Sebuah cerita dewasa yang memuat tentang
hubungan sex antara anak dan ibu tirinya sendiri yang paling hot serta
akan menegangkan kontol kalian semuanya. Hubungan antara seorang anak
dengan ibu tirinya ini sungguh sayang untuk dilewatkan, oleh karena itu
mari kita simak ceritanya lebih jauh lagi.
Ketegangan meliputi seluruh keluarga
besar Papa saat ia memutuskan untuk menikah lagi. Mama dan ketiga orang
kakakku menentang keputusan Papa. Masalahnya, perempuan yang mau
dinikahi Papa, sebut saja namanya Tania, seusia dengan kakak perempuanku
yang kuliah semester 2. Aku yang waktu itu baru lulus SMP belum begitu
paham dengan urusan orang tua. Apalagi aku jarang bertemu Papa karena ia
kerja di kota lain. Tapi Papa tetap pada keputusannya. Ia menikah lagi
tanpa dihadiri oleh anak-anaknya. Ia dan istri barunya tinggal di kota J
di mana ia selama ini bekerja, sedangkan kami anak-anaknya tinggal
bersama Mama.
Meski tinggal berjauhan, Papa tetap rajin mengunjungi kami seperti biasanya. Hanya saja ia tak pernah mengajak istrinya karena mungkin khawatir akan menimbulkan konflik. Begitu juga soal biaya hidup, Papa tidak pernah terlambat mentransfer ke rekening Mama.
Meski tinggal berjauhan, Papa tetap rajin mengunjungi kami seperti biasanya. Hanya saja ia tak pernah mengajak istrinya karena mungkin khawatir akan menimbulkan konflik. Begitu juga soal biaya hidup, Papa tidak pernah terlambat mentransfer ke rekening Mama.
Waktu lulus SMA, karena tidak diterima
di perguruan tinggi negeri, Papa menawariku untuk kuliah di Jakarta
karena ia punya kenalan rektor di salah satu perguruan tinggi swasta di
sana. Semula aku ragu. Apalagi Mama dan ketiga kakakku tak setuju.
Mereka ingin aku berjauhan dengan Mama. Tapi ketika kemudian ada kabar
kalau Papa masuk rumah sakit, aku akhirnya menerima tawaran Papa. Aku
dan kakak perempuanku, sebut saja namanya Mbak Dewi, berangkat ke
Jakarta untuk menengok Papa. Aku trenyuh saat melihat Papa terbujur
lemah di tempat tidur. Saat itulah untuk pertama kalinya aku bertemu
Tania. Mbak Dewi tidak saling bertegur sapa dengan Tania. Kelihatan
sekali kalau ia sangat tidak suka pada istri baru Papa itu. Aku pun
sebetulnya juga menyimpan rasa marah karena Tania telah merebut Papa
dari Mama, tapi karena merasa jengah dengan suasana yang begitu kaku,
sedikit-sedikit aku mau juga diajak bicara oleh Tania.
Karena kasihan pada Papa itulah kemudian
aku memutuskan untuk kuliah di Jakarta. Mbak Dewi marah saat kukatakan
itu padanya, tapi aku bersikukuh pada pendirianku. Menurutku, paling
tidak ada satu anak Papa yang menemaninya di Jakarta, karena tak ada
satupun kerabat di kota metropolitan itu. Akhirnya Mbak Dewi pulang
sendirian, sedangkan aku menjaga Papa di rumah sakit sampai Papa
diperboleh pulang. Setelah beberapa hari tinggal di rumah Papa, aku
pulang untuk mengambil dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran
di perguruan tinggi.
Sampai di rumah aku diomeli oleh
kakak-kakakku, sementara Mama hanya bisa menangis. Tapi aku kukuh pada
pendirianku. Lagipula Tania tak seburuk yang mereka kira. Kakak-kakakku
menganggap kalau Tania mau dinikahi Papa hanya karena Papa kaya. Tapi
selama beberapa hari bersamanya aku punya penilaian sendiri. Justru
Tania orang yang bersahaja. Ia pun ramah, tidak galak seperti ibu tiri
dalam film. Bagiku, Mama Tania adalah sosok yang menyenangkan, selain
juga cantik. Seharusnya kakak-kakakku bersyukur ada Tania yang merawat
Papa di kota J. Mungkin juga Mama salah, kenapa dulu menolak pindah ke
kota J. Kakak-kakakku pun akhirnya menyerahkan keputusannya padaku.
Hanya saja mereka berpesan agar aku kos saja di dekat kampus. Kalau itu
aku setuju karena rumah Papa dengan perguruan tinggi yang akan kumasuki
sangat jauh.
Di Jakarta, untuk sementara aku tinggal
di rumah Papa sampai urusan administrasi pendaftaranku selesai. Tania
lah yang mengantarku ke kampus, mulai dari awal sampai tes penerimaan,
karena Papa sibuk dengan pekerjaannya. Dan jika ada waktu senggang, ia
mengajakku ke tempat-tempat wisata yang ada di Jakarta, atau sekedar
makan siang bersama di Pizza Hut atau Mc Donald. Begitu juga ketika aku
dinyatakan diterima sebagai mahasiswa baru, Tania yang menemani mencari
tempat kos.
Namun hal yang terduga terjadi padaku.
Kebersamaan selama beberapa hari dengan Tania menumbuhkan perubahan pada
diriku. Selain aku mulai terbiasa memanggilnya Mama Tania, muncul rasa
aneh dalam diriku. Aku berusaha sekuat tenaga menepis perasaanku itu,
karena merasa tak sepantasnya perasaan itu ada, tapi tak pernah bisa.
Entah kenapa ada semacam rasa suka saat berduaan dengan ibu tiriku itu.
Aku takut mengakui kalau aku jatuh cinta padanya, tapi memang itulah
yang terjadi. Aku merasa kesepian saat mulai tinggal di tempat kos,
apalagi saat menjelang tidur. Ingatanku selalu pada Mama Tania yang suka
memakai baju ketat tanpa lengan kalau di rumah. Yang paling
menggetarkan hatiku adalah ketika kami ngobrol berdua di sofa teras
belakang rumah. Satu kakinya ditumpangkan ke kaki lainnya hingga
menampakkan pahanya yang mulus. Diam-diam aku ereksi membayangkan Mama
Tania. Kerinduanku padanya terasa sangat menyiksa.
Untungnya rinduku pada Mama Tania
terobati, setidaknya seminggu sekali, karena setiap Jumat malam ia,
kadang bersama Papa kadang sendirian, menjemputku di tempat kos agar
hari Sabtu dan Minggu aku bisa tinggal di rumah Papa. Perasaan yang
kupendam makin memburuk saat muncul ketidaksukaanku pada Papa. Semacam
cemburu begitulah. Aku lebih suka jika hanya Mama Tania sendiri yang
menjemputku. Aku tak betah tinggal di rumahnya jika ada Papa. Dan rasa
cinta pada Mama Tania yang usianya sekitar 4 sampai 5 tahun lebih tua
dariku makin tumbuh subur. Gejolak darah mudaku menggebu-gebu setiap
kali melihat Mama Tania. Aku mulai berkhayal tentang dia, membayangkan
nikmatnya mencumbui bibir indahnya. Sadar atau tidak, aku telah
terobsesi pada Mama Tania.
Saking besarnya obsesiku pada Mama Tania
hingga timbul hasrat isengku. Diam-diam kupinjam handycam milik Papa
yang tersimpan di laci ruang keluarga, lalu kubeli kaset kosong. Saat
aku mandi kuletakkan handycam itu di tempat tersembunyi dan kuaktifkan
mode perekamannya. Sudah kuperhitungkan waktunya dengan kebiasaan Mama
Tania mandi. Kurasakan debaran jantungku ketika melihat Mama Tania masuk
kamar mandi. Di ruang keluarga aku menunggu dengan pura-pura nonton TV.
Selama menunggu, aku gelisah tak karuan. Tak sabar ingin segera melihat
hasilnya.
Begitu Mama Tania selesai mandi dan
masuk ke kamarnya, bergegas kuambil handycam itu. Di dalam kamar yang
telah kukunci kuputar ulang rekamannya. Aku menahan nafas menyaksikan
adegan demi adegan mulai Mama Tania masuk kamar mandi, membuka baju dan
dan mulai mandi. Panas dingin rasanya melihat tubuh telanjang Mama Tania
yang begitu indah. Kedua mataku tak berkedip menikmati setiap
gerak-geriknya. Begitupun ketika ia selesai mandi dan mengenakan BH dan
celana dalam sexy berwarna hitam. Rekaman itu kemudian kutransfer ke
komputer sehingga aku bisa memelototi lekuk liku tubuh Mama Tania lebih
jelas.
