“Tidaaaaak…! saya tidak mau…!
lepaskaaaaaan…! arrrrgghhhh… biadaaaab…! jangaaaan…..!” jeritan
kesakitan terdengar bergema di ruangan kecil sebuah bangunan tua.
Seorang gadis kecil bertubuh mungil
terlentang bugil di atas lantai berdebu. Pakaiannya tak lagi menutupi
tubuhnya. Kedua tangannya terikat kencang dengan gulungan rantai. Masing
masing tangan itu diikatkan ke kaki meja yang Cuma satu satunya di
ruangan itu. Kakinya menendang kesana kemari mencari sasaran.
“Nimati saja nak. Nikmati saja….. Kau bahkan akan menghiba padaku minta diulangi sebentar lagi… hehehehe”
Seorang pria berambut panjang, kusut dan
terurai dengan tubuh bertato nampak menindih tubuh gadis kecil yang
terus berteriak, menjerit minta dilepaskan. Rontaan gadis kecil itu tak
berarti apa apa baginya. Bahkan tedangan kaki si gadis malang itu hanya
mengenai ruang kosong tanpa bisa menyentuh kulitnya sekalipun.
Dengan bibir menyeringai lebar, pria
setengah baya itu memposisikan tubuhnya ditengah kedua paha gadis kecil
itu. Penisnya yang sudah mengacung keras digesekkannya pada belahan
vagina si gadis yang mulus tak berbulu.
“Ampuuuuunnnn…. jangan paaaaaak, baaaaang…. ooooommmm…., saya mohon jangan lakukan itu…. hik…hik…”
“DIAAAAMM….!. kamu mau mampus? hah?!” bentak pria itu sambil meregangkan paha si gadis kecil dengan paksa.
“Ampun Ommm,,, hik..hik.., saya tak akan melawan lagi…, hik..hik..”
“DIAAAAMM….!. kamu mau mampus? hah?!” bentak pria itu sambil meregangkan paha si gadis kecil dengan paksa.
“Ampun Ommm,,, hik..hik.., saya tak akan melawan lagi…, hik..hik..”
Gadis kecil itu menangis sesenggukan.
Rasa takut atas ancaman si Pria jahannam yang tengah berusaha
memperkosanya mengalahkan ketakutan akan kehilangan keperawanannya. Tak
ada yang bisa dilakukannya sekarang, selain pasrah pada keadaan yang
menimpanya.
“Bagus. Kau mengerti juga, nak. Nikmati saja. Setelah ini kau bebas pergi kemana saja… ” ucap si pria menyeringai.
Gadis kecil itu pasrah. Tak ada gunanya
melawan tubuh besar dan bertenaga kuat yang telah siap membobol lapisan
tipis di belahan vaginanya itu. Siapalah dia, hanya gadis kecil yang tak
memiliki apa-apa dijalanan panjang dan luas kota Jakarta. Jangankan
berharap ada yang mau menolongnya dari kebrutalan pria besar yang akan
memperkosanya ini, untuk berharap ada yang mau menanyakan bagaimana
keadaannya dan apakah dia sudah makan atau belum saja adalah hal yang
sangat mustahil baginya.
Sambil meringis dan merintih kecil,
dipandanginya pria besar itu. Sebuah benda panjang dan gede dengan
ujungnya mengkilat sedang berada tepat dimulut lubang vaginanya. Gesekan
penis di klitorisnya sama sekali tak menimbulkan rangsangan apapun
dalam dirinya. Tak ada birahi yang timbul, hanya ketakutan dan rasa
ngeri yang luar biasa.
“Diam ya?, jangan teriak lagi. Jika berani teriak aku akan membunuhmu. Faham ?!” ancam pria itu padanya.
Gadis kecil itu mengangguk pelan. Ngeri. Dan jeritan pun akhirnya tetaplah keluar dari mulut kecilnya…
“Awwwwww…., ampuuuuun… sakiiiiiiit…. aaaaawwwwhhhh…”
Gadis kecil itu mengangguk pelan. Ngeri. Dan jeritan pun akhirnya tetaplah keluar dari mulut kecilnya…
“Awwwwww…., ampuuuuun… sakiiiiiiit…. aaaaawwwwhhhh…”
Benda panjang dan besar milik pria itu
telah menerobos masuk dengan paksa ke dalam memeknya. Perih rasanya.
