.
“Masih muda kok udah pinter ngelamun!”,
seru Anthony tiba tiba dari belakang Rani. Dengan lembut ia mengenakan
jasnya di punggung Rani, maksudnya supaya gadis itu terlindung dari
terpaan angin laut. “Daripada masuk angin”, ujarnya sambil nyengir.
“Eh… Mas Anton…”, Rani tidak bisa
menyembunyikan rasa terkejutnya. Sebenarnya gadis itu risi, tapi, ada
perasaan senang ketika Anthony datang dan menyampirkan jasnya di
punggungnya. Kayak di film-film romantis, Rani geli sendiri dalam hati.
“Besok kita balik ke Jakarta”, ujar Anthony.
“Ehm, iya Mas. Masih ada yang harus diberesin?”, tanya Rani. Belajar jadi asisten rumah tangga yang baik.
Anthony tersenyum. “Ibu-anak sama aja. Yang dipikirin pekerjaan melulu. Disuruh santai di Bali malah masih nyari-nyari kerjaan”
“Ah nggak, Rani santai aja kok disini”, Rani menyanggah. Mulai berani nyolot pada ‘majikannya’. “Tapi, ada yang masih harus diberesin, Mas?”
“Besok kita balik ke Jakarta”, ujar Anthony.
“Ehm, iya Mas. Masih ada yang harus diberesin?”, tanya Rani. Belajar jadi asisten rumah tangga yang baik.
Anthony tersenyum. “Ibu-anak sama aja. Yang dipikirin pekerjaan melulu. Disuruh santai di Bali malah masih nyari-nyari kerjaan”
“Ah nggak, Rani santai aja kok disini”, Rani menyanggah. Mulai berani nyolot pada ‘majikannya’. “Tapi, ada yang masih harus diberesin, Mas?”
Anthony tertawa. “Nggak. Semua kan udah
ibu, dan kamu, beresin tadi sore. Besok pagi tinggal berangkat”, Anthony
berujar. “Besok sehabis dari bandara, kita langsung ke rumah saya aja.
Kamarmu dan kamar Ibumu sudah disiapkan. Oo oo.. jangan melihat saya
kayak gitu, Rani. Iya, kamarmu berbeda dengan Ibumu. Saya tahu anak
perempuan seumur kamu sudah harus punya kamar sendiri. Privasi. Dan
bajumu dan ibumu nanti beli saja lagi. Jadi kamu nggak perlu balik lagi
ke rumah kontrakanmu yang butut itu”
Tidak biasanya kediaman Anthony,
bujangan pemilik sebuah hotel bintang lima di jakarta, ramai oleh
kunjungan tamu-tamunya. Namun hari ini keriuhan tidak terhindarkan
karena kedatangan teman-teman Rani, anak dari asisten rumah tangganya
yang berulang tahun yang ke tujuh belas.
Anthony sendiri yang berinisiatif
mengundang teman-teman Rani, dan mengadakan pesta ulang tahun di
rumahnya. Rani pada awalnya menolak, namun Anthony tetap pada
pendiriannya. Sehingga membuat Rani tidak bisa berbuat banyak – walaupun
senang tentu saja.
Pesta berlangsung sejak jam 18.30.
Setelah acara makan malam, dilanjutkan dengan tiup lilin diiringi suara
riuh rendah teman-teman Rani yang membuka mulut selebar-lebarnya
menyanyikan lagu panjang umurnya. Rani sendiri merasa sangat bahagia.
Seumur-umur baru kali ini ulang tahun gadis itu dirayakan.
Setelah potong kue, tentu saja
dilanjutkan dengan acara buka kado. Semua teman teman Rani memberikan
gadis itu hadiah. Jenisnya bermacam-macam, sampai Rani bingung sendiri.
Anehnya selama acara berlangsung, hanya sekali Anthony menampakkan
batang hidungnya : ketika menyambut kedatangan teman teman Rani yang
memang datang segerombolan. Setelahnya Anthony mengurung diri di
kamarnya. Bahkan sampai teman teman Rani pulang, Anthony tidak pernah
muncul lagi.
