Perkenalkan namaku Steven, aku baru saja
menginjak umur 30 tahun. Kali ini aku akan menceritakan sebuah
pengalaman sex dengan sepupuku yang binal. Nama panggilan akrabku adalah
Steve. Sekarang aku bekerja di suatu perusahaan multimedia design &
marketing di Jakarta. Focus dari pekerjaanku lebih menuju ke arah
website design. Statusku masih belum menikah, dan juga masih belum punya
pacar yang serius.
Aku adalah anak kedua dari 3 bersaudara.
Kakak dan adikku laki-laki semua. Sekarang kakak kandungku telah
berkeluarga, dan tinggal di Denpasar. Adik kandungku baru saja
menyelesaikan kuliah-nya di Jakarta, dan kami tinggal bersama. Sejak aku
pindah ke Jakarta, orang tua kami membeli rumah di Jakarta agar aku dan
adikku tidak gampang terpengaruh oleh sifat dan kebiasaan anak-anak
kost yang tidak benar. Memang aku akui itu kekhawatiran yang berlebihan,
tapi bagi kami itu adalah berkat karena telah diberi tempat tinggal
oleh mereka.
Kakak sulungku sejak tamat SMA (sekarang
SMU) langsung pindah ke Denpasar, Bali. Dia mengambil bidang
kedokteran, dan kini sekarang dia berhasil membuka praktek sendiri di
Denpasar dan menetap di sana. Setelah lama dia berpindah dari 1 tempat
ke tempat lain di daerah terpencil untuk ujian praktek dan juga karena
suruhan pemerintah.
Aku ingin menceritakan pengalaman mengesankan sewaktu aku masih kuliah di kota pahlawan (Surabaya) hampir 10 tahun yang lalu. Pengalaman ini melibatkan hubungan aku dengan kakak sepupuku yang berumur 5 tahun lebih tua dari aku. Kalau aku pikir-pikir lagi sekarang, keperjakaanku diambil oleh kakak sepupuku sendiri, dan tidak ada rasa penyesalan di dalam diriku. Atau mungkin karena aku adalah lelaki, jadi masalah keperjakaan tidak terlalu penting bagi kami kaum Adam.
Aku ingin menceritakan pengalaman mengesankan sewaktu aku masih kuliah di kota pahlawan (Surabaya) hampir 10 tahun yang lalu. Pengalaman ini melibatkan hubungan aku dengan kakak sepupuku yang berumur 5 tahun lebih tua dari aku. Kalau aku pikir-pikir lagi sekarang, keperjakaanku diambil oleh kakak sepupuku sendiri, dan tidak ada rasa penyesalan di dalam diriku. Atau mungkin karena aku adalah lelaki, jadi masalah keperjakaan tidak terlalu penting bagi kami kaum Adam.
Kakak sepupuku bernama Jesi, tapi sejak
kecil aku selalu memanggilnya Ci Jes atau hanya Cici yang artinya kakak
perempuan. Kami berasal dari kota yang sama yakni kota Surabaya. Jesi
adalah anak dari kakak perempuan ibuku. Dia adalah anak bibi yang sulung
dari 3 bersaudara.
Jesi pada saat 10 tahun yang lalu
berwajah cantik, putih, dengan tinggi badan 165 cm. Dadanya montok,
meskipun tidak begitu besar. Tapi pinggulnya bukan main indahnya.
Aneh-nya anak dari ibuku semua-nya
lelaki, sedangkan anak dari bibi semua-nya perempuan. Rumah kami
tidaklah jauh, dan sewaktu masih SMP dan SMA, Jesi selalu mampir ke
rumahku hampir tiap 3 kali seminggu. Karena tempat les private
matematika, dan fisika-nya hanya beberapa meter dari rumahku. Jadi
daripada pulang ke rumah-nya dulu seusai sekolah, dia memilih untuk
mampir di rumahku untuk makan siang lalu berangkat lagi ke les
private-nya.
Bisa dikatakan meskipun umur kami beda 5
tahun, tapi kami sangat akrab. Jesi ramah, lembut, dan sangat perhatian
kepada kami. Kami menganggap Jesi seperti kakak kandung sendiri. Tapi
aku selalu merasa Jesi memberi sedikit perhatian lebih kepadaku. Waktu
itu aku berpikir mungkin karena kakak sulungku hampir seumur dengan-nya,
dan adik bungsuku umur-nya beda amat jauh darinya. Tapi setelah
kejadian malam itu, aku baru mengetahui kenapa Jesi memberikan perhatian
lebih kepadaku.
Jesi sering bercurah hati denganku,
meskipun waktu itu aku masih duduk di bangku SD. Kadang-kadang aku tidak
mengerti apa yang dia omongkan. Kalau dia tertawa, aku pun ikut
tertawa. Meskipun aku waktu itu tidak tau kenapa harus tertawa.
Mengingat-ingat itu lagi, aku bisa tertawa sendiri sekarang. Jiwa
anak-anak masih lugu dan murni.
Semenjak tamat SMA, Jesi pindah ke
Bandung dan kuliah di sana. Sejak kepindahan Jesi, terus terang aku
merasa kehilangan dan kadang-kadang rindu dengan-nya. Hanya setahun 2
kali Jesi pulang ke Surabaya, dan itu hanya untuk beberapa minggu saja.
Dan yang mengesalkan, tiap kali Jesi pulang, selalu saja saat aku harus
menghadapi ujian umum. Jadi waktuku untuk bermain-main dengan dia
sangatlah terbatas.
Aku juga pernah sempat cemburu oleh
lelaki yang sekarang menjadi suami Jesi, sewaktu Jesi membawa-nya pulang
bertemu keluarga-nya dan keluargaku. Rasa cemburu ini sangatlah beda.
Tidak sesakit rasa cemburu terhadap pacar sendiri. Mungkin rasa cemburu
karena takut akan kehilangan kakak kesayangan saja. Lelaki itu bernama
Bram. Bram berasal dari kota Samarinda, yang kebetulan kuliah di
universitas yang sama dengan Jesi.
Hubungan Bram dan Jesi terus berlangsung
sampai akhir-nya seusai kuliah, mereka memutuskan untuk segera menikah.
Keputusan menikah ini atas permintaan Bram, karena dia harus kembali ke
Samarinda dan melanjutkan usaha orang tua-nya. Jesi menikah di usia-nya
yang ke 24 tahun. Tentu saja setelah menikah Jesi harus ikut Bram ke
Samarinda.