Sakit luar biasa. Tangan kecilnya berusaha melepaskan diri dari ikatan
kencang, namun sia-sia. Kepalanya terangkat keatas menahan nyeri yang
luar biasa diselangkangannya. Jeritan kesakitan yang keluar dari
mulutnya tak dipedulikan pria besar itu. Justru pompaan penis yang keras
diterimanya diliang sempitnya yang terasa sangat ngilu. Hentakan
hentakan si pria semakin lama semakin cepat, memaksa lubang sempitnya
merespon dengan perlahan. Cairan pelumas mulai mengalir sedikit demi
sedikit secara alamiah. Tangan pria besar itu mulai menggerayangi
payudaranya yang baru tumbuh sebesar bakso. Terasa sakit remasan tangan
itu. “Hmmmmm…., enak benar memekmu, nak. Sempit dan legit. Hmmmmm…., aku
suka…” erangan cabul terdengar dari mulut pria itu. Dan pompaan keras
dan cepat mulai dilakukannya, tanpa peduli pada jerit tangis si gadis
kecil. Dan….. crottttt….crotttttt…. crottt
“Arrrghhhh…. ummmm…” erangan nikmat
diakhir pompaannya terdengar penuh kepuasan. Semprotan sperma yang
kencang menyembur mengisi penuh lubang memek sempit sang gadis yang diam
membujur di depannya.
Tak ada lagi teriakan dari mulut gadis
kecil itu, tak ada lagi rontaan dari tubuh kecilnya. Suara jeritannya
yang keras tadi lama kelamaan mengecil dan hilang seirama dengan jeritan
orgasme dari mulut pria itu. Sesaat kemudian dicabutnya penisnya dari
jepitan lubang memek perawan itu. Senyuman sinis penuh kepuasan
tersungging dari bibir pria besar itu. Ujung penisnya yang masih
mengacung tegak dengan bercak darah segar pada batang beruratnya di
lapnya dengan secarik kertas usang di atas meja. Dikenakannya kembali
pakaiannya yang berserakan dilantai. Tubuh besar berotot itu berdiri
didepan gadis kecil yang diam tak bergerak.
“Hmmm…” pria itu menggeram. Diambilnya
pakaian gadis kecil itu yang teronggok disamping tubuh kecilnya lalu
dilemparkannya ke atas tubuh bugil gadis itu.
Selembar foto melayang dan jatuh tepat
diatas telapak kaki pria pemerkosa itu seiring dengan pakaian yang
menimpa menutupi tubuh si gadis.
“Pasti ini miliknya” ucap si pria membatin sambil meraih Lembar foto itu.
Di baliknya foto itu. Seorang wanita
sedang menggendong bayi kecil. Tak jelas wajah wanita itu karena kertas
foto itu telah usang.
“Heh..” dengan kesal di lipatnya foto itu menjadi dua bagian.
“Hah ? apa ? ini……” pria itu terkejut
ketika hendak melipat foto yang dipegangnya. Sebuah tulisan tertera di
belakang foto itu. Tertera dalam tulisan yang kecil dan hampir tak
terbaca.
Lara. Sang Buah hatiku.
Buah cinta dari :
Nina dan Joe
Lahir Tanggal : 14 Februari 2000.
Di : Rancah, Ciamis
Tulisan yang nyaris tak terbaca, tulisan
yang tiba-tiba membuat Joe menjadi lemas. Otot tubuhnya menegang, kaku.
Urat sekitar wajah dan lehernya menegang, matanya memerah, jantungnya
berdegup kencang, persendiannya seperti tak bertaut. Ada kekuatan yang
Maha Dahsyat terpancar dari tulisan itu. Kekuatan yang tak pernah
terbayangkan oleh Joe……
“Jadi….” gumam Joe gugup. Jarinya
menunjuk gadis kecil yang baru diperkosanya, lalu menunjuk dirinya
sendiri. Dilihatnya sekali lagi wajah difoto itu dengan seksama.
Tangannya gemetar. Dadanya menjadi sesak. Wajah garangnya berubah
seketika. Ekspresi terkejut berganti syok.
“Jadi… dia adalah…. Oh.. tidak..!” Joe tercekat. Denyut jantungnya seperti terhenti.
“Ohh… Nina.., ma… maafkan… aku… hik..hik..” didekapnya foto itu. Airmatanya mengalir deras. Rasa penyesalan yang luar biasa terpancar dari raut wajahnya. Tubuhnya yang tegap berdiri jatuh tersungkur.