“Jadi maumu apa heh?”, seorang pria terdengar marah-marah dengan lawan bicaranya melalui ponsel.
“Jangan sentuh dia, Pak. Please..”, suara perempuan di ujung sana hampir menangis.
“Apa hakmu ngelarang saya…”, nada suara sang pria terdengar makin tinggi, tapi terpotong jerintan lawan bicaranya.
“Dia itu teman saya. Anak baik baik Pak. Dia masih polos..”, lawan bicara sang pria terdengar putus asa.
“Tidak seperti kamu eh, Dian?”, pungkas sang pria seraya memutuskan hubungan.
“Jangan sentuh dia, Pak. Please..”, suara perempuan di ujung sana hampir menangis.
“Apa hakmu ngelarang saya…”, nada suara sang pria terdengar makin tinggi, tapi terpotong jerintan lawan bicaranya.
“Dia itu teman saya. Anak baik baik Pak. Dia masih polos..”, lawan bicara sang pria terdengar putus asa.
“Tidak seperti kamu eh, Dian?”, pungkas sang pria seraya memutuskan hubungan.
Rani baru saja selesai mandi ketika
smartphone miliknya berbunyi ‘ping’ beberapa kali. Tidak mengacuhkannya,
gadis yang masih mengenakan gaun mandi itu terus saja mengeringkan
rambutnya yang basah. Iapun duduk di tempat tidur miliknya yang bersprei
satin berwarna putih bersih. Setelah merasakan rambutnya hampir kering,
Rani baru meraih smartphonenya.

Apa-apaan sih, si Dian? Tanya Rani dalam
hati. Gadis itu berdiri dan berjalan menuju lemari pakaiannya yang
berpintu kaca cermin. Tapi tiba tiba Rani kembali teringat akan
perkataan ibunya,
“Jika ada orang yang berbuat baik pada
kita, terima dan syukurilah. Mungkin itu balasan Tuhan atas perbuatan
baik kita di jaman dulu. Tapi, bisa juga itu hutang yang harus dibayar
di waktu yang akan datang”
Sial, gerutu Rani dalam hati. Kenapa
tiba-tiba aku jadi ketakutan begini sih? Kenapa juga si Dian gila itu
mesti ngomong yang nggak-nggak, kan nggak mungkin kalo Mas Anton… Gadis
itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba pintu kamarnya membuka, Anthony
masuk dan langsung mengunci pintunya.
“Mas Anton?”, Rani heran. Belum menyadari bahaya yang tengah mengintai.
“Oh kamu memang cantik, Rani…”, ujar Anthony. Pria itu bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana boxer. Sorot matanya aneh. Ia mendekati Rani dan mencengkeram lengan gadis itu. Sementara dengan tangan lainnya Anthony mencoba melepaskan gaun mandi Rani.
“Mas Anton! Apa-apa…”, Rani berusaha menahannya.
Anthony memelintir lengan Rani sehingga gadis itu memekik kesakitan. Dan kemudian ia mencengkeram tubuh gadis itu dari belakang.
“Ibuuuuu! Tolooong!”, Rani memekik.
“Teriak saja semaumu, manis. Ibumu sudah tidur. Dan asal kau tahu, kamarmu dan kamar ibumu kedap suara”, tangan kiri Anthony berhasil melepaskan ikatan gaun mandi Rani. Sementara tangan kanannya menahan tubuh Rani.
“Mas Anton.. jangan Mas.. tolong..”, Rani mulai menangis.