Semenjak kepindahan Jesi ke Samarinda,
hubungan kami sempat terputus selama 2 tahun. Dan kabar tentang Jesi
hanya bisaku dapatkan dari bibi (ibu Jesi) saja. Pada saat itu Jesi
masih belum dikaruniai seorang anak. Tiap kali aku bertanya kepada bibi
mengapa sampai saat itu Jesi belum memiliki momongan, jawaban bibi
selalu saja sama, yah antara kesibukan Jesi membantu usaha Bram atau
Jesi sendiri masih belum siap memiliki momongan.
Ternyata memang benar, sejak Jesi
menikah dan pindah bersama Bram di Samarinda, usaha Bram benar-benar
lancar dan berkembang pesat. Bram memiliki toko yang luas dan terbagi
menjadi 2 bagian. Bram menangani usaha business dibidang handphones dan
aksesorinya. Sedangkan Jesi menangani usaha business di bagian konveksi
dan aksesorinya seperti jepit rambut, anting-anting, dan sebagainya.
Bram dan Jesi sering terbang ke Jakarta untuk order handphones, dan
barang-barang model terbaru di Indonesia untuk dijual di toko mereka.
Suatu hari setelah 2 tahun lama-nya
tiada kontak dengan Jesi. Tiba-tiba Jesi terbang ke Surabaya karena
rindu dengan orang tuanya. Bram tidak datang bersamanya dan Jessi hanya
tinggal untuk 10 hari saja. Tapi kunjungan kali ini tidak tepat pada
waktunya. Rencana Jesi pulang ini untuk memberi kejutan buat orang
tuanya, malah dia lebih dikejutkan lagi oleh orang tuanya. Waktu itu
bibi dan paman harus terbang ke Thailand karena liburan dan tidak
mungkin dibatalkan karena tiket dan semua akomodasinya sudah dibayar.
Jadi Jesi bertemu dengan bibi/paman hanya untuk 2/3 hari saja.
Selanjutnya Jesi harus menjaga rumah dan kedua adiknya. Saat itu aku
masih duduk di bangku kuliah, dan kebetulan baru memasuki semester baru.
Tiada kesibukan yang berarti di saat kami baru memasuki semester baru.
Pada hari Jumat siang (kira-kira jam 2
siang), sepulang dari kuliah, aku langsung memutuskan untuk pulang ke
rumah saja. Tidak seperti biasanya. Biasanya setiap hari Jumat, aku dan
teman-teman kuliah pasti langsung ngafe atau istilahnya ngeceng (kalo
bahasa kami bilangnya ‘mejeng’) di mall. Waktu tiba di rumah, Jesi sudah
ada di sana dan lagi menonton VCD bersama pembantu.
“Halo Ci Jes, kapan datang?”, sapaku.
“Halo Steve. Baru aja datang. Cici bosan di rumah. Tara dan Dina lagi keluar tuh ama cowok-cowoknya. Jadi cici bosan di rumah sendiri. Jadi yah pindah aja di sini.”, jawabnya ringan.
“Ci Jes dah makan belum?”, tanya saja.
“Sudah tadi. Tuh ada ikan goreng ama sambel lalapan mbak punya. Mantep tuh!”, canda Jesi sambil melirik ke pembantuku.
“Halo Steve. Baru aja datang. Cici bosan di rumah. Tara dan Dina lagi keluar tuh ama cowok-cowoknya. Jadi cici bosan di rumah sendiri. Jadi yah pindah aja di sini.”, jawabnya ringan.
“Ci Jes dah makan belum?”, tanya saja.
“Sudah tadi. Tuh ada ikan goreng ama sambel lalapan mbak punya. Mantep tuh!”, canda Jesi sambil melirik ke pembantuku.
Aku kemudian masuk kamar dan mengganti
pakaian rumah. Jesi waktu itu sedang nonton film Armageddon (Bruce
Willis). Salah satu film favoritku. Kemudian aku join dengannya nonton
bersama-sama sambil makan siang di depan TV. Tapi memang benar, ikan
goreng sambel lalapan pembantuku memang tiada tandingannya. Sempat saja
aku tambah 2/3 piring.
Di tengah-tengah menonton VCD,
pembantuku menawarkan kami jus buah. Tentu saja tawaran yang tidak boleh
dilewatkan. Di siang bolong begini, jus buah segar adalah penawar yang
paling tepat.
Aku duduk di atas sofa sambil kakiku
naik di meja, dan Jesi duduk pas di sebelahku. Semakin lama Jesi semakin
mendekat ke aku. Aku tidak begitu perduli karena aku sudah terbiasa
dengan itu. Bau harum rambutnya sempat tercium saat itu. Jesi tampak
bosan, mungkin karena dia telah nonton film itu dulunya.
“Steve, cici bosan nih!”, katanya.
“Trus Ci Jes mau ngapain?”, tanyaku.
“Ngga tau nih. Mau ke Thailand cici.”, jawabnya sambil tertawa.
“Ya sono, beli ticket! Steve anterin deh sekarang”, responku seadanya. Tiba-tiba Jesi mencubit perutku.
“Ci Jes mau ke mall ngga?”, tawaranku.
“Malas ah. Mall mall melulu. Ngga ada yang lain?”, tanya Jesi.
“Ada. Mau ke Tretes? Nginep di sono.”, tawaranku lagi.
“Boleh sih, tapi ngga hari ini. Masih panas dan macet lagi jam-jam gini.”, jawabnya.
“Trus sekarang Ci Jes mau ngapain?”, tanyaku sekali lagi.
“Ke kamar Steve yuk. Ada computer game baru ngga?”, tanya dia.
“Liat aja sendiri.”, jawabku santai.
“Trus Ci Jes mau ngapain?”, tanyaku.
“Ngga tau nih. Mau ke Thailand cici.”, jawabnya sambil tertawa.
“Ya sono, beli ticket! Steve anterin deh sekarang”, responku seadanya. Tiba-tiba Jesi mencubit perutku.
“Ci Jes mau ke mall ngga?”, tawaranku.
“Malas ah. Mall mall melulu. Ngga ada yang lain?”, tanya Jesi.
“Ada. Mau ke Tretes? Nginep di sono.”, tawaranku lagi.
“Boleh sih, tapi ngga hari ini. Masih panas dan macet lagi jam-jam gini.”, jawabnya.
“Trus sekarang Ci Jes mau ngapain?”, tanyaku sekali lagi.
“Ke kamar Steve yuk. Ada computer game baru ngga?”, tanya dia.
“Liat aja sendiri.”, jawabku santai.
Kemudian kami cabut dari depan TV dan
membiarkan pembantuku nonton film itu sendiri. Di kamar aku menyalakan
AC dan computer. Aku membiarkan Jesi main-main computerku, dan aku hanya
berbaring di tempat tidur sambil membaca komik manga. Ternyata Jesi
tidak jadi main game computer, tapi malah browsing-browsing foto-foto
yang aku scanned sendiri. Jaman itu digital camera masih mahal dan
kualitasnya jelek, tidak seperti saat ini. Jesi terlihat senyum-senyum
sendiri melihat foto-foto kami waktu masih kecil.