Cerita Seks Indonesia – Kehangatan Ibu Tiri yang Cantik
Cerita Seks Indonesia – Kehangatan Ibu Tiri yang Cantik
Tak puas dengan rekaman kamar mandi, aku
pun mengalihkan sasaran ke kamar tidur Mama Tania. Saat ia mandi aku
menyelinap ke kamarnya. Kuletakkan handycam di tempat tersembunyi dan
kuarahkan ke tempat tidurnya. Tapi cara ini kurang efektif. Aku harus
menunggu esok hari saat Mama Tania tak di kamar untuk mengambil
handycam. Kutelepon Papa minta ditransfer sejumlah uang yang kukatakan
untuk beli buku, padahal kubelikkan kamera mini yang terhubung ke
komputer. Dengan begitu aku bisa mengamati langsung gerak-gerik Mama
tiriku di tempat tidur dan sekitarnya.
Aku hanya mengaktifkan kamera mini saat
Papa tidak di rumah. Aku tak mau melihat ia dan Mama Tania bercumbu di
tempat tidur. Yang kuinginkan hanya Mama Tania dalam keadaan sendirian,
hingga suatu ketika ada satu adegan yang membuat nafsuku meronta dan
berujung pada onani. Betapa tidak. Saat itu siang hari, usai makan dan
ngobrol di ruang keluarga, Mama Tania minta diri mau tidur. Ngantuk,
katanya. Papa sedang mengunjungi Mama, sehingga praktis hanya ada aku
dan Mama Tania serta pembantu rumah tangganya. Begitu ia masuk kamar,
aku pun ke kamarku dan langsung menghidupkan komputer. Di monitor
kusaksikan Mama Tania merebahkan dirinya di ranjang. Mulanya kulihat ia
tenang dan kupikir sudah tidur. Tapi beberapa menit kemudian ia tampak
gelisah. Tidurnya berubah-ubah posisi yang membuat baju tidurnya
tersingkap. Beberapa menit kemudian tangannya mengelus-elus “miliknya”
yang tertutup celana dalam putih. Aku menahan nafas dengan mata tak
berkedip melihat ke layar monitor. Tak lama setelah itu tangan Mama
Tania menyusup ke celana dalamnya disertai goyangan pinggul yang membuat
birahiku naik ke otak. Aku jadi tergerak untuk melakukan hal yang sama.
Kuremas lembut “milikku” sambil mengamati gerak-gerik Mama Tania.
Adegan berikutnya, Mama Tania melepas
baju tidurnya. Ternyata ia tidak pakai BH. Tubuhku panas dingin
menyaksikan aksinya. Kemudian pelan-pelan Mama Tania melepas celana
dalamnya dan mulai memainkan “miliknya” dengan penuh gairah. Sayang
suaranya tak terdengar. Andai terdengar pasti makin asyik. Tubuhnya
menggelinjang merasakan kenikmatan yang dibuatnya.
Beberapa saat kemudian Mama Tania
memiringkan tubuhnya dan membuka laci yang ada di samping tempat
tidurnya. Jantungku berdegup kencang manakala melihat benda yang
diambilnya. Benda mirip kemaluan laki-laki. Dengan ekspresi penuh
perasaan, Mama Tania menggesek-gesekkan benda itu di “miliknya”.
Lagi-lagi pinggulnya menggelinjang. Aku sudah menduga adegan
selanjutnya. Ya, Mama Tania mulai memasukkan benda itu ke “miliknya”.
Mulutnya menganga akibat nikmat yang dirasakannya. Tak mau kalah dengan
Mama Tania, aku pun menelanjangi diriku sendiri dan makin asyik
memainkan “milikku”.
Mama Tania mengangkat kedua kakinya
dengan posisi mengangkang sambil memainkan benda itu di “miliknya”.
Matanya terpejam, mungkin sedang membayangkan Papa yang menyetubuhinya.
Setelah itu Mama Tania tengkurap. Pantatnya ditunggingkan sementara
tangan satunya memegangi “mainannya” yang diberdirikan di ranjang.
Begitu sudah pas, ia mulai menggoyang pantatnya naik turun dengan posisi
duduk. Sesekali alat itu terlepas dan Mama Tania membetulkannya.
Puas dengan posisi duduk, Mama Tania
menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang. Kedua kakinya dibuka
lebar-lebar saat “mainannya” dikocok-kocokkan dalam”miliknya”. Seiring
dengan itu, aku pun mengocok “milikku” makin cepat dengan genggaman yang
makin erat. Beberapa menit kemudian Mama Tania berguling-guling di
ranjang. “Mainannya” dicabut, diganti dengan tangannya yang membekap
“miliknya”, sementara kedua kakinya menjepit erat. Nafasnya memburu,
terlihat dari perut dan dadanya yang naik turun tak beraturan. Tampaknya
Mama Tania sudah mencapai orgasme. Aku mempercepat kocokanku hingga
akhirnya cairanku tumpah ke lantai. Aku terengah-engah, sama seperti
Mama Tania.
Beberapa saat kemudian Mama Tania
memasukkan kembali “mainannya” ke dalam laci, lalu rebah lagi di
ranjang. Wajahnya terlihat puas. Ia pasti kelelahan setelah melakukan
masturbasi hingga akhirnya tertidur dalam keadaan telanjang bulat.
Kubaringkan tubuhku di ranjang setelah kuberesi cairanku yang berceceran
di lantai dengan tisu. Nikmat sekali rasanya. Setelah kejadian itu,
obsesiku pada Mama Tania makin dalam merasuki batinku.
Aku bukannya tak mau berusaha menjauhkan
perasaan yang tak pantas itu dari lubuk hatiku. Menjelang akhir
semester pertama aku menjalin hubungan khusus dengan teman sekampus,
sebut saja namanya Nina. Aku berharap, berpacaran dengan Nina akan
membuat obsesiku pada Mama Tania bisa teralihkan. Tapi nyatanya tidak.
Meskipun aku berpacaran dengan Nina, tapi yang selalu hadir dalam
khayalku menjelang tidur tetap saja Mama Tania.
Ketika aku mudik libur semesteran pun
bukan Nina yang kurindukan, tapi Mama Tania. Aku benar-benar bingung
menghadapi kenyataan ini. Sudah berkali-kali kutekankan pada diriku
sendiri, bahwa tak mungkin aku bisa mendapatkan cinta Mama Tania, tapi
sulit sekali. Seperti menghapus noda tinta di baju seragam. Makin
digosok, nodanya makin melebar. Bahkan, saking rindunya, diam-diam
kutelepon Mama Tania. Basa-basinya adalah menanyakan kabarnya dan kabar
Papa. Padahal itu hanya sebagai modus untuk mengobati kerinduanku meski
hanya mendengar suaranya.
Suatu hari Mama Tania memintaku
menemaninya ke kota B untuk menengok orang tuanya. Saat itu Papa sedang
ke Singapura untuk keperluan bisnis. Dengan bermobil kami berdua
meluncur ke sana. Tapi kami tidak menginap. Sorenya kami kembali ke kota
J. Aku tak menolak ketika Mama Tania menawariku menginap di rumahnya,
karena hari sudah malam. Justru itu yang kuharapkan, karena terus
terang, selama bermobil dengan Mama Tania nafsuku meletup-letup melihat
kemulusan pahanya. Apalagi ketika ia condongkan sandaran jok ke belakang
dan kemudian matanya terpejam. Ingin rasanya kususupkan jari-jemariku
ke sela-sela roknya yang tersingkap setiap kali ia bergerak menggeser
posisi berbaringnya. Tapi aku tak cukup punya nyali untuk berbuat
senekad itu, walaupun keinginanku begitu kuat. Aku tak sabar ingin
segera sampai di rumahnya dan berharap ia melakukan masturbasi lagi.
Hingga hampir jam 10 malam mataku tak
letih memandangi monitor. Dengan menggunakan mode infrared keadaan kamar
Mama Tania tetap bisa terlihat dengan baik. Hanya saja tampaknya
harapanku tak terkabul. Mama Tania sepertinya sudah tidur, walaupun ia
kadang bergerak, berganti posisi tidur. Aku hampir putus asa menunggunya
melakukan “adegan spektakuler” seperti sebelumnya dan berniat untuk
tidur juga. Saat aku hendak beranjak dari kursi, kulihat Mama Tania
bangun. Sesaat ia duduk di tepi ranjang, lalu berjalan menuju pintu.
Mungkin ia hendak ke kamar kecil. Seketika kantukku sirna. Kutunggu Mama
Tania kembali ke kamarnya. Benar saja. Beberapa menit kemudian ia masuk
ke kamar dan membaringkan tubuhnya di ranjang. Selimutnya dibiarkan
teronggok di sampingnya. Jantungku berdebar menunggu ia “beraksi”. Ia
tampak gelisah, terlihat dari gerakan tubuhnya. Kadang miring, kemudian
kembali telentang. Setelah itu miring lagi sambil memeluk guling. Tak
sampai lima menit, ia beranjak lagi dari tempat tidur, membenahi
rambutnya, lalu keluar lagi. Aku menunggu dengan sabar di depan monitor.