“Jadi… dia adalah…. Oh.. tidak..!” Joe tercekat. Denyut jantungnya seperti terhenti.
“Ohh… Nina.., ma… maafkan… aku… hik..hik..” didekapnya foto itu. Airmatanya mengalir deras. Rasa penyesalan yang luar biasa terpancar dari raut wajahnya. Tubuhnya yang tegap berdiri jatuh tersungkur.
16 tahun yang lalu, pria yang
sesungguhnya bernama Joe ini berkenalan dengan seorang gadis desa yang
datang merantau ke Jakarta. Nina namanya. Mereka saling jatuh cinta.
Meskipun penampilannya seram dan killer, namun Joe bagi Nina
adalah sosok yang didambakannya. Joe selalu melindungi Nina dari segala
hal. Hanya Joe lah yang dengan tulusnya memberi semangat kepada Nina
dalam menjalani kerasnya kehidupan kota.
Mereka berpacaran selama enam bulan.
Selama itu mereka tinggal di gedung tua yang kini sedang berbaring
tubuhnya dan tubuh gadis kecil korban perkosaannya. Mereka saling
melengkapi satu sama lain. Rasa cinta dan kasih sayang begitu besar
diantara mereka. Joe bekerja, dan Nina mengurusi tempat tinggal mereka
yang sesungguhnya bukan milik mereka. Dari kebersamaan itu, Nina pun
hamil. Menjelang Januari 1999, Nina terlambat datang bulan. Ketika
ditunggu hingga bulan berikutnya, haid tak pernah datang lagi.
Nina akhirnya mengajak Joe Ke Desa untuk
minta restu kedua orang tua untuk menikah. Namun apa dikata, kedua
orang tua Nina tak mersetui hubungan mereka karena Joe adalah seorang
preman. Mereka malah mengusir Joe. Joe yang sangat mencintai Nina pun
terpaksa harus pergi meninggalkan Nina yang tengah mengandung anak dari
buah cinta mereka. Hingga kini dia tak tahu kabar Nina.
“Nina akan menjaga anak kita bang. Nina
akan memberi nama buat dia. Jika dia perempuan, maka akan Nina namai
Lara. Jika Pria, maka akan Nina namai Teguh” Itulah kalimat terakhir
yang didengarnya dari Nina ketika dengan berat hati dia mesti pergi
meninggalkan Nina.
Kehidupan Joe makin bertambah hancur.
Dia semakin brutal dan tak terkendalikan. Naluri kebinatangan hasil dari
pemberontakan jiwanya yang terus terbelenggu dalam harapan panjang yang
sepertinya mustahil di gapainya. Harapan untuk bersama Nina, juga marah
pada calon mertuanya. Joe melampiaskan segala keputus asaannya pada
setiap wanita baik-baik yang berhasil dibujuknya dengan menawarkan jasa
baiknya pada mereka, dan setelah memperoleh kepercayaan mereka, maka Joe
memperkosa dan menyiksa mereka saat kesempatan untuk itu datang. Hingga
hal ini terjadi ………..
Gadis kecil imut itu usianya baru
menginjak 15 tahun. Rambutnya lurus panjang sebatas pinggang, wajahnya
sedikit manis, menampakkan ciri khas seorang gadis desa. Tingginya
sekitar 140 cm, dengan payudara kecil yang baru tumbuh sebesar bola
bakso. Pinggulnya agak sedikit padat, dengan paha yang kencang dan cukup
ideal untuk ukuran gadis seusia dia. Boleh dikatakan montok. Namanya
Lara. Sesuai dengan hidupnya yang terus dilanda lara yang
berkepanjangan.
Sudah sebulan dia di Jakarta, pergi dari
desanya tanpa sepengetahuan Ibu, kakek, dan neneknya. Entah bagaimana
keadaan mereka sekarang, dia tak tahu. Yang dia tahu kini adalah terus
mencari keberadaan bapaknya yang sejak kecil tak pernah dia lihat. Kata
neneknya bahwa bapaknya ada di Jakarta. Tak tahu kerjaannya apa. Kadang
Lara berkhayal bapaknya adalah seorang pengusaha kaya. Dia ketemu
bapaknya lalu bapaknya mengajak dia dan ibunya tinggal di rumahnya yang
mewah. Tapi semua itu hanyalah sebuah khayalan. Lara tak tahu dimana dan
bagaimana bapaknya.