Tiba-tiba bak kesambar petir, Jesi
membuat aku mati kutu. Aku lupa total kalau di computer itu banyak
koleksi film-film porno yang aku dapat dari teman-teman kuliah.
“Hayo apa ini, Steve?!”, tanya dia sedikit menyindir.
“Weleh Ci Jes jangan buka itu dong! Barang privacy! Khusus laki-laki.”, jawabku seadanya.
“Emang cewek ngga boleh liat yah?”, tanya dia menyindir lagi.
“Kalo cewek mau liat, boleh aja, tapi liat nanti saja atau kapan-kapan, jangan sekarang.”, jawabku sambil malu tidak karuan.
“Cici mau liat sekarang boleh kan?! Lagian cuman begini saja. Steve lupa yah, cici kan sudah punya suami.”, jawab dia lagi.
“Ya udah. Terserah Ci Jes. Tapi suaranya dikecilin yah. Ntar mbak kedengaran lagi.”, pintaku.
“Hayo apa ini, Steve?!”, tanya dia sedikit menyindir.
“Weleh Ci Jes jangan buka itu dong! Barang privacy! Khusus laki-laki.”, jawabku seadanya.
“Emang cewek ngga boleh liat yah?”, tanya dia menyindir lagi.
“Kalo cewek mau liat, boleh aja, tapi liat nanti saja atau kapan-kapan, jangan sekarang.”, jawabku sambil malu tidak karuan.
“Cici mau liat sekarang boleh kan?! Lagian cuman begini saja. Steve lupa yah, cici kan sudah punya suami.”, jawab dia lagi.
“Ya udah. Terserah Ci Jes. Tapi suaranya dikecilin yah. Ntar mbak kedengaran lagi.”, pintaku.
Tanpa basa-basi, Jesi langsung putar aja
film-film porno itu. Anehnya seakan-akan Jesi terlihat menikmati
film-film porno tersebut. Koleksiku termasuk banyak dan dari banyak
negara, ada Amrik, Australia, Canada, Jepang, Hongkong, Taiwan,
Thailand, dan sedikit saja yang Indo. Maklum bokep Indo saat itu masih
susah didapat. Berbeda dengan jaman sekarang.
Cukup lama Jesi menonton film-film bokep itu, tiba-tiba aku dikejutkan oleh panggilannya. Panggilan inilah awal dari segalanya.
“Steve, pinjitin cici dong? Minta mama tuh beliin kursi belajar yang enak. Bikin pegal aja.”, kata Jesi.
Terus terang sejak dulu, aku tidak pernah sungkan-sungkan untuk memijat Jesi apabila dia minta. Tapi kali ini aku keberatan, karena Jesi sedang nonton film porno. Sejak tadi aku pengen keluar dari kamar, dan membiarkan Jesi nonton sendirian. Tapi juga ada sedikit rasa ngga enak kalo meninggalkan dia sendiri. Aku berdiri di posisi yang serba salah. Akhirnya aku memutuskan untuk memenuhi permintaan Jesi.
“Steve, pinjitin cici dong? Minta mama tuh beliin kursi belajar yang enak. Bikin pegal aja.”, kata Jesi.
Terus terang sejak dulu, aku tidak pernah sungkan-sungkan untuk memijat Jesi apabila dia minta. Tapi kali ini aku keberatan, karena Jesi sedang nonton film porno. Sejak tadi aku pengen keluar dari kamar, dan membiarkan Jesi nonton sendirian. Tapi juga ada sedikit rasa ngga enak kalo meninggalkan dia sendiri. Aku berdiri di posisi yang serba salah. Akhirnya aku memutuskan untuk memenuhi permintaan Jesi.
“Ehmm…ehmmm…”, suara Jesi keenakan.
“Kurang keras, ci Jes?”, tanyaku.
“Cukup steve. Tapi rada turun ke lengan sedikit yah.”, pinta Jesi.
“Kurang keras, ci Jes?”, tanyaku.
“Cukup steve. Tapi rada turun ke lengan sedikit yah.”, pinta Jesi.
Sekarang mau tidak mau aku ikut nonton
film bokep itu bersama Jesi. Aku tidak berani berkata apa-apa. Malu dan
risih itu alasan yang paling tepat. Aku akui sejak dari tadi rudal aku
sudah cukup berdiri, tapi masih belum maksimum.
Cukup lama aku memijat pundak dan lengan
Jesi. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suaranya yang membuat jantungku
seakan-akan mau copot.
“Steve, pengen pijet susu cici ngga?”, tanya Jesi.
Jeblerrr, kayak kesambar petir, ingin segera pingsan saja aku dengan pertanyaan Jesi itu.
“Err… maksud ci Jes apa yah?”, tanyaku pura-pura bego.
“Iya, cici tanya Steve. Pengen ngga pijet susu cici?”, jawab Jesi sambil tangannya meraba payu daranya sendiri.
“Err… “, hanya itu yang bisa saja jawab.
“Steve, pengen pijet susu cici ngga?”, tanya Jesi.
Jeblerrr, kayak kesambar petir, ingin segera pingsan saja aku dengan pertanyaan Jesi itu.
“Err… maksud ci Jes apa yah?”, tanyaku pura-pura bego.
“Iya, cici tanya Steve. Pengen ngga pijet susu cici?”, jawab Jesi sambil tangannya meraba payu daranya sendiri.
“Err… “, hanya itu yang bisa saja jawab.
Dengan malu-malu aku turunkan kedua
telapak tangan aku menuju kedua payu daranya, dan meremasnya lembut.
Tubuh Jesi tiba-tiba terkejut sejenak, kemudian santai lagi. Hanya
beberapa detik saja, tiba-tiba Jesi berkata:
“Steve, stop dulu. Bentar, cici mau lepas BH dulu.”
Gila benar nih, aku dibikin ngga karuan saja. Jesi melepaskan BH nya dari dalam kaos putihnya tanpa menanggalkan kaosnya.
“Nah, kalo begini Steve lebih leluasa.”, katanya santai.
“Steve, stop dulu. Bentar, cici mau lepas BH dulu.”
Gila benar nih, aku dibikin ngga karuan saja. Jesi melepaskan BH nya dari dalam kaos putihnya tanpa menanggalkan kaosnya.
“Nah, kalo begini Steve lebih leluasa.”, katanya santai.