“Kau pikir kau bisa seenaknya aja ngabisin uangku eh?“, hardik Anthony sambil mencium pipi Rani dengan kasar. “Dasar perempuan murahan. Selalu saja menggunakan kecantikan dan air mata kalian untuk keuntungan. Sial. Jika tidak ada perempuan murahan terkutuk macam kalian, tentu Ayahku tidak selingkuh. Dan Ibuku masih hidup…”
“Mas Anton ngomong apaan sih? Rani nggak…”
“Halah, sudah, lepas aja!”, Anthony menghardik sekaligus menarik gaun mandi Rani dengan keras sehingga gadis itupun telanjang. Anthony langsung menarik Rani ke ranjang dan menindihnya. Dengan kasar ia langsung mengulum bibir Rani. Sementara kedua tangan gadis itu dipegangi dengan kuat. Puas melumat bibir gadis malang itu, Anthony menuju sasaran lain, payudara. Anthony menarik salah satu payudara mungil gadis itu ke pangkalnya sehingga putingnya mencuat ke atas. Detik itu juga anthony menggigit puting itu dan menariknya dengan gemas.
“Aaaaaagh… sakit.. sakit Mas Anton… sakit…”
“Oh kamu memang cantik, Rani…”, ujar Anthony. Pria itu bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana boxer. Sorot matanya aneh. Ia mendekati Rani dan mencengkeram lengan gadis itu. Sementara dengan tangan lainnya Anthony mencoba melepaskan gaun mandi Rani.
“Mas Anton! Apa-apa…”, Rani berusaha menahannya.
Anthony memelintir lengan Rani sehingga gadis itu memekik kesakitan. Dan kemudian ia mencengkeram tubuh gadis itu dari belakang.
“Ibuuuuu! Tolooong!”, Rani memekik.
“Teriak saja semaumu, manis. Ibumu sudah tidur. Dan asal kau tahu, kamarmu dan kamar ibumu kedap suara”, tangan kiri Anthony berhasil melepaskan ikatan gaun mandi Rani. Sementara tangan kanannya menahan tubuh Rani.
“Mas Anton.. jangan Mas.. tolong..”, Rani mulai menangis.
“Kau pikir kau bisa seenaknya aja ngabisin uangku eh?“, hardik Anthony sambil mencium pipi Rani dengan kasar. “Dasar perempuan murahan. Selalu saja menggunakan kecantikan dan air mata kalian untuk keuntungan. Sial. Jika tidak ada perempuan murahan terkutuk macam kalian, tentu Ayahku tidak selingkuh. Dan Ibuku masih hidup…”
“Mas Anton ngomong apaan sih? Rani nggak…”
“Halah, sudah, lepas aja!”, Anthony menghardik sekaligus menarik gaun mandi Rani dengan keras sehingga gadis itupun telanjang. Anthony langsung menarik Rani ke ranjang dan menindihnya. Dengan kasar ia langsung mengulum bibir Rani. Sementara kedua tangan gadis itu dipegangi dengan kuat. Puas melumat bibir gadis malang itu, Anthony menuju sasaran lain, payudara. Anthony menarik salah satu payudara mungil gadis itu ke pangkalnya sehingga putingnya mencuat ke atas. Detik itu juga anthony menggigit puting itu dan menariknya dengan gemas.
“Aaaaaagh… sakit.. sakit Mas Anton… sakit…”
Anthony hanya mengerang dan memperkuat
gigitan. Seperti binatang buas yang mencoba mengoyak daging buruannya
dengan ganas. Kemudian ia beralih ke puting Rani yang lain. ia
menjilatinya. Sementara Rani hanya bisa meringis. Tapi kemudian Anthony
kembali menggigitnya dan menarik puting itu sekuat mungkin. Rani kembali
menjerit, dan Anthony seperti tersenyum dalam erangan. Anthony cukup
cerdik untuk menyakiti puting Rani tanpa membuat puting Rani putus.
Karena jika sampai hal itu terjadi, bisa berakibat fatal. Dan ia tidak
bisa bermain dengan tubuh Rani lebih jauh.