Joe merasa galau. Sudah hampir seminggu
hasrat seksnya belum tersalurkan. Penisnya yang selalu mengeras
menjelang pagi membuatnya pusing dan senewen. Sementara dia belum
mendapatkan mangsa yang bisa dijadikannya objek pelampiasan hasrat
seksualnya yang sangat tinggi.
Disebuah halte bis, Joe duduk dengan
gaya seorang pria sopan dan baik-baik. Dia berharap ada wanita yang akan
mau singgah sebentar diperhentian bis itu, sendirian. Untuk tidak
menimbulkan perasaan curiga pada calon korbannya, Joe merubah
penampilannya sesopan mungkin. Sebuah kemeja putih berlengan panjang
dipadu dengan celana hitam dan sepatu hitam disemir mengkilat, Joe
berlagak layaknya seorang pria gentlement, tak ada kesan sangar sama
sekali.
Diusianya yang sudah tak bisa dibilang
muda lagi, kehidupan Joe tak pernah bisa lepas dari masalah selangkangan
wanita, dengan cara berbeda dengan orang lain dalam hal mendapatkannya.
Joe terus bersabar. Dari pagi hingga sekarang menjelang petang, belum
ada satupun wanita yang bisa dijadikan mangsa. Diliriknya jam tangan
trendy yang dipakainya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 16.00. Gelisah
hatinya. Hasrat biologisnya menuntut untuk dipuaskan.
Sambil melepaskan nafas resah, diambilnya sebatang rokok di saku bajunya, lalu dengan korek api bermerk Zippo disulutnya rokok. Gumpalan asap mengepul keluar dari mulutnya.
Sambil melepaskan nafas resah, diambilnya sebatang rokok di saku bajunya, lalu dengan korek api bermerk Zippo disulutnya rokok. Gumpalan asap mengepul keluar dari mulutnya.
Lara melangkah gontai menyusuri jalanan
panjang dibawah panasnya sinar matahari yang baru menjelang petang.
Tubuh kecilnya yang dibalut pakaian tipis seperti kehabisan ion. Lemas
dan lelah. Sejak pagi perutnya keroncongan minta diisi. Uang disakunya
tersisa dua ribu rupiah, tak sanggup untuk membeli sepiring nasi di
setiap warung makan yang disinggahinya. Sejak pagi terpaksa dia hanya
bisa mengisi perutnya dengan air putih gratis pemberian pemilik warung
makan.
Air mata Lara mulai menetes membasahi
pipinya. Teringat ibu serta kakek neneknya dikampung. Meskipun dengan
ala kadarnya, disana dia tak pernah merasa kelaparan dan kehausan
seperti ini. Dengan langkah gontai dan didera oleh rasa lapar, Lara
berjalan menuju ke sebuah halte bis. Dia ingin melepas lelah disana,
juga berlindung dari panas matahari. Jarum jam pada jam yang terpasang
dibundaran simpang lima telah menunjukkan pukul 16.00, dan hingga saat
ini belum ada apapun yang masuk ke dalam perutnya selain air putih.
Di halte dilihatnya seorang pria yang
ditaksirnya berusia sekitar 40 tahunan dengan pakaian yang rapi sedang
duduk. Lara mengambil tempat duduk tak jauh dari pria itu. Mata pria itu
seperti berbinar senang melihat kedatangannya. Senyum ramah tersungging
dari bibirnya.
“Duduk dek. Sini dekat Om..” ucap pria itu menawarkan tempat kepada Lara.
Lara tersenyum ramah membalas senyuman pria itu.
“Adek kenapa? kok kelihatan loyo begitu?
belum makan?” ucapan ramah dan lembut itu sedikit menyalakan harapan
dihati Lara. Berharap si Om mau menawarinya makan atau minum.
“Iya, Om. Lara belum makan. Lara lapar…” ucap Lara polos.
Si Om tersenyum. Agak aneh, tapi Lara tak punya pengetahuan dalam menganalisanya.
“Kasihan…, belum makan? Lapar?” si Om menatap dengan raut iba. “Nama adek Lara ya..?” tambahnya.