Jantungku hampir copot saat terdengar
bunyi “klek”, gagang pintu kamarku bergerak. Tapi karena terkunci, tidak
bisa terbuka. Aku yang sedang tegang menunggu Mama Tania kembali ke
tempat tidurnya bukan main kagetnya. Kuamati gagang pintu kamarku.
Bergerak lagi. Aku diam terpaku di tempat dudukku, menduga-duga. Kalau
bukan hantu, pasti Mama Tania yang melakukannya.
“Mau apa dia malam-malam ke kamarku?”,
hatiku bertanya-tanya. Jantungku berdetak makin tak beraturan. Seketika
terbersit dalam pikiranku untuk membuka pintu dengan satu harapan, ia
menginginkan hal yang sama denganku. Begitu kubuka pintu kamarku,
kulihat Mama Tania hendak masuk lagi ke kamarnya. Ia tampak kaget
melihatku tiba-tiba muncul.
“Oh, kukira kamu sudah tidur, Lang”, ujarnya. Ia urungkan niatnya masuk ke kamar.
“Belum. Ada apa, Ma?”, jawabku sambil balik bertanya dengan nada agak gagap.
“Mama nggak bisa tidur. Mungkin tadi sempat ketiduran di mobil kali ya”.
“Kalau kamu belum ngantuk, temani Mama nonton TV di kamar yuk”, ajak Mama Tania.
“Belum. Ada apa, Ma?”, jawabku sambil balik bertanya dengan nada agak gagap.
“Mama nggak bisa tidur. Mungkin tadi sempat ketiduran di mobil kali ya”.
“Kalau kamu belum ngantuk, temani Mama nonton TV di kamar yuk”, ajak Mama Tania.
Karuan saja aku gugup. Keringat dingin
menetes di dahiku. Buru-buru kututup pintu kamarku, takut kalau Mama
Tania tiba-tiba nyelonong ke kamarku dan mendapati kalau aku mengamati
kamarnya melalui komputer.
“Kok bengong? Ayo sini. Kita nonton di kamar Mama aja”, tukas Mama Tania sambil melambaikan tangan.
Dengan pikiran berkecamuk, kumasuki
kamar Mama Tania. Mama Tania meraih remote dan menyalakan TV, sementara
aku berdiri saja di depan pintu. Mama Tania menoleh ke arahku sembari
berkata, “Sini, Lang”. Tangannya sigap membenahi bedcover lalu
menepuk-nepuknya sebagai isyarat agar aku naik ke ranjangnya. Kubuang
jauh-jauh kecanggungan yang kurasakan dan kulangkahkan kaki menuju
ranjang. Begitu kubaringkan tubuhku, Mama Tania berbaring di sebelahku
sambil menyelimuti tubuh kami berdua. Udara di kamarnya memang dingin
sekali. Entah karena AC-nya atau efek dari debaran jantungku saja.
Baru sesaat aku rebahan, Mama Tania yang
postur tubuhnya mungil seperti Yuni Shara itu mencecarku dengan
pertanyaan yang membuatku kelabakan.
“Tumben pakai ngunci pintu segala. Emang lagi ngapain, Lang?”.
Di saat aku mencari jawaban yang tepat, Mama Tania ngomong lagi dan aku jadi salah tingkah.
“Lagi onani ya? Nggak usah malu lah.
Mama kan juga pernah muda. Tahu lah kebiasaan cowok seusia kamu”, tandas
Mama disertai senyuman penuh arti.
Entah kenapa, ucapan Mama Tania yang terakhir itu membangkitkan keberanianku untuk bicara.
“Iya, Ma. Habis lagi kepingin sih”.
Sengaja kukatakan itu untuk memancing reaksinya. Aku sangat berharap ia
bilang “Sini, Mama kocokin”. Jantungku berdebar menunggu jawabannya.
Tapi ia hanya tertawa renyah.
“Nggak apa-apa. Itu hal biasa kok. Asal jangan keseringan aja”, tukas Mama, masih disertai tertawa kecil. “Nanti jadi cepat keluar lho”, lanjutnya.
“Nggak apa-apa. Itu hal biasa kok. Asal jangan keseringan aja”, tukas Mama, masih disertai tertawa kecil. “Nanti jadi cepat keluar lho”, lanjutnya.
Pembicaraan blak-blakan itu membuat kekakuanku mencair. Aku mulai berani mengimbangi obrolan panas Mama Tania.
Ah, masa sih, Ma?”, aku bertanya asal saja dan tak butuh jawaban ilmiah.
“Kata orang sih. Mama sendiri mana tau? Kamu yang cowok harusnya tau”.
“Emangnya hanya cowok yang onani, Ma? Cewek emang nggak pernah”, cecarku mulai menjurus.
“Iya juga sih. Tapi cowok yang paling sering”, kata Mama. Tampaknya ia mulai gerah juga.
“Mama sendiri pernah nggak?”, pancingku.
“Emangnya hanya cowok yang onani, Ma? Cewek emang nggak pernah”, cecarku mulai menjurus.
“Iya juga sih. Tapi cowok yang paling sering”, kata Mama. Tampaknya ia mulai gerah juga.
“Mama sendiri pernah nggak?”, pancingku.
“Idiih, kamu apaan sih, tanyanya kok
aneh-aneh gitu? Ya enggak lah”, tandas Mama. Sekilas wajahnya bersemu
merah. Ia mengalihkan pembicaraan sambil memainkan remote TV. Sambil
nonton TV, kami ngobrol tentang banyak hal. Meskipun begitu, debaran
jantungku tetap saja menghentak tak karuan. Apalagi saat kakiku
bersenggolan dengan kaki Mama Tania. Kurasakan darahku berdesir. Ada
semacam rasa nikmat yang menjalari sekujur tubuhku. Ingin rasanya
kurengkuh tubuh Mama Tania dalam pelukanku dan menghujaninya dengan
ciuman bertubi-tubi. Tapi aku takut ia marah dan melaporkannya ke Papa.
Aku hanya bisa diam menahan gejolak nafsuku.
Tak terasa, sudah jam 12 malam. Kulihat Mama Tania beberapa kali menguap.
“Mama ngantuk ya?”, tanyaku.
“Iya. Kamu sudah ngantuk belum”, Mama Tania balik bertanya.
“Iya juga sih, Ma. Boleh nggak aku tidur sini?”, tukasku spontan.
“Emang kamu mau tidur sama Mama?”, Mama Tania menoleh ke arahku. Aku tak ingin kehilangan momen berharga dalam hidupku. Buru-buru kujawab.
“Kalau Mama ngijinin ya mau aja, Ma”.
“Iya. Kamu sudah ngantuk belum”, Mama Tania balik bertanya.
“Iya juga sih, Ma. Boleh nggak aku tidur sini?”, tukasku spontan.
“Emang kamu mau tidur sama Mama?”, Mama Tania menoleh ke arahku. Aku tak ingin kehilangan momen berharga dalam hidupku. Buru-buru kujawab.
“Kalau Mama ngijinin ya mau aja, Ma”.
Mama Tania tersenyum dan berseloroh,
“Boleh aja, tapi jangan ngompol ya”. Aku nyengir kuda. Dalam hati aku
girang sekali dapat kesempatan langka seperti itu. Aku beringsut dari
ranjang dan bilang pada Mama Tania kalau mau buang air kecil. Begitu aku
kembali, cahaya dalam kamar sudah berganti redup. Kusibak selimut dan
sekilas terlihat olehku paha mulus Mama Tania akibat baju tidurnya
tersibak. Aku menghela nafas dalam-dalam dan kubaringkan tubuhku di
sebelah Mama Tania sambil membenahi selimut yang cukup besar untuk kami
pakai berdua.
Dalam keadaan seperti itu aku tak bisa
tidur. Kuamati Mama Tania yang berbaring memunggungiku. Aku tak tahu ia
sudah tidur atau belum, tapi nafsuku tak henti-hentinya bergejolak,
menggodaku untuk melampiaskannya. Aku bertahan untuk tidak tergoda
karena takut resikonya. Tapi gumpalan birahiku yang tertahan terus saja
meronta-ronta, hingga membuatku mata hatiku gelap. Bodoh rasanya jika
tak kumanfaatkan kesempatan emas itu. Dengan berpura-pura sudah tidur,
kugeser tubuhku hingga menempel ke punggung Mama Tania. Aku diam
menunggu reaksinya. Karena Mama Tania bergeming, kumiringkan tubuhku
hingga sejajar dengan tubuhnya. Rasa nikmat tiba-tiba saja menghentak
saat “senjataku” menempel di pantat Mama Tania. Aku diam lagi, menunggu.