“Tetek kamu imut imut kenyal, Ran!”,
seru Anthony sambil mengusap mulutnya dari liur yang mengalir. Ia tampak
puas melihat kedua payudara Rani yang berwarna kemerahan bekas
gigitannya. Anthony kemudian dengan kasar mengangkangkan kedua paha
Rani. Gadis itu hanya bisa menangis pasrah. “Wuih Rani, memek kamu masih
rapet nih…”, ujarnya sambil mencolek-colek celah vagina Rani yang
segaris lurus, bersemayam diatas gundukan yang menyembul berwarna putih
bersih tanpa rambut.
Anthony melepaskan boxernya. Seketika
burung berotot miliknya menjenjang keluar seperti tiang listrik.
Kemudian ia berlutut di antara kedua paha Rani, dan membiarkan kedua
kaki Rani yang jenjang itu menjuntai di atas pahanya, sehingga kepala
zakar miliknya tepat berada di hadapan belahan mungil rapat di kutub
selatan tubuh Rani.
“Mas… jangan Mas… tolong… ampun Mas…”, Rani meratap sambil terisak.
“Ah, persetan!”, Anthony mulai melesakkan kejantanannya ke dalam sangkar imut Rani.
“Jangan Mas… sakiit….”, Rani meringis. Air matanya terus mengalir.
“Perempuan kayak kamu emang harus disakitin. Itu kan yang kalian mau? Setelah menangis, lalu mengais. Mengais uang macam tikus mengais makanan basi di tong sampah!”, Anthony menghardik. Dan seketika mendorong penisnya sejauh mungkin. Dengan sekuat tenaga.
“Aaaaaaagh… sakit Mas…”, Rani merintih pilu. Detik yang sama kejantanan Anthony berhasil merenggut kepolosan tubuh Rani. Darah menetes dari celah mungilnya.
“Ah, persetan!”, Anthony mulai melesakkan kejantanannya ke dalam sangkar imut Rani.
“Jangan Mas… sakiit….”, Rani meringis. Air matanya terus mengalir.
“Perempuan kayak kamu emang harus disakitin. Itu kan yang kalian mau? Setelah menangis, lalu mengais. Mengais uang macam tikus mengais makanan basi di tong sampah!”, Anthony menghardik. Dan seketika mendorong penisnya sejauh mungkin. Dengan sekuat tenaga.
“Aaaaaaagh… sakit Mas…”, Rani merintih pilu. Detik yang sama kejantanan Anthony berhasil merenggut kepolosan tubuh Rani. Darah menetes dari celah mungilnya.
Anthony tertawa serak. Mengerikan.
Bagaikan hewan buas yang baru menguasai lawannya. Tanpa menunggu lebih
lama lagi, Anthony mulai memompa. Menggenjot tubuh Rani yang malang.
Bagaikan memeras sari kemurnian tubuh gadis itu. Menyayat liang vagina
Rani, Seiris demi seiris.
“Mas… ampun Mas… periih… sakit….”, Rani merintih memohon belas kasih.
“Ah…” napas Anthony tersengal sengal. “Bohong! kalian bilang sakit, ngh.. ngh.. supaya bisa dapet duit lebih kan…” Anthony makin buas mengaduk liang mungil Rani. Vagina Rani berkontraksi luar biasa, mencoba mengeluarkan batangan asing mengerikan yang menyesakinya. “Ah… memek… memek perawan emang enagh…”, Anthony merasa nikmat luar biasa.
“Eng… Sakit Mas… ampun… udagh Mas.. please… udagh… perih Mas… ampun…”
“Ah…” napas Anthony tersengal sengal. “Bohong! kalian bilang sakit, ngh.. ngh.. supaya bisa dapet duit lebih kan…” Anthony makin buas mengaduk liang mungil Rani. Vagina Rani berkontraksi luar biasa, mencoba mengeluarkan batangan asing mengerikan yang menyesakinya. “Ah… memek… memek perawan emang enagh…”, Anthony merasa nikmat luar biasa.