Terang aja, aku bisa merasakan daging
lembut yang menonjol jelas dia dadanya, meskipun masih terbungkus kaos
putihnya. Aku menelan ludah, malu, risih, grogi tapi kedua telapak
tangan masih meremas-remas payu daranya. Rudal penisku sekarang menjadi
berdiri tegak, dan amat keras.
“Ehmm…ehmmm…ahhh”, suara Jesi
perlahan-lahan berubah seperti suara pemain wanita di film bokep yang
sedang kami tonton. Tangan kanan Jesi sekarang sudah tidak memegang
mouse computer lagi, tapi meremas telapak tanganku yang sedang sibuk
meremas-remas payu daranya.
Aku benar-benar masih hijau dibidang
beginian. Edukasi seks yang aku dapatkan hanya dari film-film bokep
saja. Reality seks experience masih belum pernah sama sekali. Ini saja
pertama kali aku meraba, meremas payu dara seorang wanita.
“Ahh… Steve… ahhh… “, suara Jesi makin
sexy dan inilah pertama kali aku melihat wajah Jesi dalam keadaan
terangsang alias horny. Kakak sepupu yang biasanya manis dan lembut,
kini berubah menjadi wanita yang sedang haus akan seks. Aku tidak pernah
menyangka kalau Jesi ternyata sangat mahir di bidang ini.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Jesi bertanya dengan vulgarnya, “Steve, pengen gituan ama cici ngga?!”.
“Anu, gituan apa ci?”, tanyaku pura-pura bego lagi.
“Steve jangan pura-pura bloon ah”, jawab Jesi sambil mencubit tanganku.
“Tapi Steve emang ngga tau, pengen gituan apa sih?”, jawabku masih pura-pura lagi.
“Idihh Steve, reseh nih. Maksud cici itu, Steve pengen ngga ngentot ama cici?”, kali ini pertanyaannya semakin bertambah vulgar.
“Anu, gituan apa ci?”, tanyaku pura-pura bego lagi.
“Steve jangan pura-pura bloon ah”, jawab Jesi sambil mencubit tanganku.
“Tapi Steve emang ngga tau, pengen gituan apa sih?”, jawabku masih pura-pura lagi.
“Idihh Steve, reseh nih. Maksud cici itu, Steve pengen ngga ngentot ama cici?”, kali ini pertanyaannya semakin bertambah vulgar.
Istilah ‘ngentot’ jarang dipakai di
Surabaya waktu jaman itu. Istilah ini umum dipakai di Jakarta dan
sekitarnya. Mungkin karena dulunya Jesi pernah kuliah di Bandung, jadi
istilah ini sudah biasa diucapkan olehnya.
“Hah?! Yakin nih ci Jes? Di sini sekarang? Ntar kedengaran mbak loh.”, jawab panik.
“Kunci aja pintunya. Kayaknya mbak lagi tidur siang. Lagian kita putar musik aja biar ngga kedengeran.”, jawab Jesi.
“Kunci aja pintunya. Kayaknya mbak lagi tidur siang. Lagian kita putar musik aja biar ngga kedengeran.”, jawab Jesi.
Tanpa diberi aba2, dengan cepat aku
mengunci pintu kamar, kemudian menutup film bokep tadi dan
menggantikannya dengan mp3 program. Jesi sudah berbaring di atas
ranjangku sambil memandangku yang sedang berdiri di samping ranjang.
Tidak tahu harus mulai dari mana.
Seakan-akan mengerti dengan tingkah
lakuku yang mau hijau. Jesi kemudian menarik tubuhku agar bergabung
dengannya di atas ranjang. Tanpa malu-malu, tangan Jesi menjulur ke
dalam celana boxerku, dan dengan singkat saja batang penisku telah
digenggamnya dengan mudah.
“Wah, kok dah tegang nih?”, tanya Jesi menggoda.
“Ah, ci Jes bisa aja nih?”, jawabku malu-malu.
“Steve pernah ngga gituan ama cewek lain?”, tanya Jesi penasaran.
“Menurut ci Jes gimana?”, jawabku malu-malu.
“Kalau menurut cici sih, kayaknya belum pernah yah. Steve masih malu-malu gitu … tapi MAU!”, godanya lagi.
“Cici ajarin Steve yah. Tapi ini untuk kali ini saja. Tidak bakalan ada lain kali. Cici mau ambil Steve punya perjaka.”, kata Jesi sambil tertawa.
“Ah, ci Jes bisa aja nih?”, jawabku malu-malu.
“Steve pernah ngga gituan ama cewek lain?”, tanya Jesi penasaran.
“Menurut ci Jes gimana?”, jawabku malu-malu.
“Kalau menurut cici sih, kayaknya belum pernah yah. Steve masih malu-malu gitu … tapi MAU!”, godanya lagi.
“Cici ajarin Steve yah. Tapi ini untuk kali ini saja. Tidak bakalan ada lain kali. Cici mau ambil Steve punya perjaka.”, kata Jesi sambil tertawa.
Aku seperti tidak mengenal Jesi sebagai
kakak sepupuku yang seperti biasanya. Perasaan sayang aku sebagai adik
sepupu terhadap kakak sepupu berubah menjadi perasaan nafsu birahi.
Pengen sekali aku menidurinya dan menikmati tubuhnya dari ujung rambut
sampai ujung kaki.
Dengan segera saja kulepas semua pakaian
yang aku kenakan termasuk celana boxerku. Kini aku yang terlanjang
bulat. Mungkin karena terlalu nafsu dan grogi, aku sampai lupa kalau
Jesi masih berpakaian lengkap. Brrr… semburan angin AC benar-benar
dingin. Dengan segera aku matikan AC di kamar. Reflek tubuh aku untuk
menghindari dari masuk angin.
“Ci Jes, ngga lepas baju?”, tanya aku lugu.
“Ntar dulu, pelan-pelan dong sayang.”, jawab Jesi santai.
“Ntar dulu, pelan-pelan dong sayang.”, jawab Jesi santai.
Terus terang panggilan kata ‘sayang’ di
sini berbeda sekali rasanya dengan kata ‘sayang’ yang sering Jesi
ucapkan dulu-dulunya. Kali ini seakan-akan kata ‘sayang’ yang berarti
seperti ‘aku milikmu’ atau ‘nikmatilah aku’, atau apalah gitu. Yang
pasti berbau seks.
Aku berbaring di atas ranjang dengan
posisi badan terlentang, kedua telapak tangan di atas perut, dan dengan
batang penis yang menegang. Jesi seperti mengerti apa yang harus dia
perbuat. Jesi mengarahkan tubuhnya diatas tubuhku dan memulai actionnya.
Pertama-tama dia mencium leherku, kemudian menjilati kuping aku. Tentu saja bulu romaku berdiri dibuatnya.
Aku mencoba mencium bibirnya, tapi tiap kali aku mencoba, Jesi selalu menghindar saja.