Karena tak ada reaksi, kulingkarkan satu tanganku ke tubuh Mama Tania
seolah dalam keadaan tak sadar dan menganggapnya sebagai guling. Harum
rambut Mama Tania merebak ke rongga hidungku.
Sesaat kemudian kudengar Mama Tania
menggumam lirih dan darahku berdesir ketika tangannya memeluk tanganku
yang melingkar di tubuhnya. Gempuran nafsu birahi yang begitu kuat tak
lagi mampu kubendung. Kuciumi rambut Mama Tania, kemudian turun ke
lengannya. Gairahku makin menjadi-jadi saat kudengar Mama Tania
mendesah. Satu tanganku menjalari pahanya dengan beberapa kali usapan
lembut sebelum menyusup ke balik baju tidur dan mulai memainkan jari
tengahku di sela-sela bagian bawah tubuhnya. Aku melakukannya dengan
selembut mungkin dengan harapan Mama Tania akan terangsang. Harapanku
terkabul. Pelan-pelan Mama Tania membuka kedua kakinya. Tak terlalu
lebar, tapi sudah cukup buatku untuk lebih leluasa memainkan jariku.
Cerita Seks Indonesia – Kehangatan Ibu Tiri yang Cantik
Cerita Seks Indonesia – Kehangatan Ibu Tiri yang Cantik
Mama Tania kembali mendesah lirih.
Kusibak lebar-lebar selimut yang menutupi kami berdua karena aku ingin
melihat langsung permainan jariku. Aku harus bersabar melakukan itu dan
kesabaranku membuahkan hasil. Bukaan kaki Mama Tania makin lebar dengan
satu lututnya terlipat sedikit. Pelan-pelan kususupkan jariku ke celana
dalam Mama Tania hingga kurasakan bulu-bulu halusnya. Begitu jariku
menyentuh “miliknya” yang lembut, langsung kumainkan jariku. Mula-mula
kuusap bibir kemaluan Mama Tania. Kemudian pelan-pelan usapanku beralih
ke bagian tengah. Kulihat perut Mama Tania mengempis seperti sedang
menahan nafas. “Miliknya” kurasakan mulai basah.
Mama Tania yang terlihat pasrah
membuatku makin berani. Kulorot celana dalamnya dengan hati-hati sampai
lepas. Aku ingin mempraktekkan adegan yang kulihat di film biru.
Kutelungkupkan tubuhku di atas kaki Mama Tania dan mulai menjilati organ
sensitifnya. Sekali lagi Mama Tania mendesah disertai dengan gerakan
mengangkang. Aku tak tahu apakah Mama Tania sadar melakukan itu atau
hanya refleks saja. Tapi kulihat matanya masih terpejam. Kulanjutkan
jilatanku dengan penuh perasaan. Ternyata memang mengasyikkan. Ada
sensasi tersendiri melakukan itu. Apalagi saat pinggul Mama Tania
bergerak-gerak, seolah merespon kenikmatan yang kuberikan.
“Lang, ngapain kamu?”, ujar Mama Tania
tiba-tiba sambil bertumpu di keduanya dan menatapku. Aku sedikit kaget
dan balas menatapnya. Kutunggu reaksinya, marah atau tidak. Tapi begitu
Mama Tania berbaring lagi, kulanjutkan lagi permainan lidahku dengan
lebih agresif. Sesekali pinggul Mama Tania bergerak mengikuti irama
permainanku.
“Ooh, sudah, Lang. Nanti keterusan…
Ohh”, desis Mama Tania. Tangannya mencengkeram kuat rambutku. Tak
kuhiraukan permintaannya. Makin kuat ia mencengkeramku, makin dahsyat
jilatanku hingga lidahku masuk ke “miliknya”. Dengan dorongan yang agak
kuat pada kedua paha Mama Tania ke arah yang berlawanan kuisyaratkan
agar ia lebih mengangkang lebih lebar lagi. Agaknya Mama Tania makin
terangsang dengan aksiku. Ia pasrah saja “miliknya” kuhujani dengan
lidah dan bibirku habis-habisan.
Puncaknya, pinggul Mama terangkat
disertai goyangan yang makin kencang, seolah mengimbangi tarian lidahku.
Desahnya makin tak terkendali. Kedua tangannya mencengkeram erat seprai
tempat tidur. Goyangannya melemah saat desah panjang keluar dari
mulutnya.
“Sudah, Lang. Mama sudah orgasme … Ohhh
…”, desisnya seraya menahan kepalaku agar tak bergerak lagi. Pelan-pelan
pinggulnya turun lagi.
Ciumanku pun kemudian beralih ke perut
dan berakhir di dadanya. Kusibak belahan dasternya agar bisa kucumbui
dua bukitnya yang indah. Mama Tania melingkarkan kedua tangannya di
punggungku pertanda ia menikmati cumbuanku. Sambil mencumbui dadanya,
tanganku menjelajahi selangkangannya. Tampaknya Mama Tania tergoda untuk
mengimbangiku. Satu tangannya beralih ke celanaku.
Tak puas dengan meraba bagian luar,
tangan Mama Tania pun kemudian menyusup ke dalam celanaku dan mulai
menggenggam dan mengusap lembut “milikku” yang sudah berdiri tegak. Saat
itulah cumbuanku beralih ke lehernya yang jenjang. Kubungkukkan tubuhku
sedikit hingga “milikku” bisa kugesek-gesekkan ke “milik” Mama Tania.
Mama Tania mendesah dan mendesis yang segera kubungkam dengan pagutan di
bibirnya. Kami pun berciuman dalam balutan nafsu birahi yang
menggelegak. Mama Tania mencengkeram T-shirt yang kukenakan dan
menariknya ke atas. Aku pun berhenti sejenak untuk melepas T-shirt.
Kuminta Mama Tania untuk duduk di ranjang, sementara aku berpindah
posisi di belakangnya . Kusibak rambut Mama Tania dan kucumbui lehernya,
sementara kedua tanganku meremas-remas kedua bukitnya. Mama Tania
menoleh ke arahku hingga kami bisa saling berpagutan lagi.
Beberapa saat kemudian aku rebah di
ranjang. Mama Tania melepas dasternya sebelum melucuti celanaku, lalu
mengulum”milikku” dengan gerakan lembut. Begitu nikmat hisapannya hingga
aku telentang seolah tanpa daya. Sampai sejauh itu aku masih merasa
seperti mimpi, telanjang berdua dengan Mama Tania dalam panasnya api
birahi. Rasanya sulit dipercaya kalau peristiwa yang selama ini hanya
ada dalam khayalku, saat itu benar-benar terjadi. Aku sadar kalau itu
salah.Tapi dalam keadaan seperti itu, siapa yang bisa berhenti?
Kubiarkan Mama Tania menikmati “milikku”
sesuka hatinya. Hangatnya mulut Mama Tania melambungkanku dalam sebuah
perasaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Setelah puas melakukan
oral, Mama Tania duduk di atasku. Aku menunggu detik-detik mendebarkan
saat “milikku” menembus “miliknya”, tapi tak terjadi. “Milik” kami
berdua hanya saling bergesekan saat Mama Tania merebahkan tubuhnya di
atas tubuhku sambil mengggoyang-goyangkan pinggulnya ke depan dan ke
belakang. Kami saling berpagutan untuk melengkapi sensasi nikmat gesekan
itu.
“Milik” Mama Tania terasa telah demikian
basah, hingga tak heran akhirnya “senjataku” amblas ke dalam
“miliknya”. Mama Tania mendesis dan menelungkupkan wajahnya di leherku.
Kupegang erat-erat pantat Mama Tania saat aku mulai menggoyang pinggulku
karena Mama Tania tak kunjung bergoyang. Lama-lama ia pun mengimbangi
gerakanku. Mula-mula masih dengan telungkup sebelum kemudian bangkit dan
mulai bergerak naik-turun dengan ritme lambat. Tanganku leluasa
menggerayangi payudaranya yang bergerak kesana-kemari. Untuk beberapa
saat kubiarkan Mama Tania bergoyang di atasku. Setelah itu aku bangkit
karena tak tahan untuk tidak mencumbui dua bukit ranumnya. Gara-gara itu
goyangan Mama Tania melambat. Tak lama setelah itu ia mendorongku agar
rebah lagi. Agaknya ia kurang bebas bergerak. Begitu aku rebah, Mama
Tania langsung tancap gas. Ritme goyangannya makin kencang sebelum
kemudian tubuhnya meregang disertai desahan panjang dari mulutnya yang
indah. Ia rebahkan lagi tubuhnya di atasku. Nafasnya memburu, sementara
kedua tangannya mencengkeram kuat-kuat bahuku.