“Eng… Sakit Mas… ampun… udagh Mas.. please… udagh… perih Mas… ampun…”
Anthony makin ganas. Seakan ingin
merobek robek liang vagina Rani, ia menghujamkan batangannya bukan hanya
untuk merasakan kenikmatan celah surgawi itu, tapi juga untuk menyakiti
Rani. Sesakit mungkin. Tapi seketika tubuh Anthonypun menegang. Ototnya
mengeras bagai patung. Dan detik itu cairan hina Anthony muncrat dan
membanjiri liang mungil Rani. Anthony menghujamkan batangannya sedalam
mungkin, mengangkat pantat Rani agak keatas agar spermanya mengalir ke
rahim. Seakan akan hendak menghamili gadis itu. Semata mata hanya untuk
menambah penderitaanya saja. Jika Rani benar benar hamil, Anthony akan
menggugurkannya.
“Ah… memek kamu luar biasa Ran!”, seru
Anthony sambil mencabut penisnya dari vagina Rani. “Bener-bener memek
perawan sweet seventeen!”
“Mas Anton tegaa…”, Rani meratap sambil
terisak isak. Gadis itu langsung terduduk. Memandang celah mungilnya
yang sekarang perih luar biasa. Noda merah terpercik di sprei
dibawahnya.
Anthony tertawa kasar. “Basa basi”,
sergahnya. “Emangnya kamu sebegitu naifnya sehingga mau aja uang yang
saya kasih eh? Kamu tidak pernah berprasangka sedikitpun, hari ini pasti
terjadi?”, Anthony nyerocos sambil mengenakan kembali boxernya. “Nggak
mungkin Ran. Nggak mungkin kamu sebodoh itu. Kamu pasti tahu, cepat atau
lambat, pasti…”
“Rani nggak tahu!”, jerit Rani.
“Lagipula, waktu itu Rani lagi bingung. Jujur, butuh duit buat Ibu. Apa
Rani salah kalo nerima uang, yang Mas Anton kasih sendiri, buat Ibu
berobat?”, kembali Rani tersedu-sedu.
“Ah iya”, Anthony berkata sinis. “Ibumu
itu butuh uang ya…”, ujarnya sambil mendekati Rani yang terduduk di
ranjang. “Kalau begitu”, Anthony duduk di samping Rani, mendorong gadis
itu hingga terlentang, kemudian menghujamkan jari tengah dan telunjuknya
ke dalam vagina Rani. Seketika Rani menjerit kesakitan. “Siapkan
memekmu setiap saat, bocah, Kalau kamu mau aku terus bayar ibumu
berobat!”
“Baru pulang Ran?”, tanya Anthony yang
sedang duduk di ruang tengah, ketika melihat Rani berjalan masuk masih
mengenakan seragam sekolahnya dan bertelanjang kaki.
“Iya Mas”, jawab Rani sambil berjalan
masuk ke ruang makan. “Mas Anton belum makan ya?”, ujarnya ketika
melihat makanan di atas meja makan masih utuh. “Ibu masih di rumah sakit
ya Mas?”
“Iya”, Anthony menjawab pendek. Tiba
tiba sudah di pintu ruang makan. Ia langsung memeluk Rani dari belakang.
“Aku mau makan kamu dulu…”, Anthony menciumi leher Rani. “Ah, keringat
kamupun enak dicium, Ran…”
“Mas… “ Rani meronta. “Jangan… tadi pagi kan udah…”
“Ah, sudah lupa kalo kamu itu pelacurku, Ran? Pelacur!”, Anthony menghardik sambil menyeret Rani ke ruang tengah.
Air mata Rani menitik. Hatinya sakit
luar biasa setiap mendengar Anthony menyebutnya pelacur. Tapi gadis itu
tidak punya pilihan lain. “Nggak Mas… Rani nggak lupa..”, Rani menjawab.
“Tapi Rani baru dapet..”, gadis itu sedikit meronta ingin melepaskan
diri. Anthony mencengkeram pinggang gadis itu, memeluknya dari belakang.