“Ayo ikut Om. Kita makan. Om punya makanan enak buat kamu. Mau?” sebuah tawaran yang sangat menggiurkan Lara yang sedang berada dalam deraan rasa lapar.
“Ayo ikut Om. Kita makan. Om punya makanan enak buat kamu. Mau?” sebuah tawaran yang sangat menggiurkan Lara yang sedang berada dalam deraan rasa lapar.
“Ayo…!” Ajak si Om.
Lara berdiri mengikuti langkah si Om.
Tak ada rasa curiga sedikitpun di hatinya. Selain polos dan lugu, deraan
lapar di perutnya membuat dia memutuskan ikut si Om. Mereka berjalan
menuju ke sebuah gedung tua yang terletak agak jauh dari jalan raya.
Gedung tua itu sepertinya lama tak dipakai. Temboknya sudah lapuk.
Banyak coretan-coretan cat yang tak karuan pada dindingnya.
Lara mencari cari bangunan lain
disekitar gedung tua itu, namun tak ada. Si Om yang memperkenalkan diri
dengan nama Joe, mengajaknya masuk ke dalam gedung tua itu. Kotor dan
berdebu. itu kesan pertama yang dilihat Lara. Namun pada bagian dalam
dari gedung tua itu terdapat ruangan yang agak bersih. Sebuah meja dan
sebuah kursi kayu terletak disana. Hanya itu, tak ada perabotan lain.
Diatas meja terdapat bungkusan dalam keadaan masih terbungkus rapi. Lalu
dua buah air mineral dan sebungkus rokok.
Lara segera melahap nasi setelah Om Joe
menyerahkan padanya sebuah bungkusan yang berisi nasi lengkap dengan
lauknya. Kenyang sudah.
“Kamu duduklah dulu. Om mau ganti baju…” Ucap Om Joe kemudian.
Lara menganggukkan kepalanya. Tak
terlintas sedikitpun dalam hatinya untuk mencurigai Om Joe. Seorang pria
yang terlihat berpenampilan seorang eksekutif tinggal digedung tua yang
tak ada perabotan lain selain sebuah meja dan sebuah kursi ? Tak lama
setelah Lara menghabiskan makanannya dan meminum sampai habis sebotol
air mineral, Om Joe datang dengan pakaian yang tak serapi tadi, malahan
terkesan amburadol. Rambutnya tergerai panjang, awut-awutan.
“Terima kasih, Om. Lara sudah kenyang…”
ucap Lara polos sambil mengusap perutnya. Sebuah senyum sinis mengandung
makna dahaga akan birahi yang tinggi tersungging dari bibir Om Joe. “Ya
sudah. Kalau sudah kenyang…, kini saatnya kau membayarnya…” ujar Om Joe
dengan seringai penuh nafsu liar. Lara mengerutkan dahinya. “Tapi Lara
tak punya uang, Om. Tersisa dua ribuan aja…” ucap Lara lirih dan
kebingungan. Om Joe mendekatinya, lalu mencengkeram bahunya. Lara
tercekat, kaget. “Kalau tak punya uang, bayar sajalah pakai tubuhmu…”
bisik Om Joe didekat telinganya. Lara masih bingung. Perasaan takut
perlahan mulai menerpanya. “Lara… Lara nggak ngerti, Om..” nada polos
dan lugu terucap dari mulut Lara. “Hahahahaha…” gelak tawa mengerikan
mulai terdengar dari mulut Om Joe. “Tak ada yang gratis di dunia ini,
Nak. Kamu mesti membayar makanan dan minuman itu dengan merelakan
tubuhmu untuk aku nikmati…, mengerti sekarang?”
Wajah Lara pucat seketika. Dadanya
berdegup kencang, perasaan takut mulai menderanya. Instingnya mengatakan
bahwa Om Joe akan melakukan sesuatu yang buruk pada dirinya. “Om mau
memperkosa Lara?” masih dengan keluguannya Lara bertanya. Tubuhnya mulai
menegang. “Bukan…, Om mau memberikan bonus kenikmatan kepadamu…
hahahaha” Cengkeraman yang kuat semakin terasa menekan pundak Lara.
Tubuhnya diseret lalu dihempaskan keatas lantai. “Om…, Om mau ngapain?”
perasaan takut dan ngeri makin dirasakan Lara. Perlahan air matanya
mulai menetes. Om Joe mendengus, menggeram. “Diam ya! ini nikmat kok…”
“Tidak Om. Jangan…! Lara tidak mau…!”