“Udah orgasme, Ma?”, tanyaku mesra di telinganya.
“Iya, sayang … Ohh …”, jawab Mama Tania terengah-engah.
“Iya, sayang … Ohh …”, jawab Mama Tania terengah-engah.
Terbersit rasa bangga dalam hatiku. Aku
berhasil membuat Mama Tania orgasme. Kubiarkan ia menikmati orgasmenya
beberapa saat. Setelah nafasnya kembali tenang, kuminta ia untuk
menungging. Tanpa diminta dua kali, Mama Tania beringsut menuruti
permintaanku. Begitu ia sudah siap, kutancapkan “milikku” ke dalam
“miliknya”. Mama Tania langsung mendesah lirih, “Oohhh …” saat “milikku”
tertanam dalam-dalam di “miliknya”. Aku pun mulai melakukan gerakan
maju-mundur pelan-pelan. Kunikmati betul-betul momen yang selama ini
hanya ada dalam imajinasiku. Kuusap lembut pantat Mama Tania, merasakan
kelembutannya. Setelah itu tanganku turun ke dadanya, meremas-remasnya
dengan penuh perasaan. Kemudian, gerakanku kupercepat. Beberapa kali
Mama Tania memekik tertahan saat “milikku” menghunjam dalam ke
“miliknya”. Tangannya mencengkeram kuat-kuat seprai tempat tidur.
Gerakanku makin cepat ketika kurasakan
“laharku” dalam “kawahku” akan meledak. Aku tak bisa menahan desahanku
saat spermaku kutumpahkan ke pantat Mama Tania. Mama Tania merebahkan
tubuhnya di ranjang, sementara aku masih bertumpu pada kedua lututku,
merasakan detik-detik puncak kenikmatan hingga tetesan spermaku yang
terakhir. Setelah itu aku turun dari ranjang untuk mengambil tisu.
Mama Tania masih tertelungkup di
ranjang, meski tubuhnya sudah kubersihkan dari spermaku. Kubaringkan
tubuhku di sampingnya. Mataku menerawang ke langit-langit kamar dengan
pikiranku melayang. Aku telah memulai satu babak baru dalam kehidupanku.
Kenikmatan seks. Meski terasa sebentar, tapi aku yakin efeknya akan
sangat panjang. Apalagi aku melakukannya dengan Mama Tania yang notabene
Mama tiriku, istri kedua Papa.
Saat tengah melamun, kudengar Mama Tania menghela nafas. Kumiringkan tubuhku dan memeluknya.
“Mama marah ya?”, ujarku memecah
kesunyian. Mama Tania tak menjawab. Kupalingkan wajahnya ke arahku.
Kulihat kedua matanya basah. Ia menangis. Aku jadi merasa bersalah.
Kudekap erat tubuhnya.
“Maafin aku ya, Ma”, ucapku lirih.
“Maafin aku ya, Ma”, ucapku lirih.
Mama Tania tak menjawab. Bahkan kemudian
ia melepaskan pelukanku, membenahi selimut dan berbalik memunggungiku.
Tentu saja hal itu membuatku salah tingkah. Setelah diam beberapa saat,
Mama Tania kupeluk dari belakang sambil menciumi rambutnya. Mama Tania
bergeming. Sesekali kudengar isaknya tertahan. Keheningan yang merebak
dan Mama Tania yang masih saja membisu membuatku kikuk. Memang aku
semakin merasa bersalah, tapi mau apa lagi? Semuanya sudah terjadi dan
percuma untuk disesali.
Karena merasa tak dihiraukan Mama Tania,
aku beranjak dari ranjang, kukenakan bajuku. Lalu aku kembali ke
kamarku. Saat itulah aku baru ingat kalau komputerku masih menyala.
Artinya, yang kulakukan dengan Mama Tania terekam di situ. Kuputar ulang
rekaman itu. Kupandangi tak berkedip adegan ranjangku dengan Mama Tania
yang berdurasi sekitar 23 menit terhitung sejak aku mulai mengusilinya.
Kusimpan file rekaman itu dalam folder yang kusembunyikan dengan file
yang lain.
Balas Dengan QuoteMeski mencoba
terpejam, tapi aku tak bisa tidur. Pikiranku berkecamuk, antara bangga
bisa membuat Mama Tania orgasme, dengan rasa bersalah. Mungkin Mama
Tania juga merasa bersalah telah melakukan persetubuhan denganku dan ia
menyesalinya. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana saat bertemu Mama
Tania esok paginya. Yang jelas, pasti akan canggung.
Entah kenapa, tiba-tiba muncul rasa
kesal pada Mama Tania ketika aku bangun tidur pagi harinya. Jika memang
tak ingin itu terjadi, seharusnya ia tak mengajakku masuk ke kamarnya.
Bagaimana pun juga, aku laki-laki dewasa dan Mama Tania adalah orang
lain yang kebetulan dijadikan istri kedua oleh Papa. Mungkin saja ia
malu telah kutiduri, dan menutupi rasa malunya dengan menangis.
Kekesalanku kemudian malah melunturkan rasa bersalahku. Aku bertekad
untuk membuang jauh-jauh kecanggungan pada Mama Tania. Justru
sebaliknya, akan kutunjukkan pada Mama Tania kalau aku benar-benar
menyukainya. Kekesalanku pada Mama Tania membuat semangatku menyala
lagi.
Bergegas aku bangkit dari tempat tidur.
Saat sayup-sayup kudengar gemercik air dari kamar mandi, kuraih
handukku. Dengan langkah ringan kumasuki kamar Mama Tania yang terbuka
lebar. Kuketuk pintu kamar mandi dari dalam kamar tidurnya.
Ma, ikutan mandi dong”, ujarku begitu
Mama Tania membuka pintu sedikit dan menampakkan wajahnya. Sebuah handuk
ia tutupkan di tubuhnya yang basah. Mama Tania tampak kaget melihat
permintaanku yang tiba-tiba itu.
“Boleh ya, Ma? Aku pengen sekali-sekali
dimandiin Mama”, rayuku dengan wajah memelas. Mama Tania menatapku
dalam-dalam. Ia seperti sedang berpikir. Mungkin sedang
menimbang-nimbang, apakah memperbolehkan atau tidak. Aku mematung tepat
di depan pintu kamar mandi menunggu jawabannya.
Hatiku girang bukan kepalang ketika Mama
Tania mundur sambil membuka pintu kamar mandi. Tanpa sungkan aku
nyelonong masuk, menggantung handuk di hanger, lalu melepas baju dan
celanaku. Tak kuhiraukan Mama Tania yang mematung di depan pintu kamar
mandi. Kuguyur tubuhku dengan air yang mengucur dari shower. Tanpa
beban, kutoleh Mama Tania dan kuajak untuk bergabung di bawah pancuran
air, tapiMama Tania bergeming. Kuhampiri ia, kuambil handuk yang ia
pegangi untuk menutup sebagian tubuhnya dan kugantung di hanger, lalu
kugamit tangannya dan menggandengnya menuju shower.
Saat itu sebetulnya aku sudah
terangsang. Aku yakin Mama Tania tahu aku terangsang karena jelas-jelas
“senjataku” mulai membesar, tapi belum berdiri. Aku berharap ia pun
terangsang melihat “milikku”. Tapi aku menahan diri agar Mama Tania
merasa nyaman dulu. Aku tak ingin terlihat grusa-grusu. Aku menjauh dari
shower untuk menggosok gigiku, sementara Mama Tania mulai membasuh
tubuhnya dengan sabun cair. Usai menggosok gigi, aku kembali ke bawah
shower, meminta sabun dari Mama Tania dan menyabuni diriku sendiri.
Setelah itu aku berpindah ke belakang Mama Tania untuk menyabuni
punggung sampai ke kakinya. Sejauh itu Mama Tania masih diam membisu.
Tapi aku tak peduli. Aku terus saja menyabuni paha dan betis belakangnya
sebelum kemudian beralih ke betis dan paha depan. “Miliknya” yang tepat
berada di depan hidungku membuatku tergoda untuk memagutnya. Aku
bertahan untuk tidak melakukannya.
“Gantian, Ma”, ujarku sambil berdiri dan
memunggunginya. Mama Tania menuruti permintaanku. Sambil berlutut, Ia
sabuni punggung hingga betisku, persis seperti yang kulakukan padanya.
Kuputar tubuhku hingga Mama Tania bisa beralih menyabuni betis dan paha
depanku. Tak hanya itu, Tanpa kuminta, Mama Tania menyabuni juga
“senjataku”. Mau tak mau, “senjataku” pelan tapi pasti makin mengeras
dan berdiri. Agaknya Mama Tania juga menahan diri. Buktinya, setelah itu
ia bangkit dan menghidupkan lagi showernya. Berdua kami menguyur tubuh
dari busa sabun. Semerbak wanginya membuatku makin bergairah.