Anthony tertawa. “Emang kenapa? Jangan
cari-cari alasan!”, pria itu kemudian melepaskan rok yang dikenakan Rani
dan memaksa Rani nungging dengan bertumpu tangan di atas sofa.
Anthonypun memeloroti celana dalam gadis itu. Seketika darah Ranipun
mengalir dan membercak di lantai.
“Mas… kan udah Rani bilang…”
“Iya.. iya tahu… kamu lagi dapet kan?”, Anthony terlihat cuek. Ia langsung melepaskan celana dan celana dalamnya sendiri. “Ah.. suck it in, bitch!”
“Aaaaaagh!”, Rani memekik. Anusnya terasa sakit luar biasa. Rupanya anthony melesakkan kejantanannya ke dalam anus Rani. “Mas! Jangan Mas! Sakiit!”
“Agh… pantatmu enak juga Ran!”, Anthony terus mengobok obok pantat Rani dengan kejantanannya. “Lebih peret dari memek kamu!”
“Agh… sakit Mas… ampun!”, Rani menangis, meringis menahan sakit.
“Agh..”,
“Iya.. iya tahu… kamu lagi dapet kan?”, Anthony terlihat cuek. Ia langsung melepaskan celana dan celana dalamnya sendiri. “Ah.. suck it in, bitch!”
“Aaaaaagh!”, Rani memekik. Anusnya terasa sakit luar biasa. Rupanya anthony melesakkan kejantanannya ke dalam anus Rani. “Mas! Jangan Mas! Sakiit!”
“Agh… pantatmu enak juga Ran!”, Anthony terus mengobok obok pantat Rani dengan kejantanannya. “Lebih peret dari memek kamu!”
“Agh… sakit Mas… ampun!”, Rani menangis, meringis menahan sakit.
“Agh..”,
Plak! Plak! Plak! Plak!
Anthony menampar-nampar kedua bulatan
pantat Rani. Rani menangis tersedu sedu. Hujaman demi hujaman terus
dilesakkan Anthony, sementara Rani mengeliat-geliat kesakitan. Sampai
akhirnya, Anthony mengerang keras, dan penyiksaan itupun berakhir
setelah cairan nafsu Anthony yang membanjir. Rani merosot ke lantai.
Lantai pualam yang dingin terasa menyejukkan pantatnya yang perih.
“Jilatin kontol gue!”, Anthony
membentak. Dengan kepatuhan seorang budak, sambil berlutut Rani
menjilati kejantanan Anthony yang mulai melayu itu. Membersihkannya dari
noda noda sperma. “Bagus.. “, ujarnya sambil mendorong kepala Rani agar
menjauh.
“Mas Anton suka?”, tanya Rani sambil menatap majikannya.
“Suka apaan? Ngentotin pantat kamu?”, Anthony tertawa keras. “Kenapa nanya? Udah keenakan jadi pelacur?”
“Mas Anton suka?”, tanya Rani sambil menatap majikannya.
“Suka apaan? Ngentotin pantat kamu?”, Anthony tertawa keras. “Kenapa nanya? Udah keenakan jadi pelacur?”
Rani tersenyum miris. “Kalau Mas Anton senang, Rani juga senang. Yang penting Ibu sehat…”
Anthony menyetir sendirian memasuki
kompleks tempat rumahnya berdiri. Jam di dashboard mobil menunjukkan
pukul 03.30 pagi, dan tanggal 14 Februari. “Ah iya, 14 Februari ya..”,
gumam Anthony. Hari Valentine, cetus Anthony kemudian dalam hati. Bull
shit! Hari yang dihiasi cokelat dan hati. Cih! Cokelat. Cewek abg
seperti Rani pasti senang diberi cokelat di hari ini. Kontol gue juga
warnanya coklat! Anthony terkikik sendiri.
Pria itu baru pulang sehabis karaoke
bersama teman-teman sesama pengusaha. Sang teman melanjutkan kegiatannya
dengan kegiatan di ranjang bersama lady escort karaoke yang sedari tadi
sudah membakar nafsu mereka. Anthony memilih pulang untuk kemudian
menggelut tubuh Rani, gadis yang dianggap pelacur pribadinya. Gadis lugu
yang selalu pasrah mengikuti kehendaknya, apapun itu.