“Ci Jes, Steve mau cium bibir cici.”, kataku.
“Jangan Steve. Ciuman bibir kan hanya buat pacar. Cici kan bukan pacar kamu.”, jawab Jesi.
Aku mencoba mencium bibirnya, tapi tiap kali aku mencoba, Jesi selalu menghindar saja.
“Ci Jes, Steve mau cium bibir cici.”, kataku.
“Jangan Steve. Ciuman bibir kan hanya buat pacar. Cici kan bukan pacar kamu.”, jawab Jesi.
Aku hanya mengangguk saja pertanda
setuju, dan kemudian membiarkan dirinya menjelajahi seluruh tubuhku.
Jesi benar-benar mahir dalam bidang beginian. Dia dengan cepat bisa
mengetahui dimana titik kelemahanku tanpa harus bertanya kepadaku.
Dengan tanpa ragu-ragu dia mengulum lembut batang penisku, dengan
sesekali menjilat-jilatnya. Tubuhku bak melayang di surga, setiap
hisapan yang dia berikan terhadap batang penisku membuatku
melayang-layang.
Cukup lama dia bermain dengan batang
penisku, akhirnya dia berhenti dan membuka kaosnya. Oh my gosh, pertama
kali ini aku melihat sepasang payu dara indah milik Jesi. Selama aku
hanya menikmati bagian atasnya saja yang putih mulus ditutupi oleh baju
renang. Kali ini semuanya terbuka lebar. Begitu putih, mulus, dan warna
putingnya yang coklat muda menantang di depan mataku.
Jesi menyuruhku mengulum puting susu-nya. Untuk yang ini aku bisa, seperti mengulum permen cup-pa-cup saja.
“ahh… ahh…”, terdengar suara erangan halus Jesi. Dia berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar oleh pembantuku.
“Steve, tolong lepas celana cici dong?!”, pintanya lembut. Tentu saja tawaran yang mahal. Dengan segera aku lepaskan celana jeansnya plus celana dalamnya.
“ahh… ahh…”, terdengar suara erangan halus Jesi. Dia berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar oleh pembantuku.
“Steve, tolong lepas celana cici dong?!”, pintanya lembut. Tentu saja tawaran yang mahal. Dengan segera aku lepaskan celana jeansnya plus celana dalamnya.
Sekali lagi … OH MY … aku menjadi sesak
napas sekarang. Aku sekarang bisa melihat memek Jesi dengan jelas.
Sungguh indah, lebih indah dari memek-memek yang pernah aku lihat dari
film-film porno. Jembutnya juga halus dan tidak begitu lebat. Paha-nya
mulus, dan perutnya langsing. Tidak pernah terpikir olehku sebelumnya
bahwa Jesi se-sexy ini. Walaupun telah menikah lebih dari 2 tahun, Jesi
masih rajin merawat bentuk tubuhnya.
Terpintas di dalam pikiranku untuk
menjilat-jilati memek milik Jesi seperti yang sering aku lihat di film
bokep. Tapi niat ini ditolak oleh Jesi, mungkin karena takut aku tidak
tahan mencium aroma memek. Jadi aku hanya diperbolehkan untuk memainkan
tanganku di bagian itilnya. Memek Jesi lembut sekali dan kini menjadi
basah. Suara erangan nikmat Jesi semakin menjadi-jadi, dan kadang-kadang
sedikit terlepas kontrol.
“Steveee, ahhh… ahhh… geli Steve…”, suara Jesi yang sedang bernapsu.
“Enak ci Jes?”, tanyaku. Tapi Jesi seakan-akan tidak mendengar pertanyaan ini. Dia masih tetap berkonsentrasi dan menikmati setiap sentuhan-sentuhan yang aku berikan.
“Enak ci Jes?”, tanyaku. Tapi Jesi seakan-akan tidak mendengar pertanyaan ini. Dia masih tetap berkonsentrasi dan menikmati setiap sentuhan-sentuhan yang aku berikan.
Memek Jesi semakin basah dan licin. Kali
ini tubuhnya sedikit menegang. Saat itu aku tidak mengerti apa yang
akan terjadi dengannya, yang terdengar dari mulutnya hanya “Steve … ahh
ahh … cici mau datangggg … cici mau datanggg”. Hanya dalam hitungan
detik, tiba-tiba tubuh Jesi mengejang dan menjerit keras. Aku panik dan
segera saja aku tutup mulutnya dengan tanganku. Napasnya terengah-engah,
dan memelukku sekencang mungkin. Tubuh Jesi berkeringat, maklum saat
itu AC telah aku matikan, mengingat Surabaya kota yang panas, tidak
heran Jesi jadi berkeringat.
“Steve… thank you…”, katanya sambil terengah-engah.
“Steve mau rasain masuk ke sini ngga?”, katanya sambil menunjuk memeknya yang sudah basah. Aku hanya mengangguk malu-malu sambil berkata, “Kalo ci Jes ijinin, Steve mau aja masuk ke sana.”.
“Idih, genit kamu. Jelas cici ijinin dong. Masa cici cuma ijinin pegang. Kan tanggung.”, jawabnya genit.
Kemudian dia menambahkan, “Steve, tapi ini hanya untuk hari ini saja yah. Dan ini hanya rahasia kita berdua saja. Jangan sampai ini terbongkar ke orang lain, apalagi kalo sampai suami cici tau. Cici bisa bunuh diri.”, katanya serius.
“Husss… mana boleh begitu ci Jes”, jawabku tegas.
“Makanya, Steve harus jaga rahasia ini, ok?!”, pintanya. Aku hanya memberikan signal peace, yang berarti ‘I swear’.
“Sekarang Steve ambil posisi di atas cici. Cici tuntun dedek Steve dulu. Jangan sembarangan main tusuk yah?!”, katanya lagi. Aku hanya bisa mengangguk saja.
“Steve mau rasain masuk ke sini ngga?”, katanya sambil menunjuk memeknya yang sudah basah. Aku hanya mengangguk malu-malu sambil berkata, “Kalo ci Jes ijinin, Steve mau aja masuk ke sana.”.
“Idih, genit kamu. Jelas cici ijinin dong. Masa cici cuma ijinin pegang. Kan tanggung.”, jawabnya genit.
Kemudian dia menambahkan, “Steve, tapi ini hanya untuk hari ini saja yah. Dan ini hanya rahasia kita berdua saja. Jangan sampai ini terbongkar ke orang lain, apalagi kalo sampai suami cici tau. Cici bisa bunuh diri.”, katanya serius.
“Husss… mana boleh begitu ci Jes”, jawabku tegas.