Cerita Seks Indonesia – Kehangatan Ibu Tiri yang Cantik
Cerita Seks Indonesia – Kehangatan Ibu Tiri yang Cantik
Sesaat kemudian Mama Tania berjalan
menuju hanger dan mulai membersihkan tubuhnya dengan handuk, sementara
aku masih mengguyur tubuhku dengan air shower. Saat Mama Tania mulai
memakai baju, aku menyusulnya dan menghanduki tubuhku. Saat itulah
kupeluk Mama Tania dari belakang. Ia tampak seperti kaget dan berusaha
menyingkir dariku. Kupererat pelukanku sambil mencumbui rambutnya yang
basah, sementara satu tanganku bergerilya di dadanya dan satu lagi di
pahanya. Tak lama kemudian kuputar tubuh Mama Tania agar menghadap ke
arahku. Mama Tania memandangku dengan tatapan yang tak kumengerti
maknanya. Tapi aku sudah kepalang nekad. Dengan lembut kupagut bibirnya.
Mama Tania diam saja, tak membalas ciumanku. Masa bodoh, pikirku.
Kuhujani bibirnya dengan ciuman lembut, kemudian turun ke lehernya.
“Senjataku” menempel ketat di perutnya. Sedikit demi sedikit kudorong
Mama Tania sampai ke dinding dekat pintu kamar mandi. Dengan begitu aku
lebih mudah mencumbui Mama Tania tanpa khawatir ia terdorong lalu jatuh.
Dari leher, cumbuanku beralih ke kedua bukitnya.
“Sudah, Lang … sudah …”, desisnya lirih
disertai dorongan di bahuku. Aku tak menggubrisnya. Kumainkan lidahku di
kedua putingnya bergantian melalui belahan dasternya. Setelah puas
“menyusu”, pelan-pelan ciumanku beralih, turun ke perutnya, dan berakhir
di “miliknya” yang tertutup celana dalam. Satu tanganku menyibak
dasternya. Mama Tania merapatkan kedua pahanya, tapi aku pantang
menyerah. Kujulur-julurkan lidahku di sela-sela pahanya.
“Sudah, Lang …”, sekali lagi Mama Tania
mencoba mendorongku ke belakang. Tanganku menggenggam kuat-kuat
pinggulnya sambil terus memainkan lidahku. Saat dorongannya melemah,
kulepas celana dalam Mama Tania.
“Jangan, Lang”, cetusnya sambil menahan
celana dalamnya yang sudah melorot sampai ke paha. Aku tak memaksa.
Kulanjutkan jilatanku di “miliknya” yang sudah tak tertutup celana
dalam. Pelan-pelan kuisyaratkan pada Mama Tania untuk membuka kedua
kakinya. Semula ia bergeming, tapi sedikit demi sedikit mulai
merenggang. Kesempatan itu tak kusia-siakan. Gempuran lidahku di
“miliknya” makin gencar hingga membuatnya tak bisa menahan desah.
Genggaman di celana dalamnya pun melemah yang membuatku dengan mudah
melepas celana dalamnya sampai ke kakinya.
Mama Tania berhasil kubuat terangsang.
Kedua kakinya makin terbuka lebar. Tangannya mencengkeram kepalaku, tapi
tidak bermaksud mendorongku. Justru seolah memintaku untuk tak
menghentikan jilatanku. Desahannya terdengar begitu merdu di telingaku.
Desah perempuan yang terbakar birahi. Pinggulnya bergoyang seirama
dengan permainan lidahku. Tak lama kemudian, kedua kakinya menegang dan
agak gemetar. Ia orgasme.
Tak perlu menunggu lama untuk babak
berikutnya. Mama Tania ganti jongkok di depanku sementara aku bersandar
di dinding. Saat ia menghisap “milikku”, kubuka dasternya. Kami
telanjang lagi. Kunikmati setiap hisapannya, seakan itu adalah yang
terakhir.
Selesai melakukan oral, Mama Tania
berdiri dan langsung menciumku. Kuputar tubuhnya ke arah dinding. Sambil
berciuman, kuangkat satu kakinya dan kubungkukkan sedikit tubuhku agar
aku bisa menghunjamkan “milikku” ke “milik” Mama Tania. Ia memekik
lirih, disusul dengan desahan panjang saat “senjataku” mentok di dalam
“miliknya”. Kuminta Mama Tania berpegang erat di bahuku. Dengan begitu
ia bisa bergelayut di tubuhku dan aku bergoyang maju-mundur.
Setelah beberapa genjotan, aku keluar
dari kamar mandi dengan Mama Tania masih menggelayut. Gerakan saat
berjalan menuju ranjang ternyata tak kalah nikmat, karena sama juga
dengan bergoyang. Sampai di ranjang kurebahkan Mama Tania dan kami
lanjutkan pertarungan babak kedua sampai tuntas.
Tak seperti kemarin, Mama Tania terlihat
lebih rileks usai percintaan itu. Ia rebahkan tubuhnya di atas tubuhku
yang masih terengah-engah, sehingga sperma yang kutumpahkan di perutnya
menempel di perutku juga. Tapi ia sama sekali tak terlihat risi. Bahkan
ia pun tak pelit bicara.
“Lang, sebetulnya apa sih maksudmu?”, tanyanya membuka percakapan. Aku bisa menebak arah pembicaraannya.
“Terus terang aku jatuh cinta sama Mama waktu pertama kita bertemu”, jawabku.
“Terus terang aku jatuh cinta sama Mama waktu pertama kita bertemu”, jawabku.
Mama Tania yang semula merebahkan kepalanya di dadaku berpaling menatapku.
“Tapi itu ‘kan nggak mungkin, Lang. Gimana pun juga aku Mamamu”, tukas Mama Tania.
“Memang nggak mungkin sih. Tapi orang kalau sudah terlanjur jatuh cinta gimana hayo?”, cetusku. Aku senang dengan percakapan ini, karena merupakan kesempatanku untuk mencurahkan perasaanku pada Mama Tania.
“Aku suka cemburu kalo liat Mama mesra sama Papa”, lanjutku. Mama Tania mencubit mesra lenganku.
“Mama pikir kamu cuma nafsu aja”, kata Mama Tania dengan tatapan mata penuh selidik.
“Nafsu itu ‘kan timbulnya dari cinta, Ma. Mana mungkin nafsu kalau nggak ada cinta”, kilahku.
“Kalo cowok sih bisa aja, Lang”, sergah Mama Tania.
“Yang namanya cowok tuh seperti kucing. Asal liat ikan asin langsung deh diembat”, lanjutnya.
“Ya, tapi ‘kan nggak semua cowok”, aku tak mau kalah.
“Iya deh, Mama ngalah”, ujar Mama Tania.
“Jadi boleh ya Ma, aku cinta sama Mama?”
“Kok balik nanya? Tadi katanya terlanjur cinta, gimana sih?”, tutur Mama Tania dengan nada manja. Aku nyengir.
“Terima kasih ya, Ma. Daripada aku onani terus hayo …”, selorohku. Lagi-lagi Mama Tania mencubitku.
“Oh iya, tadi Papa telepon. Katanya minta dijemput jam 11”, kata Mama. Spontan wajahku kecut. Mama Tania melihat perubahan air mukaku.
“Kok gitu? Bukannya seneng mau ketemu Papa?!”, ujarnya menanggapi responku. Aku tak menjawab. Kuusap lembut rambut Mama Tania sambil melihat jam dinding. Jam 8 pagi.
“Memang nggak mungkin sih. Tapi orang kalau sudah terlanjur jatuh cinta gimana hayo?”, cetusku. Aku senang dengan percakapan ini, karena merupakan kesempatanku untuk mencurahkan perasaanku pada Mama Tania.
“Aku suka cemburu kalo liat Mama mesra sama Papa”, lanjutku. Mama Tania mencubit mesra lenganku.
“Mama pikir kamu cuma nafsu aja”, kata Mama Tania dengan tatapan mata penuh selidik.
“Nafsu itu ‘kan timbulnya dari cinta, Ma. Mana mungkin nafsu kalau nggak ada cinta”, kilahku.
“Kalo cowok sih bisa aja, Lang”, sergah Mama Tania.
“Yang namanya cowok tuh seperti kucing. Asal liat ikan asin langsung deh diembat”, lanjutnya.
“Ya, tapi ‘kan nggak semua cowok”, aku tak mau kalah.
“Iya deh, Mama ngalah”, ujar Mama Tania.
“Jadi boleh ya Ma, aku cinta sama Mama?”