Lara menggeliat mencoba melepaskan diri saat tangan Om Joe dengan kasar
meremas payudaranya yang baru tumbuh sebesar bola bakso, lalu tangan itu
kini beralih lagi meremas selangkangannya.
“Sudah Om bilang diam. Jangan melawan supaya kamu tidak akan kesakitan…!” tandas Om Joe sembari mulai meremas dengan kasar selangkangan Lara.
“Tidak Om…, Lara tidak mau.. hik…hik…”
“DIAM..!”
“Sudah Om bilang diam. Jangan melawan supaya kamu tidak akan kesakitan…!” tandas Om Joe sembari mulai meremas dengan kasar selangkangan Lara.
“Tidak Om…, Lara tidak mau.. hik…hik…”
“DIAM..!”
Tersulut emosi karena perlawanan yang
diberikan oleh Lara, Joe mendorong tubuh Larah hingga tersungkur
kelantai gedung tua itu. Tak hanya berhenti disitu, dengan beringas
disentakkannya baju Lara hingga robek dibagian lengannya, dan baju
itupun lolos dari tubuh Lara. Setelah itu rok Lara disentakkannya dengan
kasar melewati bokong dan kaki gadis kecil itu. CD Lara langsung
dirobeknya. Sempurna sudah kebugilan Lara didepan matanya.
Lara menjerit sekencang-kencangnya. Tak
disangkanya Om Joe yang terlihat baik dan ramah ternyata adalah seorang
manusia berhati iblis. Tak hanya puas dengan merobek baju milik Lara. Om
Joe lalu berjalan seperti mau mengambil sesuatu benda yang berada
disudut ruangan gedung tua tempatnya memperkosa gadis malang ini. Benar
Om Joe sedang mengambil sebuah rantai besi lengkap bersama gemboknya.
Apa yang ingin dilakukan Om Joe dengan rantai besi ini? Semuannya
sungguh diluar nalar. Ditariklah rambut Lara sampai Lara bangkit dari
tempatnya jatuh tadi. Benar benar pria yang tak mempunyai pri
kemanusiaan sama sekali.
“Aaahhh….” Jerit Lara pelan ketika rambutnya ditarik secara kasar.
Jeritan Lara membuat Joe semakin naik
pitam. Sebuah tamparan akhirnya melesat kearah pipi mulus milik Lara.
“Ccppplllaaakk” bisa dilihat dari suarannya keras sekali tamparan yang
diluncurkan oleh Joe. Mata Lara nanar menahan sakit yang dideranya saat
ini. Bukan sakit karena ditampar atau didorong, tapi sakit karena
memikirkan takdirnya harus seperti ini. Kalau saja dia menurut dengan
ibunya pasti kejadian ini tak mungkin terjadi. Rantai yang diambil oleh
Joe kini dililitkan ketangan Lara. Lara hanya diam pasrah. Setelah
melilit tangan Lara dengan rantai, dengan cepat ujung rantai satunya
dililitkan kesebuah gantungan besi yang ada diatasnya.
Kini Lara berdiri dengan tanggan
tergantung dan tubuh bugil yang terpampang jelas didepan Om Joe. Air
mata seakan akan tak mau berhenti terus mengalir membasahi pipi gadis
malang ini.
“Hahahahaha….. dasar perempuan dikasih
kenikmatan malah nangis” kembali kata kata yang tak patut diucapkan
keluar dari mulut Joe.
Joe mencopot sabuk yang sedang
dipakainya. Setelah sabuk itu terlepas kembali senyum iblis seorang Joe
muncul sekali lagi. Dicengkramlah pipi Lara kembali Joe tersenyum tepat
didepan wajah Lara.
“Cpplllllaaaakkk…..” Tiba tiba Om Joe menyabetkan sabuknya ketubuh Lara.
“Aduuuhhh……!” Teriak Lara menahan sakit
akibat cambukan yang diberikan oleh Om Joe. Air matanya keluar semakin
deras seolah tak bisa dibendung.
Om Joe tak menghiraukan jerit kesakitan
Lara malah dia semakin beringas mencambukan sabuknya kerah tubuh Lara
berkali kali. Puas dengan mencambuki tubuh Lara, Om Joe melepaskan
rantai besi yang terlilit pada besi diatas tubuh Lara dan mendorong
tubuh Lara sehingga lagi lagi tubuh Lara terjatuh kelantai gedung tua
itu. “Hahahahaha” kembali tawa yang paling dibenci oleh Lara itu muncul
dari mulut Om Joe. Sambil melepaskan celana yang dipakainya saat ini.