“Makanya, Steve harus jaga rahasia ini, ok?!”, pintanya. Aku hanya memberikan signal peace, yang berarti ‘I swear’.
“Sekarang Steve ambil posisi di atas cici. Cici tuntun dedek Steve dulu. Jangan sembarangan main tusuk yah?!”, katanya lagi. Aku hanya bisa mengangguk saja.
Dengan mengambil posisi di atasnya, Jesi
mencoba menuntun batang penisku masuk ke dalam memeknya. Aku menjadi
ngga sabar lagi, pengen cepat-cepat masuk ke dalam. Aku begitu bernafsu
saat itu. Selesai berhasil menembus masuk ke dalam memek Jesi, mata Jesi
terpejam dan mulutnya bersuara basah “ugghh…”. Saat penisku terbenam di
dalamnya, aku belum ingin mencoba memainkan pinggulku. Aku ingin
merasakan hangatnya memek Jesi untuk beberapa saat. Pertama kali penisku
masuk ke liang vagina wanita.
“Kenapa Steve. Kok diam saja?”, tanya Jesi.
“Steve pengen diam dulu ci. Punya cici anget banget.”, jawabku.
“Enak?”, tanya Jesi sekali lagi, dan aku menganggukan kepalaku.
“Kalau gitu kocok sekarang yah, ntar kalau Steve pengen keluar pejunya, keluarin aja yah. Jangan mencoba untuk ditahan. Ini kan pertama kali buat Steve, jadi cici bisa maklum kalo Steve belum bisa mengontrol keluarnya peju.”, jelas Jesi.
“Steve pengen diam dulu ci. Punya cici anget banget.”, jawabku.
“Enak?”, tanya Jesi sekali lagi, dan aku menganggukan kepalaku.
“Kalau gitu kocok sekarang yah, ntar kalau Steve pengen keluar pejunya, keluarin aja yah. Jangan mencoba untuk ditahan. Ini kan pertama kali buat Steve, jadi cici bisa maklum kalo Steve belum bisa mengontrol keluarnya peju.”, jelas Jesi.
Perlahan-lahan aku memainkan pinggulku.
Aku belum terbiasa. Aku sedikit grogi. Jesi membantuku memainkan
pinggulku agar dorongan dan irama kocokan batang penisku lebih berirama.
Selangkangan Jesi dibuka lebih lebar olehnya, agar memberikan ruangan
untukku bergerak lebih leluasa.
“Ahhh… Steve…cepet pinter kamu… yah di sono terus… terus lebih dalam lagi…”, puji Jesi. Aku hanya tersenyum saja.
“Uhhh … ohhh… uhhh…”, desahan Jesi menjadi-jadi. Jesi berusaha sekuat mungkin menahan desahannya agar tidak sampai terdengar terlalu keras. Jesi tampak bernafsu sekali, dan mulai mengeluarkan kata-katanya yang jorok. Aku pun mendengar kata-kata jorok Jesi, menjadi makin bernafsu juga. Aku merasa seperti lelaki satu-satunya yang mampu memuaskan nafsu birahi Jesi.
“Uhhh … ohhh… uhhh…”, desahan Jesi menjadi-jadi. Jesi berusaha sekuat mungkin menahan desahannya agar tidak sampai terdengar terlalu keras. Jesi tampak bernafsu sekali, dan mulai mengeluarkan kata-katanya yang jorok. Aku pun mendengar kata-kata jorok Jesi, menjadi makin bernafsu juga. Aku merasa seperti lelaki satu-satunya yang mampu memuaskan nafsu birahi Jesi.
“Steveee … entotin cici terus … entot cici terus … kontolnya enakkk bangettt sihhh … uuuhhh…”.
Melihat kelakuan Jesi, aku menjadi seakan-akan terbawa olehnya, dan seperti penyakit menular, akupun mulai ngomong yang jorok-jorok pula.
“Iya ci… Steve entotin terus memek cici… kalo bisa entot terus foreverrr …”, kacau deh kata-kataku.
“Steveee … cici mau kencinggg … geliii bangettt … uuhhh …”.
Arti ‘kencing’ di sini bukan bukan air seni beneran, tapi karena terlalu gelinya Jesi merasa seakan-akan pengen kencing. Yang pasti memek Jesi makin basah saja.
Melihat kelakuan Jesi, aku menjadi seakan-akan terbawa olehnya, dan seperti penyakit menular, akupun mulai ngomong yang jorok-jorok pula.
“Iya ci… Steve entotin terus memek cici… kalo bisa entot terus foreverrr …”, kacau deh kata-kataku.
“Steveee … cici mau kencinggg … geliii bangettt … uuhhh …”.
Arti ‘kencing’ di sini bukan bukan air seni beneran, tapi karena terlalu gelinya Jesi merasa seakan-akan pengen kencing. Yang pasti memek Jesi makin basah saja.
“Uhh… ohhh… suka ngga ngentot ama cici … suka ngga? memek cici enak ngga? … “, tanya Jesi kacau.
“Enakkk bangettt cici… enakkk banget … Steve nanti kapan-kapan minta lagi yah? … ngga mau sekali doang, pleaseee…”, mohonku.
“Iyaaa… iyaaa… asal Steve sukaaa… Steve boleh entot cici terusss… uuhh… oohhh”, jawabnya. Aku menjadi amat gembira mendengarnya.
“Ci Jes suka ngentot ternyataa yahhh … baru tau Steve”, kataku.
“Siapaaa di dunia ini yang ngga suka ngentot, heh? Cici juga manusia kann…”, jawab Jesi.
“Enakkk bangettt cici… enakkk banget … Steve nanti kapan-kapan minta lagi yah? … ngga mau sekali doang, pleaseee…”, mohonku.
“Iyaaa… iyaaa… asal Steve sukaaa… Steve boleh entot cici terusss… uuhh… oohhh”, jawabnya. Aku menjadi amat gembira mendengarnya.
“Ci Jes suka ngentot ternyataa yahhh … baru tau Steve”, kataku.
“Siapaaa di dunia ini yang ngga suka ngentot, heh? Cici juga manusia kann…”, jawab Jesi.
Tubuhku terus memompa-mompa Jesi, dan
kali ini aku yang menjadi berkeringat. Hampir seluruh badanku basah, dan
itu membuat Jesi semakin bernafsu. Kadang-kadang dia mengusap dadaku
yang berkeringat dengan telapak tangannya, dan kadang-kadang menjambak
lembut rambutku.
“Ci Jes… ahhh… Steve kayaknya mau meledakkk ntar lagii… gimana nihhh”, kataku panik.
“Keluarin ajaaa kalo dah ngga tahann…”, jawabnya.
“Iyaaa… Steve mau keluarrr ntar lagii… cici siap-siap yah”, kataku lagi. Jesi hanya mengangguk saja.