“Kok balik nanya? Tadi katanya terlanjur cinta, gimana sih?”, tutur Mama Tania dengan nada manja. Aku nyengir.
“Terima kasih ya, Ma. Daripada aku onani terus hayo …”, selorohku. Lagi-lagi Mama Tania mencubitku.
“Oh iya, tadi Papa telepon. Katanya minta dijemput jam 11”, kata Mama. Spontan wajahku kecut. Mama Tania melihat perubahan air mukaku.
“Kok gitu? Bukannya seneng mau ketemu Papa?!”, ujarnya menanggapi responku. Aku tak menjawab. Kuusap lembut rambut Mama Tania sambil melihat jam dinding. Jam 8 pagi.
“Lagi yuk, Ma”, ajakku spontan. Mama Tania menengadahkan wajahnya dan menatapku dengan tatapan heran.
“Memangnya masih bisa apa?”
“Coba aja”, tantangku. Kubimbing tangan Mama Tania ke kemaluanku. Ia tanggap maksudku. Ia remas dan kocok “milikku”, sementara ia geser maju tubuhnya hingga kami bisa saling berciuman. Dalam waktu singkat “senjataku” siap tempur lagi. Apalagi ketika Mama Tania mengulumnya beberapa saat. Sekali lagi kami tenggelam dalam lautan birahi yang memabukkan.
“Memangnya masih bisa apa?”
“Coba aja”, tantangku. Kubimbing tangan Mama Tania ke kemaluanku. Ia tanggap maksudku. Ia remas dan kocok “milikku”, sementara ia geser maju tubuhnya hingga kami bisa saling berciuman. Dalam waktu singkat “senjataku” siap tempur lagi. Apalagi ketika Mama Tania mengulumnya beberapa saat. Sekali lagi kami tenggelam dalam lautan birahi yang memabukkan.
Tepat jam 11 aku dan Mama Tania sudah
berada di bandara. Sekitar 15 menit kemudian kulihat Papa di antara para
penumpang keluar dari gate kedatangan. Memang tampak kalau Mama Tania
berusaha menjaga perasaanku. Tapi tak urung aku melengos buang muka saat
Papa mengecup bibir Mama Tania begitu mereka bertemu. Aku tak bisa
menyalahkannya. Ia istri sah Papa. Aku tak berhak cemburu walaupun
tubuhku dan tubuh Mama Tania sudah menyatu dalam panasnya bara birahi.
Ibarat kata, meski sudah kunikmati tubuh Mama Tania, tapi bukan berarti
aku memilikinya. Aku sadar betul akan hal itu.
Sekeluar dari bandara kami singgah di
restoran untuk makan siang. Usai makan, aku minta langsung diantar ke
kos, tapi Papa keberatan. Katanya ia capek sekali. Kalau harus
mengantarku akan butuh waktu lama karena jauh. Ia berjanji malam harinya
akan mengantarku.
Setiba di rumah Papa, aku langsung
tiduran di kamar. Tapi aku tak bisa tidur karena pikiranku melayang
membayangkan apa yang dilakukan Papa dan Mama Tania di dalam kamar
mereka. Isengku pun kambuh. Kunyalakan komputer. Aku ingin memastikan
dugaanku. Ternyata benar. Di layar komputer aku melihat Papa dan Mama
Tania berciuman sambil melepas baju masing-masing. Artinya mereka baru
mulai. Dengan jantung berdebar kusaksikan adegan percintaan mereka.
Diam-diam aku terangsang melihat mereka bercumbu di ranjang dalam
keadaan telanjang bulat. Hanya saja tak berlangsung lama. Dari timer
yang tertera di layar monitor, tak sampai 5 menit Papa sudah terkapar di
sisi Mama Tania. Saat Papa terbaring kelelahan, Mama Tania beranjak
dari ranjang menuju kamar mandi. Setelah itu Mama Tania mengenakan
daster dan berbaring di sebelah Papa.
Aku pun kemudian mematikan lagi
komputerku dan kembali rebahan di ranjang. Otakku terus berpikir.
Mungkin Mama Tania melakukan masturbasi karena merasa tak puas dengan
Papa. Mungkin hal itu pula lah yang membuatnya tak menolak saat aku
mulai mencumbuinya. Ada sepercik rasa bahagia telah memberi Mama Tania
kepuasan batiniah.
Entah berapa lama aku melamun, hingga tak menyadari kalau Mama Tania membuka pintu kamarku. Di tangannya ada sesuatu.
“Ngelamun aja, Lang. Mama kirain sudah tidur kamu”, ujar Mama Tania sambil menutup pintu kamar lalu melangkah menuju ranjangku.
Aku menoleh ke arahnya seraya bertanya, “Apa itu, Ma?”
Mama Tania tersenyum penuh arti, “Ini oleh-oleh dari Papa buat kamu”. Ia sodorkan benda yang ternyata HP model terbaru saat itu.
Seketika aku bangkit dari berbaringku dan duduk di sebelah Mama Tania. Kubuka kardus pembungkus HP dan kuamati isinya.
“Gimana, Lang? Suka nggak?”, tanya Mama Tania.
“Suka. Mana Papa, Ma? Aku mau bilang terima kasih…”, aku pura-pura tak tahu.
“Lagi tidur, sayang. Entar sore aja
ngomongnya ya”, kata Mama Tania sambil mencolek hidungku yang kembang
kempis karena dipanggil “sayang”. Wajahnya begitu dekat denganku, hingga
aku terdorong untuk memagut bibirnya. Mama Tania menyambut pagutanku
dan kami berciuman. Sebentar kemudian Mama Tania berdiri.
“Udah ya. Mama balik ke kamar”, katanya.
Dengan berat hati kubiarkan Mama Tania berlalu dari kamarku. Ingin
rasanya kucegah ia lalu mengajaknya bercinta lagi saat kupandangi tubuh
mungilnya yang terbalut daster tipis dan sexy berjalan menuju pintu,
tapi tak kulakukan. Tak etis rasanya menidurinya di saat Papa ada di
rumah. Toh masih banyak waktu dan kesempatan di kemudian hari. Aku pun
kembali tenggelam dalam kesunyian.
Obsesiku pada Mama Tania berpengaruh
pada hubunganku dengan Nina. Aku jadi mengabaikannya. Malam minggu pun
aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah Papa daripada mengapelinya.
Tak heran jika kemudian kami putus. Sebaliknya, hubungan gelapku dengan
Mama Tania makin menggelora. Setiap ada kesempatan dan Mama Tania tidak
sedang menstruasi, kami memadu kasih dalam balutan peluh birahi
kenikmatan. Karena aku ingin “dikeluarkan di dalam”, kubeli kondom.
Rasanya memang berbeda, tapi aku tak perlu terburu-buru mencabutnya saat
akan”keluar”.
Dalam sebuah kesempatan, Mama Tania
menceritakan padaku ihwal hubungannya dengan Papa yang notabene usianya
dua kali usia Mama Tania. Mama Tania adalah anak sulung dari sahabat
Papa waktu kuliah, sebut saja namanya Pak Wira. Pak Wira yang tahu kalau
usaha Papa sukses minta tolong pada Papa untuk mencarikan kerja buat
Mama Tania yang baru lulus SMA. Sayangnya waktu itu tidak ada lowongan
di perusahaan Papa. Tapi Papa membantu Pak Wira, Papa tetap menerima
Mama Tania dan menjadikannya sebagai asisten pribadi.
Cerita Seks Indonesia – Kehangatan Ibu Tiri yang Cantik
Cerita Seks Indonesia – Kehangatan Ibu Tiri yang Cantik
Kisah klasik antara Papa dan Mama Tania
pun terjadi. Papa jatuh cinta pada Mama Tania dan bilang kalau ingin
menikahinya. Karena merasa berhutang budi, Mama Tania menerima pinangan
Papa yang akhirnya menimbulkan kehebohan di keluarga besarku. Mama Tania
tahu kalau istri Papa yang tak lain adalah Mama kandungku tak setuju.
Sebetulnya Mama Tania sempat merasa ragu, antara melanjutkan pernikahan
atau membatalkan, karena selalu diliputi rasa bersalah pada Mama. Tapi
Papa bersikeras ingin menikahinya dan berjanji akan berlaku adil pada
kedua istrinya.
Terkait dengan hubungan gelap kami, Mama
Tania bilang kalau ia kerap dihantui rasa bersalah pada Papa. Tapi,
sambil terisak ia mengatakan kalau ia juga jatuh cinta padaku ketika
pertama kali bertemu di rumah sakit. Postur tubuhku yang tinggi besar
membuatnya mengira kalau aku adalah anak sulung Papa. Tapi meski
kemudian ia tahu aku anak bungsu dan usiaku lebih muda darinya, ia tak
bisa mengusir perasaan cinta itu, walaupun ia menyadari kalau itu salah.