Ternyata Om Joe tidak memakai celana dalam, jadi ketika celana yang
dipakainya terlepas mengacunglah penis besarnya yang sedari tadi sudah
tegang ingin dibebaskan dari penjaranya.
Lara terpekik kesakitan saat penis besar Joe menerobos liang vaginanya yang sempit.
“Tidaaaaak…! saya tidak mau! lepaskaaaaaan…! arrrrgghhhh… biadaaaab…! jangaaaan !” jerit Lara menggema diruangan gedung tua itu.
“Teriaklah…! tak ada yang bisa mendengarmu. Teriaklah… hahahaha” tawa bengis Om Joe yang telah behasil memperdaya Lara.
“Teriaklah…! tak ada yang bisa mendengarmu. Teriaklah… hahahaha” tawa bengis Om Joe yang telah behasil memperdaya Lara.
Lara meronta dengan sekuat tenaga,
mencoba melepaskan diri. Tindihan Om Joe ke atas tubuhnya membuat
dadanya terasa sesak. Tubuhnya tak bisa digerakkan lagi saking beratnya
tubuh Om Joe. Kakinya menendang kesana kemari, namun hanya mengenai
tempat kosong, tanpa sedikitpun mengenai kulit Om Joe yang sedang berada
diantara dua pahanya.
Lara menangis, menjerit, dan meronta.
Namun semua seperti tak ada gunanya. Pemerkosaan atas dirinya pun terus
berlangsung. Bagai tak mempunyai rasa belas kasihan Om Joe terus memompa
penisnya didalam vagina Lara dengan kasar.
“Enak juga iya memekmu gadis bodoh…… Hahahahaha” tawa bengis Om Joe yang tengah merasakan kenikmatan oleh jepitan vagina Lara.
“Ampun Om….. hentikan ampunnn….. sakit om sakit….” Jerit Lara yang merasakan sakit pada selangkangannya tapi tampaknya Om Joe tak memperhatikan permohonan gadis kecil yang sedang digagahinya tersebut.
“Cplllaaakk” sebuah tamparan lagi lagi melesat kepipi Lara ” dasar gadis bodoh”
“Ampun Om….. hentikan ampunnn….. sakit om sakit….” Jerit Lara yang merasakan sakit pada selangkangannya tapi tampaknya Om Joe tak memperhatikan permohonan gadis kecil yang sedang digagahinya tersebut.
“Cplllaaakk” sebuah tamparan lagi lagi melesat kepipi Lara ” dasar gadis bodoh”
Entah sudah berapa Lama Om Joe menikmati
tubuhnya, entah sudah berapa kali cairan hangat menyemprot ke dalam
liang peranakannya yang sempit, Lara tak tahu lagi. Dia pingsan. Saat
dirinya siuman, tubuhnya terasa ngilu. Selangkangannya perih. Perlahan
air mata menetes dari kedua bola matanya. Tak disangkanya dia akan
mengalami nasib yang teramat tragis dalam proses pencarian bapaknya.
Terbayang wajah Ibu serta kakek neneknya di Desa. terbayang
teman-temannya. Lara mulai terisak. Hari ini adalah hari kelahirannya.
14 Februari. Dan hari ini juga dia mengalami kejadian yang sangat
membuatnya terguncang.
“hik..hik..ugh..ugh.., maafkan aku,
Nina…hik.. hik.. maafkan aku..” Lara sedikit tercenung dengan sura
isakan seseorang di arah atas kepalanya. Tubuhnya yang terlentang dengan
tangan terikat masih tak bisa melihat pemilik suara itu, dia yakin itu
suara Om Joe. Suara isakan itu terdengar semakin kencang…, menyebut nama
seseorang, mirip nama ibunya.
“Nina….! hik.. hik…, aku sungguh biadab! aku iblissss! uhuk… ugh.. ugh.. hik.. hik…”
“Ada apa dengan iblis tua ini ?” batin Lara mengutuk.
“Dia anak kita, Nina. Dia anak kita. Dan aku bapaknya telah menodainya. Dia Lara, gadis kecilku…” terdengar lagi rintihan “Aku biadaaaaaaaaab….!” suara itu berubah menjadi lengkingan keras.