“Ci Jes… ahhh… Steve kayaknya mau meledakkk ntar lagii… gimana nihhh”, kataku panik.
“Keluarin ajaaa kalo dah ngga tahann…”, jawabnya.
“Iyaaa… Steve mau keluarrr ntar lagii… cici siap-siap yah”, kataku lagi. Jesi hanya mengangguk saja.
Kupercepat lagi goyangan pingguku. Jesi menjadi seperti cacing kepanasan.
“Steveee… cici juga mau datanggg… enakk bener kontolnya sihhh…”, puji Jesi lagi.
“Ci Jes… dah dipuncakkk nihhh … ntar lagiii … ntar lagiii…”, kataku ngga karuan.
“Barengan yah sayanggg … ahhh ahhh … cici juga mau datang sayanggg …”, Jesi mengingau.
“Steveee… cici juga mau datanggg… enakk bener kontolnya sihhh…”, puji Jesi lagi.
“Ci Jes… dah dipuncakkk nihhh … ntar lagiii … ntar lagiii…”, kataku ngga karuan.
“Barengan yah sayanggg … ahhh ahhh … cici juga mau datang sayanggg …”, Jesi mengingau.
Mendengar kata ‘sayang’ lagi, aku
menjadi tambah bernafsu lagi. Bendungan pejuku sebentar lagi jebol, dan
aku tau pasti kalau itu bakalan tidak lama lagi.
“Ci Jes … Steve ntar lagiii datanggg …”, kataku memberi aba-aba.
“Iya sayanggg, keluarin yah sayanggg … uuhhh … oohhh ….”.
Selang beberapa detik kemudian …
“Ci Jes … Steve datanggg … ahhhh … ahhhh …”, kataku sambil batang penisku mengeluarkan semua pejunya di dalam liang memek Jesi.
“Ahhh … Steve sayanggg … cici juga keluarrrr … ahhh … ahhh …”, sahut Jesi sambil memeluk tubuhku yang basah kuyung.
“Ci Jes … Steve ntar lagiii datanggg …”, kataku memberi aba-aba.
“Iya sayanggg, keluarin yah sayanggg … uuhhh … oohhh ….”.
Selang beberapa detik kemudian …
“Ci Jes … Steve datanggg … ahhhh … ahhhh …”, kataku sambil batang penisku mengeluarkan semua pejunya di dalam liang memek Jesi.
“Ahhh … Steve sayanggg … cici juga keluarrrr … ahhh … ahhh …”, sahut Jesi sambil memeluk tubuhku yang basah kuyung.
Kubiarkan batang penisku menumpahkan
lava hangat di dalam liang memek Jesi. Jesi masih memeluk tubuhku dengan
napas terengah-engah. Setelah selang beberapa saat, wajah kami saling
berhadapan, dan Jesi segera mencium keningku.
“Steve, thank you sekali lagi yah.”, kata Jesi.
“Steve juga thank you buat ci Jes. Ini pengalaman berharga Steve.”, jawabku.
“Ngga nyesel kamu Steve?”, tanya Jesi penasaran.
“Tidak sama sekali.”, jawabku tegas yang kemudian terlihat Jesi tersenyum manis.
“Idih … peju perjaka banyak banget. Ngga cukup memek cici yang menampung. Tapi sekarang dah ngga perjaka lagi nih!”, canda Jesi. Aku hanya tersenyum saja.
“Tapi untuk ukuran perjaka, Steve termasuk hebat loh. Masih saja mampu bikin cici datang sekali lagi.”, pujinya.
“Ci Jes, bener ngga sih kalo cewek menelan peju perjaka bisa awet muda?”, tanyaku bercanda.
“Idih … mana ada yang begituan. Itu kan cuman mitos aja”, jawab Jesi.
“Steve, thank you sekali lagi yah.”, kata Jesi.
“Steve juga thank you buat ci Jes. Ini pengalaman berharga Steve.”, jawabku.
“Ngga nyesel kamu Steve?”, tanya Jesi penasaran.
“Tidak sama sekali.”, jawabku tegas yang kemudian terlihat Jesi tersenyum manis.
“Idih … peju perjaka banyak banget. Ngga cukup memek cici yang menampung. Tapi sekarang dah ngga perjaka lagi nih!”, canda Jesi. Aku hanya tersenyum saja.
“Tapi untuk ukuran perjaka, Steve termasuk hebat loh. Masih saja mampu bikin cici datang sekali lagi.”, pujinya.
“Ci Jes, bener ngga sih kalo cewek menelan peju perjaka bisa awet muda?”, tanyaku bercanda.
“Idih … mana ada yang begituan. Itu kan cuman mitos aja”, jawab Jesi.
Posisi batang penisku masih menancap di
dalam memek Jesi. Masih agak keras sih, tapi nafsu birahiku sudah
mereda. Aku biarkan batang penisku di dalam sana sambil memeluk tubuh
Jesi. Tubuhku basah kuyup, dan untungnya Jesi tidak sungkan-sungkan
memeluk tubuhku yang sedang penuh bermandikan keringat. Aku merasa Jesi
memang sayang kepadaku.
Tak terasa total waktu kita berperang di
atas ranjang lebih dari 3 jam. Jam 6 sorean Jesi pamit pulang, karena
dia ada janji dengan teman-teman masa SMA-nya dulu. Pada malam harinya
aku menerima sms darinya yang berkata: “Steve, ingat janjinya yah.
Jangan bilang-bilang sama siapa-siapa. Ntar cici ngga kasih lagi loh?!”.
Kemudian aku balas smsnya, “Kalau ci Jes
mau Steve tutup mulut tentang rahasia ini, tolong sumbat mulut Steve
ama susu ci Jes lagi deh.”.
“Idih … masih kurang yah?! Dah ketagihan nih yah?! Ntar sebelon cici pulang ke Smrd, cici kasih lagi deh.”, balesnya.
Malam itu aku tidak bisa tidur,
teringat-ingat kejadian erotis siang hari itu. Aku tidak menyangka kakak
sepupu yang paling aku sayang dan yang paling aku hormati, kini telah
aku tiduri. Aku tidak menyangka kalau Jesi adalah wanita pertama yang
pernah aku tiduri. Yang lebih mengejutkan lagi, dia adalah kakak sepupu
sendiri yang mana kami berdua masih ada sedikit hubungan darah (antara
ibuku dan ibunya).
Ada sedikit rasa bersalah dan menyesal,
tapi karena aku masih tergolong pemuda yang gampang bernafsu, aku masih
memiliki pemikiran dan harapan untuk meniduri Jesi sekali lagi sebelum
dia pulang ke Samarinda. Dan untungnya pemikiran atau harapanku ini
tidaklah sia-sia, selama sisa 6 hari liburannya di Surabaya, kami selalu
mencari kesempatan untuk ‘bercinta’. Di kamarku, di kamarnya, dan
sekali di bak mandi di rumahnya.