Hampir pukul empat pagi ketika Anthony
membuka pintu kamar Rani yang memang tidak pernah dikunci. Pria itu
sangat terkejut mendapati ‘pelacur ciliknya’ sedang duduk bersimpuh di
lantai beralaskan karpet kecil, dengan menyelubungi tubuhnya dengan
busana putih yang hanya menyisakan wajahnya yang tak tertutup. Air mata
gadis itu terlihat berlinang. Samar-samar Anthony dapat mendengar
bisikan gadis itu, yang diiringi isak tangis kecil.
“…terima kasih… terima kasih… engkau
telah menolong ibu… … mengirim Mas Anthony untuk menolong Ibu… …
berkahilah Mas Anton… karena ia baik sekali pada hamba dan ibu…
limpahkanlah rezeki kepadanya… hanya engkau yang maha kaya… yang bisa
membalas kebaikan Mas Anthony… tetapi kalau masih boleh hamba memohon…
hamba mohon…. hamba tidak mau jadi pelacur… hamba tahu itu dosa… jika
memang hamba harus melayani… Mas… Anthony… hamba mohon… hamba bisa jadi
isteri Mas Anthony… supaya hamba bisa melayaninya dengan tulus… hamba
sangat sayang padanya… hamba rela melayaninya… kapanpun… walaupun hamba
sampai sakit… hamba tidak menginginkan apa-apa… kesehatan ibu adalah
yang paling penting buat hamba…“
Lutut Anthony seketika menjadi lemas
mendengarnya. Pria itu merosot hingga jatuh terduduk di lantai. Tanpa
tertahan air matanya mengucur deras. Rani yang terkejut mendengar suara
orang terjatuh langsung melepaskan busana putih yang membalut gaun
tidurnya. Bergegas ia berlari menuju pintu, dimana tampak sesosok
bayangan yang terduduk di lantai.
“Lho… Mas Anton?”, Rani heran mendapati majikannya itu menangis.
“Rani…”, ujar Anthony dengan suara serak.
“I… iya Mas?”
“Kamu… kamu…”, Anthony menggenggam tangan Rani kuat-kuat.
“Iya, Mas?”
“Kamu mau nikah sama saya?”, Anthony berujar setelah mengumpulkan kekuatan.
Rani terkejut. Gadis itu mencoba menarik tangannya.
“Jawab Ran! Sekarang!”
“Rani…”, ujar Anthony dengan suara serak.
“I… iya Mas?”
“Kamu… kamu…”, Anthony menggenggam tangan Rani kuat-kuat.
“Iya, Mas?”
“Kamu mau nikah sama saya?”, Anthony berujar setelah mengumpulkan kekuatan.
Rani terkejut. Gadis itu mencoba menarik tangannya.
“Jawab Ran! Sekarang!”
Rani diam saja. Gadis itu memandang Anthony yang sedang menangis dengan pandangan lembut. Baru kemudian ia mengangguk.
“Bener?”, Anthony masih mengejar.
Rani mengangguk sekali lagi. Saat itulah
Anthony melihat ada yang lain di sorot mata Rani. Ada cinta disana. Ada
ketulusan. Ada kebaikan hati. Mirip dengan sorot mata seseorang yang
sangat ia kenal, ibu Anthony sendiri.
“Terima kasih ya Ran”, Anthony mencium tangan Rani lekat-lekat. “Terima kasih… dan.. ha..happy… valentine’s day…”
“Mestinya Rani yang bilang terima kasih”, ujar Rani sambil membenamkan tubuhnya di dalam pelukan Anthony.
“Mestinya Rani yang bilang terima kasih”, ujar Rani sambil membenamkan tubuhnya di dalam pelukan Anthony.
0 comments:
Post a Comment