Setelah hubungan intim malam itu
sebenarnya Mama Tania bertekad tak ingin mengulanginya lagi. Tapi,
seperti pengakuan Mama Tania, ia tak mampu menghalau hasratnya setiap
kali berdekatan denganku. Cintanya padaku lah yang membuatnya pasrah
padaku.
Aku termenung lama memikirkan curhat
Mama Tania. Tapi seperti halnya dia, aku pun sudah terlanjur jatuh cinta
padanya dan tak ingin hubungan kami berakhir begitu saja.
Suatu sore, setahun sejak hubunganku
dengan Mama Tania, Papa meneleponku saat aku dalam perjalanan pulang
kuliah. Katanya, Mama Tania hamil. Ada nada gembira dari ucapannya. Aku
sempat kaget. Tapi aku yakin itu bukan benihku karena aku pakai kondom.
Kalaupun tidak, selalu kukeluarkan di luar. Hanya saja, yang membuatku
was-was, jangan-jangan Mama Tania tak bisa lagi kuajak bercinta karena
sedang hamil.
Kekhawatiranku memang tak terbukti. Mama
Tania masih mau memberiku “jatah”, tapi aku diminta untuk tidak terlalu
“heboh” menggoyangnya, karena takut akan berdampak buruk pada janinnya.
Aku bisa memaklumi itu. Kami masih aktif melakukannya di malam minggu,
saat Papa tak di rumah tentunya, sampai kandungan Mama Tania berusia 6
bulan.
Bulan ketujuh kehamilan Mama Tania, Papa
memintanya untuk tinggal di rumah orang tua Mama Tania di kota B.
Penyebabnya karena Papa makin sering melakukan perjalanan ke luar kota,
bahkan ke luar negeri. Ia khawatir pada kondisi Mama Tania.
Aku merasa sangat kehilangan ketika Mama
Tania akhirnya kembali ke rumah orang tuanya. Walaupun hanya sementara
sampai bayinya lahir, rasa kehilanganku tak dapat kupendam. Memang Mama
Tania masih sering meneleponku, menanyakan kabarku, tapi aku tak sanggup
jauh darinya. Di sisi lain, aku tak keberanian untuk sendirian
mendatanginya di kota B, karena takut akan menimbulkan kecurigaan orang
tua Mama Tania.
Ketika anak Mama Tania lahir, Papa yang
sudah ada di kota B seminggu sebelumnya, menyuruhku datang ke kota B
untuk menengok adik baruku. Setiba di rumah sakit, Mama Tania terlihat
lebih gemuk dari sebelumnya. Ia tampak ceria dengan bayi mungil dalam
gendongannya. Papa pun terlihat sangat bahagia.
Aku makin tak berharap bisa mengulang
kebersamaan bersama Mama Tania ketika Papa memutuskan untuk pindah ke
kota B. Rumah yang biasa ditempatinya dikontrakkan. Papa berpesan padaku
untuk cepat-cepat menyelesaikan kuliahku, karena ia ingin aku
meneruskan kepemimpinan di perusahaannya. Aku tak terlalu memikirkan hal
itu. Yang kupikirkan hanya Mama Tania. Sudah jelas bahwa hubungan kami
harus berakhir karena tak ada lagi kesempatan.
Tak dapat kupungkiri, kalau aku masih
menyimpan hasrat pada Mama Tania, karena setiap kali mengunjunginya di
kota B, gairahku muncul. Begitu kuatnya hasrat itu hingga ketika ada
kesempatan berdua saja dengan Mama Tania, terucap kata kalau aku ingin
melakukannya lagi. Ada sepercik harapan saat Mama Tania menjawab”,
Gimana caranya? Keadaan ‘kan nggak memungkinkan?” Berarti Mama Tania pun
masih membuka pintu kesempatan untukku. Hanya saja memang tak mungkin
melakukannya, karena ada orang tua dan adik Mama Tania. Saat itu Papa
sedang mengunjungi Mama di kota S. Aku cuma bisa menunduk lesu. Tapi aku
tak putus asa. Kucoba sebuah cara, walaupun aku tak yakin ia bersedia.
“Mama mau nggak ke tempatku?”, pintaku.
Maksudku adalah hotel tempat aku menginap. Mama Tania tak segera
menjawab. Ia cuma tersenyum sambil menimang-nimang bayi perempuannya
yang tak lain adalah adik tiriku.
Di hotel, sepulang dari rumah Mama
Tania, kuhabiskan waktu dengan melamun dan berharap Mama Tania datang.
Tapi hingga aku ketiduran siang itu, harapan tinggal harapan. Yang
kutunggu hadirnya tak kunjung datang sampai aku bangun lagi sore
harinya.
Wajahku berubah ceria campur
berdebar-debar ketika suara pintu kamarku diketok. Waktu itu aku habis
mandi dan bersiap turun ke restoran hotel untuk makan malam. Aku nyaris
meloncat kegirangan saat kulihat Mama Tania di depan pintu. Spontan
kuminta ia masuk ke kamar. Mama Tania bilang ia mau belanja susu untuk
bayinya dan minta aku menemaninya. Tentu saja aku bersedia, tapi tak
serta merta kami berangkat. Kami bercumbu lebih dulu, menyalurkan birahi
yang lama terpendam. Tampaknya Mama Tania pun menyimpan hasrat yang
sama. Permainannya lebih hot dari sebelumnya, seolah tak ingin setiap
detik terlewati sia-sia.
Dari pengalaman itu, hidupku kembali
bergairah. Aku yakin telah menemukan cara lain untuk tetap berhubungan
dengan Mama Tania. Tapi ternyata dugaanku salah. Tak ada kesempatan yang
sama terjadi dua kali. Beberapa kali setelah itu aku rajin mengunjungi
Mama Tania di kota B, tapi harapanku untuk bisa menikmati kebersamaan di
kamar hotel tak pernah kesampaian. Bukannya Mama Tania menolak, tapi
keadaan yang tak memungkinkan. Aku harus menelan kekecewaan demi
kekecewaan. Aku kembali terpuruk dalam kesendirian. Celakanya, hal itu
mengganggu prestasi belajarku. Beberapa nilai mata kuliahku jeblok. Mama
dan kakak-kakakku menegurku atas kemerosotan kuliahku.
Dalam kegamangan, aku belajar untuk
menerima kenyataan. Sulit memang, tapi dengan niat yang kuat, akhirnya
aku bisa menemukan sebuah jawaban. Ya, aku menyadari hikmah dari semua
ini. Sejak awal memang sudah kusadari kalau aku tak akan punya peluang
untuk memiliki Mama Tania seutuhnya. Mata hatiku dibutakan oleh
bayang-bayang kehangatan tubuh Mama Tania. Cinta dan birahi yang berbaur
jadi satu bagaikan anggur kenikmatan yang begitu sulit kutepis, hingga
pada akhirnya aku tahu kalau itu semua hanya fatamorgana.
Dengan susah payah, aku pun berhasil
menyelesaikan studiku, meskipun lebih lambat 1 tahun. Dan sesuai janjiku
pada Papa, aku bekerja di perusahaannya mulai dari bawah, dengan
perlakuan yang sama seperti pegawai lain. Ini Papa maksudkan agar aku
memahami hal-hal mendasar sebelum tiba saatnya bagiku memegang kendali
perusahaan.
Akan halnya Mama Tania, hubungan kami
tetap berjalan baik-baik saja, sebagaimana layaknya ibu dan anak. Tak
lebih dari itu. Seakan ada semacam kesepakatan tak tertulis di antara
kami berdua untuk mengakhiri cinta yang ada di hati kami.
“Masa lalu kita biarlah berlalu”, kata Mama Tania waktu itu.
“Tak boleh lagi ada cinta di antara kita berdua. Sulit, tapi memang itulah seharusnya, oke?”, Mama Tania menyunggingkan senyum manisnya padaku.
“Tak boleh lagi ada cinta di antara kita berdua. Sulit, tapi memang itulah seharusnya, oke?”, Mama Tania menyunggingkan senyum manisnya padaku.
Aku mengangguk setuju, walaupun dalam
hati merasa berat juga. Kenangan kebersamaan kami menggapai puncak
kenikmatan, desahnya, gelinjang tubuh mungilnya masih saja terbayang di
benakku. Aku tak tahu apakah Mama Tania masih ingat itu atau sudah
melupakannya, seiring dengan kesibukannya merawat anak yang saat ini
sudah 2 orang. Yang jelas, aku tidak. Sampai saat ini pun terus terang
aku masih merindukan Mama Tania dalam pelukanku, apalagi saat bertemu
dengannya. Tatapan matanya yang teduh sulit membuatku melupakannya.
0 comments:
Post a Comment