Jesi telah berubah bukan saja sekedar
kakak sepupu saja, tapi lebih menjadi guru seks-ku. Dia terlihat sangat
mahir dalam memuaskan nafsu birahi laki-laki. Jurus goyang pinggulnya
dengan posisi dia diatas mampu membuatku babak belur. Seakan-akan dengan
posisinya di atas, memeknya terasa seperti meremas-remas dan menyedot
batang penisku. Pertama kali Jesi mengenalkan jurus goyang pinggulnya,
aku tidak mampu bertahan, dan hanya beberapa kali goyangan pinggulnya,
aku langsung ejakulasi. Jesi sempat menyindir canda waktu itu, dan
maklum melihat kejadian ini.
Sehabis setelah bersetubuh dengan Jesi,
aku banyak bertanya tentang pengalaman seks-nya dengan Bram dan kadang
kala aku membandingkan diriku dengan Bram. Tentu saja menurutnya, aku
masih sedikit kalah dibandingkan suami-nya sendiri. Tapi Jesi mengakui
kalau aku sering ‘bermain’ dengannya, aku akan lebih ‘jago’ daripada
suami-nya sendiri. Masalah ukuran penis, Jesi bilang punyaku lebih
panjang daripada punya Bram, tapi milik suami-nya lebih melebar
kesamping alias lebih gendut. Sewaktu aku menanyakan enak mana yg
panjang atau yang gendut, dia menjawab kedua-duanya memiliki keasyikan
yang sangat berbeda. Dan dia menambahkan sambil bercanda alangkah lebih
baik bila ada yang panjang dan gendut. Langsung aja aku merespon
candanya dengan mengajak threesome dengan Bram. Jesi menjawab lebih baik
dia mati daripada harus threesome dengan suami-nya sendiri.
Jesi pernah mengaku bahwa dia tidak
pernah sebelumnya menaruh perasaan nafsu kepadaku. Hanya karena dia
telah hilang kontak denganku lebih dari 2 tahun lamanya, dan
sekembalinya dia ke Surabaya, aku telah banyak berubah terutama dari
segi fisik. Dia memujiku bertambah tampan, dan bertubuh padat. Mungkin
keaktifanku berenang seminggu 2 kali, menjadikan badanku terlihat padat,
meskipun tidak gempal. Karena inilah Jesi mengaku bahwa dia sangat
mengagumi perubahan fisikku ini, dan akhirnya memberanikan dirinya untuk
mencoba seducing atau menggodaku secara seksual atau singkatnya bermain
api denganku. Sebenarnya dia sendiri takut bukan main sebelum
persetubuhan kami yang pertama. Takut akan penolakanku, dan takut
apabila ketahuan pembantu rumahku. Tapi semenjak persetubuhan pertama
kami berhasil, Jesi mengaku menjadi semakin bernafsu denganku. Tidak
heran setiap kali aku meminta jatah untuk menyetubuhinya, dia tidak
pernah menolak sekali pun. Kalau saja situasinya tidak mengijinkan, dia
hanya berbisik atau memberi tanda untuk menahan nafsuku dulu sampai
nanti situasinya mengijinkan.
Kepulangan Jesi ke Samarinda menjadi pil
pahit buatku. Karena guru seks-ku meninggalkanku di Surabaya sendiri.
Hampir tiap hari aku ber-masturbasi sendiri sambil membayangkan
memori-memori indah menyetubuhi Jesi. Aku merasa seperti pecundang saat
itu, karena hanya masturbasi yang bisa aku lakukan. Sering aku menelpon
Jesi lewat hp-nya, menceritakan betapa berat aku ditinggal olehnya, dan
betapa rindunya aku dengannya. Jujur saja, aku hanya rindu akan
kehebatannya ‘bercinta’, bau tubuhnya, dan nikmatnya ejakulasi di dalam
liang memeknya. Perlu diketahui bahwa selama bersetubuh dengan Jesi
waktu itu, aku tidak pernah memakai kondom sekalipun, bahkan belum
pernah memegang apa itu kondom sampai hubungan seks berikutnya dengan
pacar pertamaku. Aku tidak pernah menanyakan apa Jesi oke saja dengan
aku berejakulasi di dalam liang memeknya. Sempat aku kuatir apabila dia
hamil karena spermaku. Namun aku lega karena setelah 1.5 tahun kemudian
Jesi baru dinyatakan positif hamil. Jadi jarak waktunya berbeda jauh
dengan kekhawatiranku.
Semenjak itu, aku belum pernah lagi
‘bercinta’ lagi dengan Jesi. Meskipun kadang-kadang setiap kali pulang
ke Surabaya, aku sempat mengajaknya ‘1 kali saja’. Tapi ajakanku selalu
ditolaknya, karena Bram ada di sana pula bersama anaknya yang baru
lahir. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk pindah ke Jakarta, mencari
karirku di sana.
Aku belajar banyak dari Jesi, dia selalu
memberiku tips-tips cara menaklukkan wanita di atas ranjang. Meskipun
kami sudah tidak pernah lagi ‘bercinta’, tapi kamu masih tetap
berhubungan baik. Seakan-akan tiada rasa bersalah atau rasa aneh
semenjak kejadian itu di antara kami. Jesi banyak memberikan nasehat
kepadaku tentang perbedaan cinta dan nafsu. Jesi jujur mengatakan
kepadaku bahwa saat itu dia hanya nafsu terhadapku, dan hanya ada cinta
terhadap Bram.
Tips-tips pemberian Jesi amatlah mujarab
dan bervariasi. Bekas pacar-pacarku dan teman-teman ‘one night stand’
di Jakarta (maklum bila di kota metropolis ini, seks bebas telah menjadi
rahasia umum) menyukai gaya permainan ranjangku.
Mungkin bila ada kesempatan, aku akan
menceritakan pengalaman menarik lain yang aku alami dengan bekas
pacar-pacarku, dan juga teman-teman ‘one night stand’. Perlu para
pembaca cerita seru indodiva tau, banyak wanita-wanita karir dan
executive di Jakarta yang tidak mengenakan celana dalam waktu mereka
sedang tandang di dugem-dugem Jakarta. Percaya atau tidak, ini
kebanyakan mereka lakukan dengan sengaja. Setelah aku tanyakan alasan
mereka, salah satunya untuk membuatnya praktis memasukkan batang penis
pasangan-nya tanpa diketahui oleh orang-orang sekitar.
0 comments:
Post a Comment