“Uhmmm… ughhh..” Lara menggerakkan tubuhnya mencoba melihat si Iblis tua pemerkosanya.
“Lara???… kau… kau… sudah siuman Nak?” suara itu begitu lembut penuh kasih.
“Lara???…, Lara???… hik.. hik…, maafkan bapak nak. Aku bapakmu, aku teramat biadab… ugh..ugh..”
“Ada apa dengan iblis tua ini ?” batin Lara mengutuk.
“Dia anak kita, Nina. Dia anak kita. Dan aku bapaknya telah menodainya. Dia Lara, gadis kecilku…” terdengar lagi rintihan “Aku biadaaaaaaaaab….!” suara itu berubah menjadi lengkingan keras.
“Uhmmm… ughhh..” Lara menggerakkan tubuhnya mencoba melihat si Iblis tua pemerkosanya.
“Lara???… kau… kau… sudah siuman Nak?” suara itu begitu lembut penuh kasih.
“Lara???…, Lara???… hik.. hik…, maafkan bapak nak. Aku bapakmu, aku teramat biadab… ugh..ugh..”
Lara semakin bingung dengan keadaan itu. Om Joe membuka ikatan pada tangan Lara, lalu mengangkat tubuh Lara ke atas pangkuannya.
“Lara…., Lelaki biadab ini adalah
bapakmu..! aku bapakmu, Lara…” ucapan diselingi isak tangis dari mulut
Om Joe membuat Lara menjadi marah. Dengan sisa-sisa tenaganya dia
menggeliat bangun melepaskan diri. Diraihnya pakaiannya lalu dengan
cepat ia menutupi tubuh telanjangnya. Dengan geram dan penuh kebencian
ditatapnya wajah pemerkosanya.
“Kau? Kau iblissss…!” hanya itu kalimat yang keluar dari mulutnya, mewakili ribuan cacian yang menggemuruh dalam hatinya.
“Lara…….”
“Biadab..!”
“Lara…….”
“Biadab..!”
Lara pun berdiri. Setelah memakai pakaiannya dengan tergesa, Lara melangkah pergi, menepis sentuhan tangan pria pemerkosanya.
“Lara…..”
“Biadab…!”
“Lara…..”
“Biadab…!”
Dengan sisa tenaganya, Lara melangkah dengan terseok-seok, keluar dari gedung tua itu.
“Lara… tunggu…!” teriak Om Joe berusaha mengejarnya.
“Lara… tunggu…!” teriak Om Joe berusaha mengejarnya.
Lara mempercepat jalannya, lalu dengan
sekuat tenaga berlari menuju ke arah jalan raya. Emosi, rasa takut,
benci, putus asa, semua bergemuruh, campur aduk dalam dadanya. Lara
terus berlari sekencang-kencangnya. Dia ingin pergi jauh dari Om Joe,
dari semuanya. Dalam keadaan labil, Lara berlari menuju jalan raya. Tak
dipedulikannya kenderaan yang melaju dengan kencang. Yang dia inginkan
saat ini adalah berlari sekencang-kencangnya, menjauh dari Om Joe.
“Laraaaaaaaaa…!” Om Joe menjerit
sekencang kencangnya, saat dilihatnya Lara berlari ke arah jalan raya,
dan sebuah mobil yang melaju kencang menabrak tubuh gadis kecil itu.
Om Joe hanya bisa melihat tubuh Lara
yang sedang dihempas oleh sebuah mobil. Tubuhnya melemas, Om Joe tak
kuasa melihat tubuh Lara tergeletak bersimbah darah. Perasaan bersalah
kini terus menyelimutinya. Andai saja Om Joe tau lebih awal bahwa
sebenarnya gadis yang diperkosa itu adalah anaknya mungkin ini tak akan
pernah terjadi. Kini semuanya sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur
dan tak mungkin bila bubur akan menjadi nasi kembali. Diraihnya mayat
Lara yang tergeletak itu, didekapnya mayat Lara dalam peluknya. Air
matanya seolah olah tak mau berhenti keluar dari cela cela kelopak
matanya.
“Maafkan bapak nak….. maafkan bapak…….!” Ucapan itu terus menerus keluar dari mulut Om Joe seolah tak mau berhenti.
0 comments:
Post a Comment